MENGAPA si anak hilang? Banyak peristiwa yang terjadi.
Dalam legenda Si Malin Kundang, si anak tidak hendak kembali --
dan mengakui emak kandungnya -- karena kemis. kinan dan
keburukan masa silam terpasang dengan jelasnya dalam sosok si
emak.
Dalam sebuah sajak Sitor Situmorang, si anak pulang dari rantau
di Eropa. Ia disambut oleh ibunya dengan hangat, oleh bapaknya
dengan ketenangan menahan hati. Ia sendiri tak banyak bicara.
Tapi ketika malam hari ia datang ke pantai danau tempat ia
dibesarkan dulu, ia tahu, seperti desir gelombang itu tahu:
jiwanya tak hendak di kampung halaman lagi.
Barangkali banyak sebab yang mendorong kita untuk cenderung
memandang fenomena "anak hilang" itu dengan hati bergetar. Kita,
yang menyebut tanah tumpah darah -- seperti kemudian tersurat
dalam Indonesia Raya -- sebagai "ibu", agaknya punya gambaran
diri yang sangat membekas sebagai "anak". Atau barangkali inilah
cermin kenyataaan demografis kita sebagian besar dari kita
memang muda, bahkan bocah. Sementara dunia modern mengajuk kita
untuk bertualang, kita takut jadi hilang.
Di Amerika Serikat, Alex Haley menulis Roots. Ia, orang hitam
dari Kota Henning, Tennessee, mencari selama 12 tahun cikal
bakal dirinya ke benua Afrika. Ia menjejaki kembali kisah
kakek-nenek, tentang seorang muda yang pada suatu hari di abad
ke-18 mencari kayu untuk membikin genderang. Hari itu, anak
muda itu diculik. Ia diangkut pedagang budak dengan kapal "Lord
Legioner" ke tanah Amerika untuk dijual, di tahun 1767.
Keturunannya beranak pinak. Kisah Haley adalah kisah pertemuan
kembali dengan pohon asal-usul -- cerita yang menjadi begitu
laris karena di Amerika Serikat, negeri para pendatang, akar
pohon itu memang jauh "dan bisa mengasyikkan untuk ditelusuri.
Akar kita, di sini, tidak sejauh itu. Yang kita cemaskan ialah,
bahwa akar itu rapuh. Kita melihat kejatuhan seorang Hanafi
dalam novel Salah Asuhan. Ia seorang yang begitu dekat dan
jelas jaraknya dengan lingkungan asalnya.
Toh ia terputus dari sana -- oleh pendidikan "Barat". Maka
hampir dalam tiap petuah atau janji, kita seakan-akan selalu
waspada akan "sindrom Hanafi" itu.
"Sindrom Hanafi" betapapun memang seperti mengancam. Ratusan
ribu anak muda bermimpi tiap hari untuk bisa ke luar negeri, dan
itu biasanya seberarti Barat. Kepergian itu sekaligus suatu
lambang status, juga modal untuk jenjang nasib. Tapi apa
sebenarnya kemudian yang dibawa pulang?
Pertama-tama, mungkin ilmu. Kemudian, lebih penting lagi, suatu
pengalaman hidup. Terselip di antaranya adalah perbandingan. Dan
dari sini, lahirlah sejumlah inteligensia. Dunia Ketiga penuh
dengan contoh tentang itu.
Konon seorang menjadi inteligensia karena ia produk dari dunia
kebudayaan. Ia mau tak mau telah keluar -- biar pun barang
sebentar -- dari kotaknya yang semula. Ia bisa menengok kembali
dengan perspektif lain. Ia mulai berpikir. Ia mempertanyakan. Ia
juga bisa menggugat.
Bung Hatta, Ali Sastroamidjojo, Sjahrir, Arnold Mononutu, Nehru,
Ho Chiminh, Zhou Enlai, Khieu Samphan, Bani Sadr -- mereka ikut
dalam perubahan besar sejarah karena mereka menginginkan
pelbagai hal harus diubah di tanah air.
Seperti juga yang lazim sekarang, seorang anak muda yang lama di
Barat akan lebih mudah tergores melihat bentuk-bentuk kemiskinan
yang meluas di tanah airnya sendiri -- yang terletak di Dunia
Ketiga. Ia sudah lama tak terbiasa melihat bocah pengais sampah,
pengemis di trotoar, buruh harian yang sampai malam gelap
menunggu kerja di tepi jalan. Ia sudah lama tak bersintuhan
dengan terik, debu, kotornya selokan, dan kontras antara si kaya
dengan si miskin. Ia sudah terbiasa menganggap kebisingan
sebagai polusi -- sementara di sini beduk, mercun, klakson dan
radio tetangga adalah semacam kebanggaan. Dan ia gampang marah.
Tak semua rasa marahnya berdasar. Keluar sebentar dari suatu
proses perubahan dalam suatu masyarakat, yang biasanya
morat-marit, daftar keluhannya bisa menggelikan. Tapi jika ia
tak mudah memaafkan hal-hal yang nampak buruk (karena ia sudah
pernah melihat yang nampak baik), adakah dia si anak hilang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini