SHAHNON Ahmad adalah sastrawan terkemuka Malaysia saat ini.
Lahir 13 Januari 1933 di desa Sik, Kedah (Malaysia Utara), ia
kini beranak 4 orang. Jabatannya sekarang adalah Timbalan Dekan
Pusat Pengkajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia.
Beberapa novelnya yang telah terbit: Rentung, Terdedah, Menteri,
Perdana, Ranjau Sepanjang Jalan, Srengenge, Sampah. Ada beberapa
antoloji cerpennya, di antaranya: Debu Merah, Anjing-anjing,
Angin Retak. Selain menulis kritik puisi dalam bulanan Dewan
Sastra, Mingguan Malaysia dan Utusan Zaman, Shahnon juga menjadi
Ketua Pengarang Jurnal Masakini.
Ia sangat mengagumi Steinback, Hemingway, Chekhov. Dua
pengarang Indonesia yang ia gemari adalah Pramoedya Ananta Toer
dan Umar Kayam. Menulis cerpen sejak 1955 (dan 10 tahun kemudian
baru mulai dengan novel) dalam karya-karyanya tergambar betapa
Shahnon sangat mencintai kehidupan rakyat kecil di kampung dan
desa. "Saya sangat mencintai desa kelahiran saya, Sik, meskipun
sampai kini belum ada pula listrik atau air ledeng di sana",
Katanya. Ia banyak mengecam jurang antara si kaya dan si miskin
- "suatu kenyataan yang sekarang jelas terlihat di negeri saya".
Memperoleh sarjana mudanya di Universitas Nasional Canberra
(1972), dua tahun kemudian Shahnon Ahmad menggondol gelar
sarjana sastra dalam pengkajian puisi Melayu dari Universiti
Sains Malaysia. Sejak kapan tertarik dunia sastra? "Sejak masih
duduk di sekolah menengah saya sudah membaca buku-buku sastra",
katanya. Dan di Malaysia, beberapa buku karangan
pengarang-pengarang Indonesia memang banyak dijadikan bacaan
para murid. Antara lain Siti Nurbaya karangan Marah Rusli,
Salah Asuhan oleh Abdul Muis. "Dan kemudian saya juga membaca
karangan-karangan Poedjangga Baroe dan sastrawan Angkatan 45",
tambahnya.
Tanya: Menurut saudara, di manakah titik persamaan antara
kesusastraan Indonesia dengan kesusastraan Malaysia dewasa ini,
di luar persamaan bahasanya?
Jawab: Persamaan yang kentara barangkali sukar dipastikan, tapi
secara tidak langsung sudah nampak dua titik persamaan. Pertama
ada bibit-bibit kesedaran tentang ketinggian tradisi sendiri
yang sebenarnya tidak berbeda. Kesadaran ini ada pertalian yang
erat dalam penciptaan karya sastra. Tradisi sendiri - termasuk
aspek nilai, norma, kepercayaan, kebatinan, telah menjadi sumber
utama untuk melihat nilai-nilai baru. Ini kelihatan dalam
karya-karya Mohammad Haji Salleh, Kemala, Sutardji, Ajip, dan
beberapa orang lagi. Persamaan ini saya kira akan terus
berkembang dan terus kukuh.
Persamaan yang kedua barangkali mungkin disebabkan pengaruh
mempengaruhi antara kesusastraan Malaysia dan Indonesia. Teknik
Iwan Simatupang nampaknya memberi kesan yang berbekas pada
pengarang-pengarang Indonesia seperti kepada Anwar Ridhwan, Mane
Sikana. Dan puisi-puisi Goenawan Mohamad, Abdul Hadi, Sapardi,
Sutardji dalam penggunaan image tidak jauh bedanya dengan
puisi-puisi Latiff Mohidin, Baha Zain, Zurinah Hassan, Kemala
dan beberapa orang lagi.
Persamaan hingga saat ini, sukar saya pastikan karena
pengetahuan saya tentang kesusastraan Indonesia hanya sampai
dengan generasi Goenawan, Ajip, Sapardi, Tuty Heraty dan
lain-lain. Saya tidak dapat mengikuti karya-karya mutakhir.
T: Di Indonesia kami merasa kagum, akan penerimaan masyarakat
Malaysia terhadap novel yang ditulis para sastrawannya,
khususnya yang saudara tulis sendiri. Bagaimana hal itu bisa
terjadi?
J: Memang benar bahwa masyarakat Malaysia lebih berminat membaca
novel daripada membaca puisi Rupa-rupa cerpen dan novel
diterbitkan. Hanya sedikit kita dapati puisi mendapat tarikan
pembaca. Ini disebabkan nilai masyarakat yang masih melihat
sastra hanya dari aspek fahaman menerusi cerita. Ini mereka
perolehi dari novel dan cerpen, kecuali kalau "absurdity"
akhirnya mempengaruhi pengarang-pengarang prosa. Puisi sekarang
agak sukar diikuti oleh pembaca umum, karena perkembangannya
lebih ke arah "rasa" daripada mengekalkan "fahaman", seperti
dalam pantun, syair, gurindam, seloka dan lain-lain.
T: Saudara sebagai novelis, mengapa kini menerjunkan diri ke
dalam kritik sastra, khususnya puisi?
J: Soalan ini ada hubungannya dengan soalan kedua. Saya terjun
ke dalam kritikan sastra banyak dalam bidang puisi karena
umumnya bidang ini terlalu kurang sehingga komunikasi antara
puisi dengan masyarakat terputus langsung. Saya ingin memainkan
peranan sebagai perantara puisi dengan masyarakat. Saya kira
seorang novelis seperti saya tidak akan tergugat bidangnya kalau
sekaligus menceburkan diri dalam kritikan. Puisi banyak
mempertajam sensitiviti kita. Dan ini banyak menolong saya dalam
penciptaan novel dan cerpen. Yang khawatir ialah kesuntukan
waktu dan tenaga. Faktor ini mungkin akan menyebabkan saya
meletakkan pena dalam bidang kritikan untuk terus berkreatif.
Walau apa jadi pun saya lebih cinta diri saya sebagai velis
daripada sebagai pengulas sastra.
T: Dalam novel saudara, Srengenge, misalnya, tercermin hubungan
rapat mesra antara saudara dengan alam dan masyarakat di
pedalaman. Apakah hal yang sama terdapat juga pada sastrawan
lain? Bagaimana hubungan sastrawan dengan kehidupan kota?
J: Memang saya sering menekankan aspek alam dengan kehidupan
manusia dalam novel-novel Srengenge, Ranjau Sepanjang Jalan,
Rentong dan lain-lain. Kecuali S. Othman Kelantan, saya nampak
tidak ada usaha yang kentara dalam mengesafkan hubungan mesra
ini. Tapi dalam sajak sumber alam sering dimesrakan oleh
Mohammad Haji Salleh, Kemala, Latiff, Zurinah, tapi hubungan
ini lebih merupakan hubungan kesepian, tidak dalam konteks
masyarakat pedalaman, kecuali beberapa buah sajak Mohammad Haji
Salleh dan Kassim Ahmad.
Hubungan sastrawan Malaysia dengan kota banyak pura-pura dan
memperlihatkan pesimismenya. Tidak ada sesuatu yang indah dari
kehidupan kota terpancar dalam karya-karya sastra. Nilai hidup
rusak, manusia sudah bertukar menjadi binatang, moral luput sama
sekali. Kota sering menjadi sasaran pengarang-pengarang
Malaysia. Saya sendiri takut menghadapi kota --bimbang
kalau-kalau kemanusiaan saya bertukar menjadi kebinatangan.
T: Sampai sejauh mana peranan agama Islam dalam pandangan hidup
rata-rata sastrawan Malaysia? Selain agama Islam, pandangan lain
apa misalnya yang berpengaruh?
J: Ada trend kembali kepada Islam sekarang kerana perkembangan
dakwah Islam rata-rata kesan kepada sastrawan Malaysia memang
ada. Malah di Malaysia sekarang telah tertubuh Golongan Penulis
Islam- Malaysia yang berlainan konsepnya dengan GAPENA (Gabungan
Penulis Nasional Malaysia) dari aspek objektifnya. Buat sekarang
peranan Islam mulai tampak dan saya sendiri mulai yakin
perkembangan ini akan memberi kesan yang tegas tak lama lagi.
Islam adalah kebenaran dan keyakinan dan sesuai dalam semua
aman. Panan lain yang agak berpengaruh sama saja dengan konsep
50-an, ialah aspek penentangan penindasan dalam masyarakat,
merapatkan jurang ekonomi yang renggang begitu jauh antara si
miskin dengan si kaya. Ini pun sebenarnya ada hubungan dengan
Islam. Satu lagi yang agak berpengaruh, ialah sikap
anti-materialisme dan pro-spiritualisme. Dan inipun ada
kaitannya denan konsel Islam.
T: Dalam paper saudara unruk Pertemuan Sastrawan di Jakarta
saudara menyebut bahwa sajak-sajak Tongkat Warrant yang paling
indah adalah sajak-sajak personal" Tapi saudara juga menyebut
bahwa hal itu "sukar dikekalkan oleh Tongkat", karena "arus
perkembangan masyarakat masih meminta beliau membicarakan
sesuatu di luar diri" Akibatnya sajak-sajak Tongkat, menurut
saudara, "menjadi pernyataan konsep dan ideologi" dan "tipis
untuk diterima sebagai karya seni" Sampai sejauh mana menurut
saudara seorang sastrawan dapat mengorbankan karya seni untuk
pernyataan ideologi?
J: Tidak salah kalau dalam seni ada ideologi. Tapi jangan
membiar ideologi menguasai seni. Ini terdapat dalam sajak-sajak
Tongkat Warrant di samping sajak-sajak personalnya. Sejauh mana
sastrawan dapat menyebarkan karya seni untuk pernyataan ideologi
tentu saja tergantung pada disiplin dan sikap sastrawan itu.
Sastrawan yang hanya mengikut arus tentu saja berubah-ubah. Tapi
bagi pengarang yang sudah tetap garis perjalanannya, dia akan
terus dengan lantasan yang diyakininya.
T: Saudara memuji Kassim Ahmad sebagai "seorang intelektual yang
serious dan berprinsip teguh sekali" Kini Kassim Ahmad ditangkap
pemerintah. Tidakkah pujian seperti itu membahayakan diri
saudara? Bagaimana pula komentar saudara tentang penangkapan
itu?
J: Saya memuji Kassim Ahmad sebagai seorang intelektual yang
serious, sebagai seorang manusia yang tidak pernah goncang dari
sebarang tiupan angin dan sebagai seorang sastrawan yang saya
anggap tinggi mutu karya-karyanya. Meskipun Kassim Ahmad terus
menyatakan ideologi sosialismenya dalam karya, tapi beliau tidak
pernah membiar ideologi itu menguasai seninya. Kassim sebagai
sastrawan tidak melupakan seninya meskipun secara langsung
terlibat dalam politik. Tangkapan yang dibuat terhadap Kassim
Ahmad hanya untuk penyelidikan dan siasatan dalam penglibatan
dengan komunisme. Kiranya Kassim Ahmad dibawa ke hadapan
pengadilan dan didapati ia seorang komunis, maka ia perlulah
dihukum sewajarnya. Kiranya didapati Kassim tidak terlibat dalam
kegiatan komunis beliau perlulah dibebaskan.
Saya melihat Kassim Ahmad dengan penuh kejujuran dan keilmuan.
Saya tidak tahu pendapat ini berbahaya atau tidak kepada diri
saya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini