Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

"saya lebih cinta diri saya ..."

Wawancara dengan shahnan ahmad, 33, sastrawan terkemuka malaysia tentang persamaan kesusastraan indonesia dengan malaysia, karya-karyanya dan tentang pertemuan sastrawan di jakarta. (sr)

25 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SHAHNON Ahmad adalah sastrawan terkemuka Malaysia saat ini. Lahir 13 Januari 1933 di desa Sik, Kedah (Malaysia Utara), ia kini beranak 4 orang. Jabatannya sekarang adalah Timbalan Dekan Pusat Pengkajian Ilmu Kemanusiaan Universiti Sains Malaysia. Beberapa novelnya yang telah terbit: Rentung, Terdedah, Menteri, Perdana, Ranjau Sepanjang Jalan, Srengenge, Sampah. Ada beberapa antoloji cerpennya, di antaranya: Debu Merah, Anjing-anjing, Angin Retak. Selain menulis kritik puisi dalam bulanan Dewan Sastra, Mingguan Malaysia dan Utusan Zaman, Shahnon juga menjadi Ketua Pengarang Jurnal Masakini. Ia sangat mengagumi Steinback, Hemingway, Chekhov. Dua pengarang Indonesia yang ia gemari adalah Pramoedya Ananta Toer dan Umar Kayam. Menulis cerpen sejak 1955 (dan 10 tahun kemudian baru mulai dengan novel) dalam karya-karyanya tergambar betapa Shahnon sangat mencintai kehidupan rakyat kecil di kampung dan desa. "Saya sangat mencintai desa kelahiran saya, Sik, meskipun sampai kini belum ada pula listrik atau air ledeng di sana", Katanya. Ia banyak mengecam jurang antara si kaya dan si miskin - "suatu kenyataan yang sekarang jelas terlihat di negeri saya". Memperoleh sarjana mudanya di Universitas Nasional Canberra (1972), dua tahun kemudian Shahnon Ahmad menggondol gelar sarjana sastra dalam pengkajian puisi Melayu dari Universiti Sains Malaysia. Sejak kapan tertarik dunia sastra? "Sejak masih duduk di sekolah menengah saya sudah membaca buku-buku sastra", katanya. Dan di Malaysia, beberapa buku karangan pengarang-pengarang Indonesia memang banyak dijadikan bacaan para murid. Antara lain Siti Nurbaya karangan Marah Rusli, Salah Asuhan oleh Abdul Muis. "Dan kemudian saya juga membaca karangan-karangan Poedjangga Baroe dan sastrawan Angkatan 45", tambahnya. Tanya: Menurut saudara, di manakah titik persamaan antara kesusastraan Indonesia dengan kesusastraan Malaysia dewasa ini, di luar persamaan bahasanya? Jawab: Persamaan yang kentara barangkali sukar dipastikan, tapi secara tidak langsung sudah nampak dua titik persamaan. Pertama ada bibit-bibit kesedaran tentang ketinggian tradisi sendiri yang sebenarnya tidak berbeda. Kesadaran ini ada pertalian yang erat dalam penciptaan karya sastra. Tradisi sendiri - termasuk aspek nilai, norma, kepercayaan, kebatinan, telah menjadi sumber utama untuk melihat nilai-nilai baru. Ini kelihatan dalam karya-karya Mohammad Haji Salleh, Kemala, Sutardji, Ajip, dan beberapa orang lagi. Persamaan ini saya kira akan terus berkembang dan terus kukuh. Persamaan yang kedua barangkali mungkin disebabkan pengaruh mempengaruhi antara kesusastraan Malaysia dan Indonesia. Teknik Iwan Simatupang nampaknya memberi kesan yang berbekas pada pengarang-pengarang Indonesia seperti kepada Anwar Ridhwan, Mane Sikana. Dan puisi-puisi Goenawan Mohamad, Abdul Hadi, Sapardi, Sutardji dalam penggunaan image tidak jauh bedanya dengan puisi-puisi Latiff Mohidin, Baha Zain, Zurinah Hassan, Kemala dan beberapa orang lagi. Persamaan hingga saat ini, sukar saya pastikan karena pengetahuan saya tentang kesusastraan Indonesia hanya sampai dengan generasi Goenawan, Ajip, Sapardi, Tuty Heraty dan lain-lain. Saya tidak dapat mengikuti karya-karya mutakhir. T: Di Indonesia kami merasa kagum, akan penerimaan masyarakat Malaysia terhadap novel yang ditulis para sastrawannya, khususnya yang saudara tulis sendiri. Bagaimana hal itu bisa terjadi? J: Memang benar bahwa masyarakat Malaysia lebih berminat membaca novel daripada membaca puisi Rupa-rupa cerpen dan novel diterbitkan. Hanya sedikit kita dapati puisi mendapat tarikan pembaca. Ini disebabkan nilai masyarakat yang masih melihat sastra hanya dari aspek fahaman menerusi cerita. Ini mereka perolehi dari novel dan cerpen, kecuali kalau "absurdity" akhirnya mempengaruhi pengarang-pengarang prosa. Puisi sekarang agak sukar diikuti oleh pembaca umum, karena perkembangannya lebih ke arah "rasa" daripada mengekalkan "fahaman", seperti dalam pantun, syair, gurindam, seloka dan lain-lain. T: Saudara sebagai novelis, mengapa kini menerjunkan diri ke dalam kritik sastra, khususnya puisi? J: Soalan ini ada hubungannya dengan soalan kedua. Saya terjun ke dalam kritikan sastra banyak dalam bidang puisi karena umumnya bidang ini terlalu kurang sehingga komunikasi antara puisi dengan masyarakat terputus langsung. Saya ingin memainkan peranan sebagai perantara puisi dengan masyarakat. Saya kira seorang novelis seperti saya tidak akan tergugat bidangnya kalau sekaligus menceburkan diri dalam kritikan. Puisi banyak mempertajam sensitiviti kita. Dan ini banyak menolong saya dalam penciptaan novel dan cerpen. Yang khawatir ialah kesuntukan waktu dan tenaga. Faktor ini mungkin akan menyebabkan saya meletakkan pena dalam bidang kritikan untuk terus berkreatif. Walau apa jadi pun saya lebih cinta diri saya sebagai velis daripada sebagai pengulas sastra. T: Dalam novel saudara, Srengenge, misalnya, tercermin hubungan rapat mesra antara saudara dengan alam dan masyarakat di pedalaman. Apakah hal yang sama terdapat juga pada sastrawan lain? Bagaimana hubungan sastrawan dengan kehidupan kota? J: Memang saya sering menekankan aspek alam dengan kehidupan manusia dalam novel-novel Srengenge, Ranjau Sepanjang Jalan, Rentong dan lain-lain. Kecuali S. Othman Kelantan, saya nampak tidak ada usaha yang kentara dalam mengesafkan hubungan mesra ini. Tapi dalam sajak sumber alam sering dimesrakan oleh Mohammad Haji Salleh, Kemala, Latiff, Zurinah, tapi hubungan ini lebih merupakan hubungan kesepian, tidak dalam konteks masyarakat pedalaman, kecuali beberapa buah sajak Mohammad Haji Salleh dan Kassim Ahmad. Hubungan sastrawan Malaysia dengan kota banyak pura-pura dan memperlihatkan pesimismenya. Tidak ada sesuatu yang indah dari kehidupan kota terpancar dalam karya-karya sastra. Nilai hidup rusak, manusia sudah bertukar menjadi binatang, moral luput sama sekali. Kota sering menjadi sasaran pengarang-pengarang Malaysia. Saya sendiri takut menghadapi kota --bimbang kalau-kalau kemanusiaan saya bertukar menjadi kebinatangan. T: Sampai sejauh mana peranan agama Islam dalam pandangan hidup rata-rata sastrawan Malaysia? Selain agama Islam, pandangan lain apa misalnya yang berpengaruh? J: Ada trend kembali kepada Islam sekarang kerana perkembangan dakwah Islam rata-rata kesan kepada sastrawan Malaysia memang ada. Malah di Malaysia sekarang telah tertubuh Golongan Penulis Islam- Malaysia yang berlainan konsepnya dengan GAPENA (Gabungan Penulis Nasional Malaysia) dari aspek objektifnya. Buat sekarang peranan Islam mulai tampak dan saya sendiri mulai yakin perkembangan ini akan memberi kesan yang tegas tak lama lagi. Islam adalah kebenaran dan keyakinan dan sesuai dalam semua aman. Panan lain yang agak berpengaruh sama saja dengan konsep 50-an, ialah aspek penentangan penindasan dalam masyarakat, merapatkan jurang ekonomi yang renggang begitu jauh antara si miskin dengan si kaya. Ini pun sebenarnya ada hubungan dengan Islam. Satu lagi yang agak berpengaruh, ialah sikap anti-materialisme dan pro-spiritualisme. Dan inipun ada kaitannya denan konsel Islam. T: Dalam paper saudara unruk Pertemuan Sastrawan di Jakarta saudara menyebut bahwa sajak-sajak Tongkat Warrant yang paling indah adalah sajak-sajak personal" Tapi saudara juga menyebut bahwa hal itu "sukar dikekalkan oleh Tongkat", karena "arus perkembangan masyarakat masih meminta beliau membicarakan sesuatu di luar diri" Akibatnya sajak-sajak Tongkat, menurut saudara, "menjadi pernyataan konsep dan ideologi" dan "tipis untuk diterima sebagai karya seni" Sampai sejauh mana menurut saudara seorang sastrawan dapat mengorbankan karya seni untuk pernyataan ideologi? J: Tidak salah kalau dalam seni ada ideologi. Tapi jangan membiar ideologi menguasai seni. Ini terdapat dalam sajak-sajak Tongkat Warrant di samping sajak-sajak personalnya. Sejauh mana sastrawan dapat menyebarkan karya seni untuk pernyataan ideologi tentu saja tergantung pada disiplin dan sikap sastrawan itu. Sastrawan yang hanya mengikut arus tentu saja berubah-ubah. Tapi bagi pengarang yang sudah tetap garis perjalanannya, dia akan terus dengan lantasan yang diyakininya. T: Saudara memuji Kassim Ahmad sebagai "seorang intelektual yang serious dan berprinsip teguh sekali" Kini Kassim Ahmad ditangkap pemerintah. Tidakkah pujian seperti itu membahayakan diri saudara? Bagaimana pula komentar saudara tentang penangkapan itu? J: Saya memuji Kassim Ahmad sebagai seorang intelektual yang serious, sebagai seorang manusia yang tidak pernah goncang dari sebarang tiupan angin dan sebagai seorang sastrawan yang saya anggap tinggi mutu karya-karyanya. Meskipun Kassim Ahmad terus menyatakan ideologi sosialismenya dalam karya, tapi beliau tidak pernah membiar ideologi itu menguasai seninya. Kassim sebagai sastrawan tidak melupakan seninya meskipun secara langsung terlibat dalam politik. Tangkapan yang dibuat terhadap Kassim Ahmad hanya untuk penyelidikan dan siasatan dalam penglibatan dengan komunisme. Kiranya Kassim Ahmad dibawa ke hadapan pengadilan dan didapati ia seorang komunis, maka ia perlulah dihukum sewajarnya. Kiranya didapati Kassim tidak terlibat dalam kegiatan komunis beliau perlulah dibebaskan. Saya melihat Kassim Ahmad dengan penuh kejujuran dan keilmuan. Saya tidak tahu pendapat ini berbahaya atau tidak kepada diri saya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus