Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyusun kabinet bukan perkara mudah. Paling tidak, pasti lebih sulit ketimbang membangun sebuah tim sepak bola. Soalnya, selain harus mempertimbangkan kompetensi para calon menteri, integritas pribadi, dan kemampuannya bekerja sama dalam tim, presiden terpilih juga harus mempertimbangkan kepentingan partai politik pendukungnya. Selain itu, juga rasa keterwakilan berbagai kelompok berdasarkan daerah, jenis kelamin, etnis, agama dan?yang ini mudah-mudahan tidak benar?asal universitas mereka.
Walhasil, mencari titik optimum dari berbagai kepentingan yang berbeda, bahkan kadang kala bertentangan itu, jelas pekerjaan yang memeras otak dan keringat. Soalnya, bila hanya melihat individu sebagai acuan, hasilnya dapat menyesatkan. Buktinya pernah terjadi saat sebuah klub sepak bola bernama Cosmos didirikan di New York puluhan tahun silam. Tim yang bermodal amat kuat ini mengumpulkan pemain sepak bola terbaik di dunia pada posisi masing-masing, lalu menggabungkannya. Ternyata hasilnya mengecewakan. Kendati dilengkapi kiper terbaik, bek kanan dan kiri terbaik, gelandang terbaik, sayap kanan dan kiri terbaik, striker terbaik dan seterusnya, ternyata kesebelasan ini lebih sering kalah di pertandingan ketimbang menang sehingga akhirnya dibubarkan. Maka, menyusun kabinet pun agaknya perlu belajar dari pengalaman Cosmos: kompetensi individu semata saja tidaklah memadai.
Sebaliknya, pertimbangan hanya pada dukungan partai politik juga menghasilkan kekecewaan yang sama. Kabinet yang disusun di era pemerintahan Abdurrahman Wahid maupun Megawati Soekarnoputri adalah buktinya. Koordinasi antarmenteri jauh panggang dari api dan rakyat pun bingung menebak-nebak kebijakan pemerintah versi siapa yang benar. Kabinet agaknya memang tak hanya mirip tim sepak bola, tapi juga kelompok orkes. Dibutuhkan seorang dirigen yang piawai agar setiap tabuhan, petikan, dan gesekan alat musik yang berbeda-beda malah mengalunkan komposisi yang prima. Perbedaan justru menjadi sumber kekuatan, bukan kelemahan.
Presiden terpilih Susilo Bambang Yudhoyono kini menjadi dirigen itu. Ia harus memilih bukan hanya anggota kabinet yang kompeten memimpin portofolio masing-masing, tetapi juga menentukan musik yang akan dimainkan dan partiturnya. Hanya apabila setiap pemusik memainkan instrumennya sesuai dengan partitur yang temponya ditentukan oleh sang dirigen saja, maka sebuah orkestra dapat melantunkan mahakarya. Itu sebabnya, perihal kompetensi teknis, kemampuan bekerja sama dan kepatuhan kepada sang dirigen, mau tak mau, harus menjadi prasyarat yang tak dapat ditawar.
Kepatuhan itu salah satu contohnya dalam hal memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang telah dicanangkan sang presiden terpilih sebagai salah satu agenda utamanya. Maka, hanya mereka yang mempunyai jejak rekam bersih dari perkara mencuri uang negara ini yang layak menjadi anggota kabinet. Bila dalam persoalan integritas ini ternyata cacat, sehebat apa pun kemampuan seseorang, namanya harus dieliminasi dari pencalonan. Kalaupun telanjur masuk kabinet, Susilo Bambang Yudhoyono harus berani memecatnya begitu korupsi masa lalunya terbongkar. Kabinet yang bersih dan sehat harus selalu dipertahankan.
Setelah itu, kemampuan bekerja sama dalam tim perlu dipertimbangkan. Tentu bukan berarti tak boleh berbeda pendapat, tetapi justru mempunyai kemampuan untuk menerima keragaman dan berkonflik dengan sehat. Seorang Menteri Perdagangan ataupun Industri, misalnya, mesti bernaluri seperti seorang direktur pemasaran yang terus-menerus mencari peluang untuk berekspansi alias cenderung menginjak pedal gas. Sebaliknya, seorang Menteri Keuangan wajib bernaluri menjaga kesehatan arus kas dan tak sungkan untuk menginjak rem bila kestabilan laju pertumbuhan terancam. Tugas Menteri Koordinator Ekonomi adalah sebagai pengemudi yang berkewajiban mencapai tujuan yang telah ditetapkan majikan dalam tempo selekas namun sekaligus seaman mungkin. Kemampuannya untuk mengarahkan kemudi dan memainkan kopling tentu menjadi sebuah keniscayaan.
Setelah lolos uji integritas, kompetensi teknis, dan kemampuan bekerja sama, baru persoalan perwakilan dapat dinilai. Tak semua posisi perlu dipertimbangkan. Keputusan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjauhkan calon partai dari posisi Jaksa Agung, Menteri Badan Usaha Milik Negara, dan Kepala Badan Intelijen Negara sudah tepat. Citra nonpartisan dibutuhkan oleh pemangku jabatan-jabatan itu agar keputusan mereka tak dicurigai bermotif kepentingan partainya. Bila ada perwakilan yang belum mendapat posisi menteri, hendaknya jangan dipaksakan. Mereka boleh saja duduk di bangku cadangan dulu dalam jabatan persiapan sebelum menduduki posisi di kabinet masa depan.
Mereka yang terpilih menjadi menteri harus paham tentang posisinya sebagai pelaksana kebijakan yang telah digariskan presiden. Itu sebabnya, dalam penentuan kebijakan dan evaluasi pelaksanaannya, mereka harus rela jika presiden memilih staf kepresidenan untuk membantunya. Ibarat dalam sebuah orkes, sang dirigen dibantu para staf khusus untuk memilih lagu yang akan dimainkan agar penonton terpuaskan. Termasuk kemungkinan mengubah pilihan di tengah pergelaran jika dianggap akan lebih menyenangkan para pemirsa. Harap maklum, dalam sistem politik saat ini, sang dirigen dipilih langsung oleh rakyat, bukan para pemusik di atas panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo