SETELAH hampir 20 tahun lalu menulis novel Sri Sumarah dan Bawuk, dan tiap minggu mengisi kolom glenyengan di sebuah harian Yogyakarta, yang kemudian dikumpulkannya dalam buku Mangan Ora Mangan Kumpul (1990), Umar Kayam menerbitkan sebuah novel yang menggoda saya untuk membuat sedikit catatan. Ilustrasi kulit muka buku ini, sebuah foto keluarga priayi desa yang dibuat pada awal abad ini, bisa menyesatkan seandainya di bawah judul tak dicantumkan "sebuah novel". Kulit muka itu hampir sempurna melambangkan proses penciptaan Umar Kayam, yakni tegangan kreatif antara kepakarannya di bidang ilmu sosial dan imajinasinya sebagai sastrawan. Dalam novel ini digambarkan proses menjadi priayi yang dialami oleh sebuah keluarga besar dari generasi pertama priayi. Priayi yang digambarkan novel ini adalah orang Jawa yang berasal dari lapisan rendah dalam masyarakat, petani, atau pedagang kecil. Karena pendidikan dan kemujurannya, mereka berhasil menjadi pegawai pemerintah. Begitu seseorang mendapat beslit sebagai pegawai pemerintah, ia langsung mengalami mobilitas vertikal, menjadi priayi. Ia harus mengikuti aturan mainnya. Hubungan antarlapisan dan antarpribadi bisa menjadi sangat rumit. Apabila terjadi hal yang di luar kemampuan penghayatannya sebagai priayi, itu dianggap sebagai pelanggaran atas nilai-nilai dan kaidah yang sudah ditata, dan dipertahankan puluhan tahun. Saya pilihkan sebuah adegan yang menggambarkan krisis yang terjadi ketika ada "pelanggaran" nilainilai itu. Sastrodarsono, seorang pendidik yang terhormat, hancur harga dirinya ketika ditempeleng seorang Jepang pada masa pendudukan. Sesudah si Jepang dan pengikutnya pergi, Ndoro Guru itu benarbenar malu, lesu, wajahnya pucat pasi. Air matanya berlelehan keluar, menangis. Sastrodarsono menangis bukan karena sakit, tapi terutama karena tersinggung martabatnya sebagai priayi dan orang tua. Ia merasa tak dihormati sama sekali. Dalam novel ini tampak sekali Umar Kayam mengikuti konvensi yang harus ditaati para sastrawan. Ia bukan saja memakai bahasa informatif, tapi menggunakan bahasa kreatif. Sebab, novel sebagai karya seni mengatasi gambaran dan uraian ilmiah yang obyektif. Umar Kayam harus menciptakan karangan yang subyektif. Umar Kayam menghindari kecenderungan menjadi obyektif itu dengan mempergunakan teknik otobiografi. Ia bahkan menyilakan tiaptiap tokoh berbicara langsung kepada pembaca untuk menghindari deskripsi permukaan. Kesubyektifan Para Priyayi juga ditunjang kuat dengan penggunaan bahasanya. Bukan cuma banyaknya kosakata Jawa, tapi lebih oleh cara pengucapan yang tak formal, tidak ketat, yang tentunya dimaksudkan untuk menumbuhkan nada yang santai. Dalam proses penciptaannya, mungkin Umar Kayam membayangkan pembacanya adalah kawan yang lebih muda, yang bisa diajak berbicara secara santai, yang memerlukan pengetahuan mengenai selukbeluk kehidupan priayi Jawa. Yang menjadi masalah di sini adalah bahwa ia menulis dalam bahasa Indonesia, yang meskipun sangat kuat pengaruh struktur bahasa Jawanya, tentunya bukan hanya milik orang Jawa. Agak berbeda dengan sastrawan Jawa lain seperti J.B. Mangunwijaya dan Linus Suryadi A.G., dalam Para Priyayi Umar Kayam selalu mencoba memberikan terjemahan atau penjelasan atas setiap kata Jawa yang dipergunakannya. Di samping itu, Umar Kayam juga selalu membuat penjelasan mengenai berbagai konvensi yang berlaku dalam masyarakat Jawa, yang mungkin tak diketahui oleh masyarakat lain. Dalam novel ini Umar Kayam telah menciptakan album besar untuk menampung segenap persoalan dunia priayi. Setiap persoalan diungkapkan dalam episode atau potret. Dengan demikian, terungkaplah berbagai segi kehidupan priayi di bidang agama, seks, politik, kesenian, pendidikan, etika, filsafat, dan entah apa lagi. Masalah agama menyangkut tokoh Sastrodarsono sendiri. Ia abangan, namun tak semua priayi abangan. Ada sanaksaudaranya yang santri. Meskipun abangan, ia tetap merasa tak bisa menerima menantu yang memeluk agama lain. Konflik ini terungkap ketika salah seorang anaknya, Hardojo, menyatakan ingin kawin dengan seorang gadis Katolik. Waktu cerita novel ini dimulai sekitar awal abad ini, mencakup masa bangkitnya kesadaran nasional di kalangan para priayi. Masalah kesadaran politik menyangkut Martoatmodjo, seorang kepala SD. Ia "dibuang" ke sanakemari oleh pemerintah sebab dianggap terlalu maju cara berpikirnya, antara lain karena ia suka membaca majalah Medan Prijaji. Salah seorang cucu Sastrodarsono, Hari, terlibat dalam kegiatan kesenian Lekra milik PKI. Ia ditangkap waktu terjadi kudeta yang gagal tahun 1965. Seperti halnya potret dalam sebuah album keluarga, episode dalam novel Umar Kayam ini bisa saja dianggap tak berkaitan satu sama lain. Jika dihadapi demikian, buku ini mirip kumpulan cerita pendek, yang masingmasing nyaris tanpa konflik yang berarti tapi memberi pengetahuan mengenai aspek tertentu dalam kehidupan priayi. Namun, potretpotret itu ada yang menyatukan menjadi satu keutuhan, yakni album keluarga itu. Inti keutuhan atau keseluruhan Para Priayi adalah pertanyaan: "apa arti kata priayi itu?" Pada akhir novel ini, pertanyaan tersebut ditujukan kepada Lantip. Siapa Lantip yang diharapkan menjadi penjawab pertanyaan yang musykil itu? Dan mengapa Lantip juga yang diminta menyampaikan pidato pada upacara pemakaman Sastrodarsono? Lantip adalah "anak jadah" Soenandar, priayi berandalan, dan seorang gadis desa penjual tempe. Lantip berhasil menjadi anggota masyarakat yang terhormat berkat kecerdasan dan keberuntungannya. Dalam novel ini, boleh dikatakan dialah satusatunya tokoh yang berhak menyatakan pandangan bahwa "warna semangat (priayi) itu adalah warna pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa pamrih". Dan mungkin juga hanya Lantip, priayi keturunan bakul tempe dan priayi berandalan itu, yang berhak menyatakan bahwa kata "priayi" tak terlalu penting baginya, karena sesungguhnya ia tak pernah tahu artinya. Barangkali apa yang disampaikannya dalam pidato penguburan itu lebih merupakan semangat kemanusiaan ketimbang priayi. Mungkin juga bagi Lantip kepriayian itu tak diketahui artinya, tapi untuk dihayati. Dan kalau kita memperhatikan perlambangan yang dipergunakan Kayam di sini, tampaknya Lantip yang paling intens menghayati nilainilai kepriayian itu. Ini tampaknya agak berbeda dengan berbagai penggambaran dan uraian para pakar ilmu sosial mengenai dunia priayi. Novel yang pada dasarnya merupakan antologi persoalan dunia priayi ini memang mengandung konsepkonsep, yang tentu saja abstrak, disampaikan dalam bahasa yang kreatif. Dengan demikian pengetahuan yang kita dapat dari novel ini tak konseptual tetapi eksperiensial, tak berupa pengertian tapi penghayatan. Ini adalah sebuah novelesai yang ditulis dalam bahasa yang plastis. Catatan terakhir yang perlu disampaikan adalah mengenai ejaan. Dalam terbitan ini, sejumlah besar kata bahasa Jawa dieja keliru. Editor rupanya kurang menghiraukan, misalnya, perbedaan antara d dan dh. Mendem (mabuk) berbeda dengan mendhem (mengubur). Dalam novel semacam ini, ejaan punya peranan sangat penting untuk menggarisbawahi latar waktu dan warna lokal. Sapardi Djoko Damono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini