Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan Hidup Sederhana pernah dikumandangkan Presiden Soeharto pada 1980-an. Sejumlah istilah pun lahir, misalnya kencangkan ikat pinggang, kembali ke makanan tradisional, atau jauhi pesta. Pak Harto melarang pesta perkawinan di hotel untuk pegawai negeri sipil. Ibu Tien Soeharto menyeru istri pegawai negeri untuk tidak memamerkan kemewahan. Sejak itu, ibu-ibu Dharma Wanitaistri pegawai negeripunya pakaian seragam yang sederhana dan tak boleh memakai perhiasan seperti kalung dan gelang. Juga, ada berbagai pameran makanan dari sagu, jagung, ketela, dan sebagainya.
Apa hasilnya? Perubahan drastis hanya terjadi pada awal-awalnya dan selebihnya adalah hidup dalam kepura-puraan. Para pejabat negara, yang menjadi contoh, tidak konsisten dengan gerakan ini. Mereka memang tidak berpesta di hotel berbintang di Indonesia, tetapi ramai-ramai pelesir ke luar negeri. Ibu-ibu hanya sederhana dalam acara Dharma Wanita. Di luar itu, mereka tidak bisa mengerem kegemaran untuk bermewah-mewah. Akhirnya, gerakan ini tidak lagi dibicarakan menjelang akhir dasawarsa 1980.
Kini, angin baru berembus dari Gedung MPR di Senayan, Jakarta, yang mengingatkan kita pada gerakan hidup sederhana dulu. Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menolak fasilitas kendaraan dinas sedan mewah merek Volvo buatan Swedia. Kendaraan jenis itu berharga sekitar Rp 700 juta lebih, dan perawatannya, menurut Sekretariat Negara, memang mahal.
Hidayat dan Wakil Ketua MPR lainnya juga menyinggung fasilitas mewah berlebihan yang mereka terima tatkala ada sidang-sidang di Jakarta. Fasilitas itu adalah kamar hotel mewah jenis royal suite room yang tarifnya sampai Rp 5 juta semalam. Padahal, fasilitas yang disediakan tak pernah dipakai karena sidang MPR sering berlangsung maraton.
Gerakan moral Ketua MPR ini didukung pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) meskipun ditanggapi dengan diplomatis dan cenderung ditolak oleh Ketua DPR Agung Laksono. Bagi Agung dari Partai Golkar, untuk menghemat keuangan negara bukan harus menolak fasilitas yang selama ini sudah tersedia, tetapi lebih pada kebijakan menghilangkan subsidi yang diterima orang kaya, memperkecil utang luar negeri, dan sebagainya.
Namun gerakan moral Hidayat bukannya tidak penting. Negeri ini belum selesai dengan krisis ekonominya, penganggur semakin banyak, orang miskin terus bertambah, petani dan nelayan makin susah hidupnya. Sebentar lagi, mau tak mau, tarif BBM akan naik, dan ini akan diikuti kenaikan tarif listrik, transportasi, dan pasti merembet ke kebutuhan pokok masyarakat. Rakyat akan makin terjepit. Pantaskah wakil rakyat di Senayan tetap bergelimang kemewahan? Tidak adakah sedikit tenggang rasa dengan menghemat pengeluaran uang negara untuk tidak memakai fasilitas yang berlebihan itu? Sebuah mobil Kijang versi terbaru atau sedan seharga Rp 250 juta sudah "sangat mewah" untuk pimpinan wakil rakyat, karena rakyatnya sendiri belum bebas dari kemiskinan.
Justru gerakan berhemat ini hendaknya ditularkan ke lingkungan eksekutif. Para menteri dan pejabat tinggi lainnya tidak usah terlalu mencolok fasilitasnya. Cuma, yang perlu diingatkan, hidup sederhana ini betul-betul keluar dari hati nurani, dijalankan dengan jujur, dijadikan pola hidup, bukan sekadar slogan seperti di masa Pak Harto berkuasa. Hidayat Nur Wahid, yang sebelumnya adalah Presiden Partai Keadilan Sejahtera, tentu tidak ingin berpura-pura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo