Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebiri merupakan hukuman kuno sekaligus melanggar hak asasi manusia. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat perlu menghapus hukuman ini. Jika ingin menghukum pemerkosa anak seberat-beratnya, hakim bisa menerapkan pidana tambahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pro-kontra soal kebiri mencuat lagi setelah hakim memvonis Muh. Aris dengan hukuman 12 tahun penjara plus kebiri kimia. Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur, menyatakan pemuda 20 tahun itu terbukti bersalah memerkosa sejumlah bocah. Putusan ini dikuatkan Pengadilan Tinggi Surabaya pada Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vonis itu merupakan yang pertama sejak kebiri kimia diatur dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang pada 2016. Perpu yang diteken Presiden Joko Widodo ini memuat revisi terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak. Revisi tersebut kemudian disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan disahkan lewat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.
Kebiri kimia dilakukan dengan cara mengurangi hormon testosteron untuk menekan dorongan seksual. Hanya, kejaksaan belum bisa mengeksekusi hukuman ini lantaran pemerintah belum menerbitkan aturan pelaksanaannya. Ikatan Dokter Indonesia pun menolak menjadi eksekutor karena undang-undang mengatur bahwa yang menjadi eksekutor adalah jaksa, bukan dokter.
Jika ingin memperbesar efek jera, hakim semestinya cukup memperberat hukuman Aris dengan penjara seumur hidup. Hakim pun bisa memilih hukuman tambahan yang lebih manusiawi, seperti mengungkap identitas pelaku kepada publik atau memasang alat deteksi elektronik agar pelaku bisa dipantau petugas.
Hukuman kebiri sebetulnya kuno. Kebiri fisik telah diterapkan di berbagai negara sejak ratusan tahun lalu. Di Eropa, pada Abad Pertengahan, lex talionis memberlakukan kebiri untuk delik zina dan pemerkosaan. Prinsipnya adalah hukuman sebagai pembalasan sesuai dengan kejahatan: pencuri dipotong tangannya, pemerkosa dikebiri, dan pembunuh dihukum mati.
Setelah Perang Dunia II, penerapan hukuman kebiri menurun drastis di Eropa. Perubahan besar juga terjadi di Amerika Serikat bersamaan dengan berkembangnya demokrasi. Hukuman cambuk, kebiri, dan pemotongan organ tubuh lenyap dari undang-undang. Berbagai jenis hukuman semacam itu sudah tidak cocok dalam masyarakat modern dan beradab.
Hukum modern memandang bahwa kejahatan lahir tidak semata dari faktor agresivitas perseorangan, tapi juga dari lingkungan sosial dan politiknya. Motif seseorang memerkosa tak selalu karena hasrat seksual, tapi bisa jadi karena kemarahan, kebencian, atau motif lain. Bila orang semacam ini dihukum kebiri, hukuman itu tidak menyasar pokok masalah.
Hukuman kebiri kimia jelas melanggar hak asasi: setiap orang berhak menentukan segala tindakan atas tubuhnya. Kebiri menabrak pula hak prokreasi atau hak memiliki keturunan. Kebiri kimia pun diyakini akan memicu antara lain penyakit kardiovaskular, hipertensi, depresi, dan insomnia.
Dari aspek penegakan hukum, kebiri kimia juga tak menjamin menimbulkan efek jera. Hasil penelitian Fred S. Berlin, Direktur National Institute for the Study, Prevention and Treatment of Sexual Trauma, Amerika Serikat, pada 1994 menunjukkan hal tersebut. Dia menyimpulkan 8 persen dari 629 lelaki yang dikebiri kimia mengulangi lagi perbuatannya dalam periode lima tahun.
Semua hal itu menunjukkan kebiri kimia merusak martabat manusia. Sebagai negara demokrasi yang menghormati hak-hak asasi manusia, Indonesia tak sepatutnya menerapkan hukuman ini.