KONON kabarnya manusia dibedakan dari makhluk lainnya dari
penggunaan kata. Bunyi-bunyi yang keluar dari kerongkongan yang
didorong oleh arus hawa dari arah rongga dada dan yang diatur
oleh letak dan gerak lidah serta bentuk mulut, telah melahirkan
suatu perkakas yang ajaib bagi manusia untuk saling berhubungan.
Setelah berkembang selama berabad-abad maka bunyi-bunyi tersebut
telah menjadi sedemikian kompleksnya. Menampung isyarat, tanda
dan makna, demikian pula nama-nama yang kombinasinya sudah
bertambah berlipat-ganda. Belum lagi pengalaman keanehan, rasa
heran, penemuan cita-cita dan kehendak, keinginan tahu serta
keisengan yang selama ini telah dikembang-biakkan oleh yang
namanya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kata-kata mengisi pasar dengan kegiatan tawar-menawar. Mampir ke
dapur menjadi omongan dapur. Mengalir tak henti-hentinya dalam
ruang-ruang seminar, dan berbuih-buih dalam lorong lobby.
Terpateri di lempeng-lempeng timah, bersatu dengan tinta dan
kertas untuk kemudian berceceran di harian dan majalah, menjadi
senjata yang penuh kuasa, kata orang.
Kata-kata yang langka khusus dikarang untuk mengisi marmar pada
pusara dan monumen yang penting-penting. Dan tersimpan dalam
pustaka untuk menambah isi kepala. Lalu bagai
gelembung-gelembung udara ia naik ke angkasa dan turun dalam
bursa ide, entah di kaki lima atau di kampus-kampus tempat orang
cerdik cendekia, kemudian dihisap oleh benak kepala menimbulkan
bermacam-macam keadaan. Kelucuan, kecemasan, kecurigaan,
ketakutan, kebencian, harapan, keletihan dan lain-lain. Dengan
kata-kata yang telah biasa di antara kita, bisa dikatakan bahwa:
'kata telah menjadi bahan studi yang menarik bagi tingkah polah
manusia dalam masyarakat', atau 'kata menunjukkan orangnya,
apakah ia ekstrim kanan, ekstrim kiri atau dan lain-lain'.
KUDA TANPA KEKANG
Kelelahan spirituil memang gampang melibatkan kita ke dalam
lingkungan bahasa yang tak jelas artinya. Kata-kata mendlambur
tanpa kekang, seperti kuda lari tanpa kekang, akibatnya semua
orang lari menepi ke trotoir, jalanan jadi sepi tapi sarat
dengan kecemasan. Rasanya seperti banyak kata hilang dari
perbendaharaan kita.
Nampaknya kita kurang percaya untuk saling bertukar kata,
bertukar pengalaman. Keinginan untuk memperkaya diri berkembang
tak seimbang dengan keinginan untuk memperkaya pengalaman.
Kata-kata berseliweran tanpa berpijak kepada pengalaman,
sehingga banyak pengalaman tak bisa diungkapkan untuk dimiliki
bersama. Seolah-olah untuk berkata-kata orang harus menahan diri
agar tidak mengucapkan apa yang sebenarnya dialami.
Hilangnya sesuatu kata, menunjukkan pula hilangnya salah satu
dimensi dari pergaulan kita. Mungkin itu yang bernama
kepercayaan. Kata-kata yang kita ucapkan cenderung meningkari
diri sendiri.
Kita banyak kehilangan kata yang mampu menunjuk langsung pada
kenyataan. Kata-kata lebih banyak berfungsi untuk membumbui dan
memoles kenyataan. Obat-obat pelezat seperti Ajinomoto, Sasa dan
Miwon saban hari memukul gendang telinga kita. Bak masakan ia
membuat perut kita mual, bak cerita ia membuat kita bosan dengan
adegan yang itu-itu juga.
Dalam keadaan seperti ini maka kata hati harus dikeluarkan
dengan amat berhati-hati agar tidak menyinggung perasaan sesama.
Sebab dianggap bahwa perasaan sesama lebih penting dibanding
dengan kenyataan bersama. Kata mengungkung kenyataan dalam
batas-batas kepentingan tertentu. Jarang yang mengerti
sungguh-sungguh apa yang sedang terjadi. Hanya kalangan tertentu
yang benar-benar mengerti apa yang terjadi. Dengan demikian maka
kata bukan lagi menjadi milik bersama. Sebab tidak ada kata-kata
yang dianggap layak untuk menilai apakah sesuatu kata yang
diucapkan memang memadai dan sesuai dengan tindakan yang
dilakukan.
INVALID
Dari sini makin bertumbuh suatu keahlian untuk merumuskan
kata-kata yang hanya dapat difahami oleh kalangan tertentu. Dan
muncullah bahasa-bahasa lokal- yang berkembang sendiri sendiri
tanpa mengacuhkan satu terhadap yang lain. Gosip, rerasan dan
bisik-bisik makin lama makin berkembang sebagai jalan keluar
untuk menampung sisa kata yang ada. Dataran pengalaman yang luas
tak dianggap sebagai tempat yang sah bagi percaturan kata.
Kata-kata terkucil bagai orang invalid yang harus tinggal di
pusat rehabilitasi.
Selagi kata-kata hanya berkembang dalam urutan perintah dan
laporan, maka kita akan dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan
mengenai keberhasilan dan sukses. Dan kurang mampu bicara soal
harga dari kesuksesan tersebut. Jalur perintah dan pelaksanaan
perintah menyebabkan berkata hanya menjadi suatu aktifitas
reduplikasi belaka. Dalam hubungan ini, sudah dialami bahwa
untuk memberi dukungan pun harus dengan susah payah mencari
tempat yang setepat-tepatnya, agar jangan sekedar menjadi
tindakan-tindakan yang sebenarnya tak diperlukan lagi.
Hal menuturkan kata mestinya seimbang dengan hal menuturkan
kekayaan pengalaman yang ada. Mempersempit horison pengalaman
dengan kata-kata - bagaimana pun efeknya - akan merupakan suatu
kerja yang meletihkan. Keletihan rohani seperti ini akan
menyebabkan kita semakin kering dan semakin mengada-ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini