KARYAWAN Radio Republik Indonesia (RRI) Kamis pekan lalu memenuhi ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bukan untuk menyiarkan jalannya persidangan. Mereka ingin menyaksikan penyidangan dua pejabat RRI: Djamalul Abidin dan Darwin Rusdi. Djamalul Abidin adalah Kepala Stasiun RRI Medan. Sebelumnya ia menjabat Kepala Bagian Tata Usaha Direktorat Radio pada Direktorat Jenderal Radio Televisi dan Film (RTF) Departemen Penerangan di Jakarta. Rekannya, terdakwa Darwin Rusdi, kini staf di Ditjen RTF, sebelumnya Kepala Sub-Bagian Pembukuan merangkap bendaharawan penerimaan iklan direktorat itu. Mereka memangku jabatan di Ditjen RTF selama tiga tahun (1986-1989). Namun, pada saat menduduki jabatan tersebut, dua terdakwa tersandung perkara. Jaksa D.F. Wuwungan menuduh mereka melakukan korupsi penerimaan siaran iklan RRI yang ordernya terpusat di Direktorat Radio. Jumlah uang yang ditilep, kata jaksa, Rp 770 juta. Menurut jaksa, Djamalul Abidin selaku penanggung jawab periklanan RRI tingkat pusat, pada 1986, mengusulkan pada atasannya agar periklanan (order dan pembayarannya) ditangani terpusat di bawah koordinasinya. Sebelumnya, Stasiun RRI daerah mencari order sendiri sendiri. Pembayarannya pun lewat RRI daerah, yang kemudian diteruskan ke rekening Ditjen RTF di Jakarta. Usul Djamalul diterima Dirjen RTF. Ia kemudian mengirim nota dinas kepada semua kepala stasiun RRI daerah dan biro-biro iklan. Isi nota memberitahukan, terhitung 1 Oktober 1986, seluruh pembayaran iklan dibayarkankan ke Direktorat Radio, dalam hal ini kepala bagian tata usaha. Satu setengah bulan kemudian, penyim pangan tampak. Seharusnya, menurut jaksa, penerimaan disetor ke rekening Ditjen RTF di Bank BNI Gambir, Jakarta. Namun, Djamalul justru memberi surat kuasa kepada bawahannya, terdakwa Darwin Rusli, untuk mengutip tagihan iklan RRI seluruh Indonesia dan mnemasukkannya dulu ke rekening pribadi para terdakwa. Selama periode Desember 1986 sampai 24 November 1989, hasil iklan itu mencapai Rp 1,4 milyar. Tapi yang disetor ke rekening Ditjen RTF, menurut jaksa, hanya Rp 630 juta. Selebihnya, pembukuannya tidak jelas. Terdakwa Djamalul, yang masih aktif menjabat Kepala Stasiun RRI Medan, belum dapat dihubungi TEMPO. Tapi rekannya, Darwin Rusli, kepada pembantu TEMPO Anna Agustina mengemukakan, secara faktual, dakwaan jaksa benar. Artinya, ada sejumlah uang yang secara pembukuan sulit dipertanggungjawabkan. Tapi, secara bisnis, menurut Darwin, apa yang dilakukannya merupakan hal lumrah. "Saya menjalankan tugas dengan cara business oriented," katanya. Ia, katanya, ingin mengubah gaya birokrasi dengan pendekatan bisnis profesional. Karena itu, dalam pencarian order, tak jarang mereka menraktir partner bisnisnya, atau bahkan memberi komisi. "Dana lobi" itu diambil dari pemasukan iklan. Tentu saja hal seperti itu tak tercantum dalam peraturan resmi RRI. Kata Darwin, program operasional gaya swasta itu diketahui pimpinan. Hasilnya memuaskan, karena mengatrol order iklan RRI sampai 50%. Namun, bila angka yang di ajukan jaksa benar, apakah bisa ditafsirkan dana lobi dan komisi sampai melebihi pemasukan. Wajarkah? "Akan saya jelaskan di persidangan duduk perkara sebenarnya, bahwa ini hanya kesalahpahaman cara berbisnis," kata Darwin. Aries Margono dan Taufik Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini