Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Persuasi & Paradox Demokrasi

Bila buruh hanya memakai persuasi, akan timbul revolusi sosial mengakhiri kekuasaan majikan. Dalam hubungan majikan-buruh sering terjadi kekuasaan majikan dipertahankan, buruh diberi kekuatan tertentu

25 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU si Mona gadis kecil 12 tahun berhasil meyakinkan ibunya bahwa dia butuh sepatu baru dan blues merah jambu maka terjadilah suatu persuasi. Ibu tetap berada dalam posisi tidak terikat. Appeal si gadis terarah kepada kebaikan hati. Proses pengambilan keputusan bersifat sefihak. Si ibu diminta dan dibuat yakin untuk memenuhi permintaan anaknya. Seluruh tawar-menawar berlangsung dalam kondisi "kalau boleh kiranya". Naik helicak dari Menteng Raya ke Sarinah menurut tarif yang diketahui umum supir helicak dan calon penumpang akan makan ongkos Rp 10. Tetapi kalau anda menstop sebuah helicak maka dialog seperti di bawah ini menjadi tak terelakkan Ye Sarinah, berapa bang? Tiga ratus saja oom. - Ah, yang benar bang, biasa seratus. - Dua ratus oom. -- Satu setengah, mau? Dan pintu akan segera dibuka buat anda. Tawar-menawar itu kadang-kadang membuat kesal. Apalagi kalau kesusu. Bagaimana pun bang supir tidak akan pernah langsung menyebut tarif yang sebenarnya. Dan sulit untuk merasa yakin bahwa sang supir akhirnya setuju dengan tarif Rp 150 karena berhasil dipersuasi. Tawar-menawar itu cuma basa-basi. Semacam ritus pendahuluan sebelum boleh numpang kendaraannya. Di sini keputusan sudah sama-sama diketahui. Konsensus sudah tersedia. Tawar-menawar itu bukan decision-making-process, tetapi mirip-mirip ucapan "selamat pagi" atau seperti to say hallo. *** Ketika Marx mulai tampil membela kelas buruh, maka soal persuasi inilah yang dibabatnya habis-habisan. Menurut Marx, majikan bukanlah bapak keluarga yang baik hati. Tidak banyak manfaatnya mengharapkan kemurahan jenis apapun dari fihak dia. Upah buruh jangan sekali-kali dipandang sebagai perwujudan rasa belas-kasihan, tetapi adalah hak yang harus dituntut, kalau perlu dengan paksaan. Perbaikan nasib buruh tidak datang sebagai hasil proses sefihak dari majikan. Majikan malah harus dipaksa dengan 'kekuatan' dan bukan lewat persuasi yang berlangsung dalam kondisi "kalau boleh kiranya". Asas kekeluargaan tidak bisa diterapkan dalam soal upah buruh. Bukan karena asas itu kurang baik, tetapi justru karena terlalu baik untuk bisa berlaku dalam bidang hubungan majikan-pekerja. Buruh dapat memperbaiki nasibnya kalau dia ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan tidak dengan berada di luar.proses itu sambil mengharap-harap. Harus diciptakan serikat buruh, majikan diancam dengan mogok. Ketenangan yang tadinya aman, familier, tetapi merugikan kelas buruh, kini diganti oleh ketegangan yang penuh was-was, zakelijk, tetapi menjamin kebaikan bagi kedua belah fihak. Si Majikan tidak bisa hanya serakah dan sewenang-wenang. Buruh dapat merencanakan perbaikan nasibnya lewat jalan 'mengatur' majikan. Dengan dimungkinkannya buruh mempengaruhi proses pengambilan keputusan, dimulailah gerak demokratisasi dalam hubungan majikan-pekerja- pengaturan bersama, putusan bersama dan nasib bersama yang tercipta adalah distribusi keuntungan dan distribusi kekuasaan dan kekuatan. *** Ada dua hal yang kelihatan dalam penjelasan Marx tersebut. Pertama ialah bahwa dalam soal kekuasaan, maka pendekatan yang bersifat moralistis merupakan pendekatan yang tidak kena. Artinya. Seorang majikan hampir tidak mungkin diharapkanl untuk cukup berbaik-hati sehingga bersedia atas kehendak sendiri memperbaiki nasib buruknya. Appeal kepada hatinuraninya tidak akan berakibat banyak. Persuasi tak berguna. Karena persoalan majikan adalah mengikhtiarkan keuntungan yang berlipat ganda secara tetap dan bukannya memikirkan nasib buruh. Nasib buruh berada di luar kerangka-acuan pemikirannya buruh karena itu, tidak boleh menyerahkan nasibnya kepada majikan. Dia harus mengambilnya sebagai masalah dirinya sendiri, dan mencari jalan bagaimana masalah itu diselesaikan secara efektip. Cara yang diajarkan Marx ialah bahwa buruh harus dapat memaksa majikan (dengan organisasi mogok misalnya, kalau upah tidak dinaikkan) agar supaya majikan terpaksa memperbaiki nasib mereka. Buruh haruslah memiliki sejumlah kekuatan di tangannya agar dapat 'mengatur' majikan. Perbaikan nasibnya tidak akan datang lewat persuasi tetapi lewat distribusi kekuasaan dan kewenangan dalam membuat keputusan. Hal kedua yang diramalkan Marx ialah bila kelas pekerja terus-menerus ditindas oleh majikan, maka mereka akan bertahan habis-habisan sampai pada suatu titik batas yang masih bisa diterima (seorang teman menyebutnya tolerable margin). Lewat batas itu akan terjadi ledakan berupa revolusi sosial yang mengakhiri kekuasaan majikan. Anehnya, revolusi itu justru tidak terjadi. Sebab buruh dengan alat organisasi mogoknya, setiap saat dapat mengancam majikannya, sehingga majikan terpaksa memperbaiki nasib buruh, sebelum buruh didesak sampai pada 'batas toleransi' mereka. Dengan proses serupa itu tolerable margin senantiasa dihindari, revolusi sosial tidak meledak, dan sebagai akibatnya kekuasaan majikan tetap bertahan. Sejarah negara-negara industri kiranya membuktikan hal itu: revolusi sosial hampir tidak pernah terjadi di sana. *** Nampak dari proses itu bahwa bila buruh hanya memakai persuasi yang menurut Marx tidak bakal mempan - maka besar kemungkinan nasib mereka terus-menerus ditindas, yang berarti 'batas toleransi' mereka terus bertambah dekat dan pada suatu waktu akan dilanggar dan menimblkan revolusi sosial, yang mengakhiri kekuasaan majikan. Yang terjadi adalah bahwa justru karena ada distribusi kekuasaan, justru karena buruh juga diberi kekuatan tertentu, majikan selalu terdesak memperbaiki nasib buruh untuk menghindari 'batas toleransi' itu, yang mengakibatkan bahwa revolusi sosial tidak terjadi dan kekuasaan majikan berlanjut terus. Yang aneh ialah bahwa kekuasaan majikan dipertahankan justru karena kepada buruh diberikan juga kekuatan tertentu. Hal ini terjadi dalam bidang hubungan majikan-buruh. Tetapi nampaknya itu juga misteri dan paradox demokrasi: kekuasaan dimantapkan justru dengan mendistribusikannya. Dan itu mungkin berlaku pada semua jenis kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus