Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Goresan Anak Hilang

Seorang anak muda lama tinggal di barat akan lebih tergores melihat bentuk-bentuk kemiskinan di tanah airnya. pengemis di trotoar, kotornya selokan, kontrasnya si kaya dan miskin, membuat dia berpikir.

3 Januari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA si anak hilang? Banyak peristiwa yang terjadi. Dalam legenda Si Malin Kundang, si anak tidak hendak kembali -- dan mengakui emak kandungnya -- karena kemis. kinan dan keburukan masa silam terpasang dengan jelasnya dalam sosok si emak. Dalam sebuah sajak Sitor Situmorang, si anak pulang dari rantau di Eropa. Ia disambut oleh ibunya dengan hangat, oleh bapaknya dengan ketenangan menahan hati. Ia sendiri tak banyak bicara. Tapi ketika malam hari ia datang ke pantai danau tempat ia dibesarkan dulu, ia tahu, seperti desir gelombang itu tahu: jiwanya tak hendak di kampung halaman lagi. Barangkali banyak sebab yang mendorong kita untuk cenderung memandang fenomena "anak hilang" itu dengan hati bergetar. Kita, yang menyebut tanah tumpah darah -- seperti kemudian tersurat dalam Indonesia Raya -- sebagai "ibu", agaknya punya gambaran diri yang sangat membekas sebagai "anak". Atau barangkali inilah cermin kenyataaan demografis kita sebagian besar dari kita memang muda, bahkan bocah. Sementara dunia modern mengajuk kita untuk bertualang, kita takut jadi hilang. Di Amerika Serikat, Alex Haley menulis Roots. Ia, orang hitam dari Kota Henning, Tennessee, mencari selama 12 tahun cikal bakal dirinya ke benua Afrika. Ia menjejaki kembali kisah kakek-nenek, tentang seorang muda yang pada suatu hari di abad ke-18 mencari kayu untuk membikin genderang. Hari itu, anak muda itu diculik. Ia diangkut pedagang budak dengan kapal "Lord Legioner" ke tanah Amerika untuk dijual, di tahun 1767. Keturunannya beranak pinak. Kisah Haley adalah kisah pertemuan kembali dengan pohon asal-usul -- cerita yang menjadi begitu laris karena di Amerika Serikat, negeri para pendatang, akar pohon itu memang jauh "dan bisa mengasyikkan untuk ditelusuri. Akar kita, di sini, tidak sejauh itu. Yang kita cemaskan ialah, bahwa akar itu rapuh. Kita melihat kejatuhan seorang Hanafi dalam novel Salah Asuhan. Ia seorang yang begitu dekat dan jelas jaraknya dengan lingkungan asalnya. Toh ia terputus dari sana -- oleh pendidikan "Barat". Maka hampir dalam tiap petuah atau janji, kita seakan-akan selalu waspada akan "sindrom Hanafi" itu. "Sindrom Hanafi" betapapun memang seperti mengancam. Ratusan ribu anak muda bermimpi tiap hari untuk bisa ke luar negeri, dan itu biasanya seberarti Barat. Kepergian itu sekaligus suatu lambang status, juga modal untuk jenjang nasib. Tapi apa sebenarnya kemudian yang dibawa pulang? Pertama-tama, mungkin ilmu. Kemudian, lebih penting lagi, suatu pengalaman hidup. Terselip di antaranya adalah perbandingan. Dan dari sini, lahirlah sejumlah inteligensia. Dunia Ketiga penuh dengan contoh tentang itu. Konon seorang menjadi inteligensia karena ia produk dari dunia kebudayaan. Ia mau tak mau telah keluar -- biar pun barang sebentar -- dari kotaknya yang semula. Ia bisa menengok kembali dengan perspektif lain. Ia mulai berpikir. Ia mempertanyakan. Ia juga bisa menggugat. Bung Hatta, Ali Sastroamidjojo, Sjahrir, Arnold Mononutu, Nehru, Ho Chiminh, Zhou Enlai, Khieu Samphan, Bani Sadr -- mereka ikut dalam perubahan besar sejarah karena mereka menginginkan pelbagai hal harus diubah di tanah air. Seperti juga yang lazim sekarang, seorang anak muda yang lama di Barat akan lebih mudah tergores melihat bentuk-bentuk kemiskinan yang meluas di tanah airnya sendiri -- yang terletak di Dunia Ketiga. Ia sudah lama tak terbiasa melihat bocah pengais sampah, pengemis di trotoar, buruh harian yang sampai malam gelap menunggu kerja di tepi jalan. Ia sudah lama tak bersintuhan dengan terik, debu, kotornya selokan, dan kontras antara si kaya dengan si miskin. Ia sudah terbiasa menganggap kebisingan sebagai polusi -- sementara di sini beduk, mercun, klakson dan radio tetangga adalah semacam kebanggaan. Dan ia gampang marah. Tak semua rasa marahnya berdasar. Keluar sebentar dari suatu proses perubahan dalam suatu masyarakat, yang biasanya morat-marit, daftar keluhannya bisa menggelikan. Tapi jika ia tak mudah memaafkan hal-hal yang nampak buruk (karena ia sudah pernah melihat yang nampak baik), adakah dia si anak hilang?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus