Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GUGATAN Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sepantasnya menjadi cambuk bagi Presiden Joko Widodo dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk mempercepat pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat menjadi undang-undang. Gugatan tersebut membuktikan bahwa pemerintah dan DPR abai terhadap eksistensi masyarakat adat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AMAN bersama Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara menggugat Presiden dan DPR ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada 25 Oktober tahun lalu. Penggugat menilai eksekutif dan legislatif melakukan perbuatan melawan hukum lantaran pembahasan RUU Masyarakat Adat berlarut-larut. Perkara ini memasuki tahap pembuktian di pengadilan pada Kamis, 21 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gugatan ke PTUN ini tak perlu terjadi seandainya Presiden dan DPR memenuhi kewajiban mereka untuk melindungi masyarakat adat, seperti diamanatkan konstitusi. Pasal 18B ayat 2 dan Pasal 181 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat. Namun pemerintah terus membiarkan masyarakat adat terpinggirkan, antara lain demi kepentingan investasi.
Berdasarkan catatan AMAN, luas wilayah adat yang dirampas untuk urusan investasi mencapai 8,5 juta hektare dalam satu dekade terakhir. Lebih dari itu, 678 anggota masyarakat adat telah mengalami kriminalisasi dan kekerasan dalam rentang waktu yang sama.
Contoh teranyar, masyarakat adat Balik di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, digusur demi proyek Ibu Kota Nusantara atau IKN. Masyarakat adat di sana sudah lama berusaha mendapatkan legalitas atas tanah mereka. Namun pemerintah menganggap sepi permohonan mereka. Bukan hanya itu, di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, penduduk 16 kampung tua juga tersingkir oleh pembangunan kawasan industri Rempang Eco-City. Dengan berbagai cara, pemerintah memaksa warga adat hengkang dari kampung leluhurnya.
Semua fakta itu mengukuhkan bukti bahwa DPR dan Presiden memang tidak serius menangani isu masyarakat adat. Meski RUU Masyarakat Adat telah tiga kali masuk program legislasi nasional prioritas sejak 2014, DPR tidak kunjung mengesahkannya. Pemerintah pun gagal membuat daftar inventarisasi masalah, yang seharusnya menjadi langkah awal dalam pembahasan rancangan undang-undang.
Selama ini, masyarakat adat kesulitan mendapatkan pengakuan karena pemerintah pusat dan daerah kerap saling lempar tanggung jawab. Pemerintah pusat dan daerah selalu berlindung di balik Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan. Pasal itu mengatur pengakuan dan penghapusan masyarakat hukum adat ditetapkan melalui peraturan daerah, yang mensyaratkan persetujuan dewan perwakilan rakyat daerah.
Pasal itu seharusnya direvisi setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi sejumlah pasal Undang-Undang Kehutanan pada 2013. Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengakui keberadaan masyarakat hukum adat atas dasar eksistensinya: sepanjang mereka berada di wilayah yang ditempatinya, bukan atas dasar ada atau tidak adanya penetapan dalam peraturan daerah.
Dengan mempertimbangkan serangkaian fakta itu, sudah sepantasnya hakim PTUN mengabulkan gugatan AMAN. Putusan hakim seperti itu penting untuk mendorong DPR dan Presiden segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dalam waktu sesingkat-singkatnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit dengan judul "Abai Pemerintah atas Hak Masyarakat Adat".