Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRANSPARANSI dan kesejahteraan pekerja adalah dua hal yang dijanjikan Direktur Utama PT Jamsostek, Achmad Djunaidi, saat berpidato dalam Rapat Kerja Nasional 2004 PT Jamsostek di Jakarta, 16 September lalu. Bagi para buruh dan pekerja peserta program Jamsostek?kini 23 juta orang dengan sekitar 11 juta peserta aktif?janji itu ibarat embusan angin segar.
Kesejahteraan peserta memang cita-cita utama yang dipikul Jamsostek (Jaminan Sosial Tenaga Kerja), perseroan milik negara dengan kekayaan Rp 30 triliun pada 2004. Empat tahun lalu, Jamsostek membentuk Biro Dana Peningkatan Kesejahteraan Peserta (DPKP). Biro ini?dikukuhkan melalui sebuah keputusan menteri?secara khusus diberi tugas mengurusi peningkatan kualitas dan peningkatan peserta Jamsostek. Caranya? Perseroan itu menyisihkan sebagian keuntungannya untuk dimasukkan ke kas DPKP.
Kas itu?kini berjumlah Rp 500 miliar?dikelola oleh Biro DPKP untuk menyokong kesejahteraan para peserta. Mulai dari bantuan keuangan untuk yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), pemberian beasiswa, hingga pinjaman uang muka pembelian rumah. Tapi, dalam prakteknya, penggunaan dana itu malah menabrak aturan-aturan perseroan Jamsostek. Sebut contoh, pinjaman Rp 8 miliar kepada Induk Koperasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman Kudus (kasus 2001) yang baru berusia sepekan. Aturannya? Pinjaman hanya dapat diberikan kepada koperasi yang berusia paling sedikit setahun.
Contoh lain, pinjaman Rp 1,7 miliar kepada PT Havilah Citra Foot Wear di Karawang (kasus 2001) karena perusahaan itu tak sanggup membayar pesangon para pekerjanya yang terkena PHK. Dan ini contoh yang lebih absurd: Rp 400 juta DPKP disumbangkan ke Panitia Nasional Perayaan Kemerdekaan RI ke-58. Pada tahun yang sama, Rp 250 juta dialirkan ke Kodim dan Koramil DKI Jakarta dalam rangka Idul Fitri. Pemakaian dana semacam ini jelas jauh dari urusan kesejahteraan peserta Jamsostek (baca Investigasi: Salah Parkir Dana Jamsostek).
Sialnya, tak semua peserta Jamsostek mengetahui ihwal dana kesejahteraan itu?apalagi memanfaatkannya. Sosialisasi yang dilakukan Jamsostek tak merembes ke tingkat bawah. Belum lagi proses yang dianggap berbelit-belit. Maka, ironilah yang muncul: buruh dan pekerja, yang paling berhak mengecap manfaat DPKP, tak mampu menjangkau dana itu. Sebaliknya, pejabat Jamsostek bisa membelokkan pembelanjaan DPKP kepada hal-hal yang tak bersangkut-paut dengan kesejahteraan peserta.
Toh, tak mudah menggugat sepak terjang Jamsostek kalaupun perilakunya tidak transparan, karena dia relatif terbebas dari intervensi pihak luar. Pekerja juga tak punya pilihan karena belum ada alternatif lembaga yang dapat memberikan jasa serupa. Maka, pemerintah mungkin dapat mempertimbangkan kehadiran lembaga lain di luar Jamsostek untuk mengurusi kesejahteraan pekerja dengan lebih transparan. Apalagi, transparansi mutlak diperlukan dalam mengurus dana raksasa milik jutaan pekerja. Central Provident Fund (CFP) milik pemerintah Singapura, misalnya, dapat menjadi contoh.
Di negeri itu, pemerintah mewajibkan pekerja menabung 20 persen penghasilannya untuk jaminan hari tua. Perusahaan diwajibkan memberikan asuransi dan dana pensiunnya lewat CFP. Duit itu lalu diputar untuk membangun ekonomi Singapura dan kesejahteraan para pekerjanya. Di Indonesia, kesejahteraan masih utopia bagi sebagian pekerja yang menabung sebagian gajinya di Jamsostek. Hak sejahtera itu yang seharusnya segera dikembalikan kepada mereka, setiap buruh dan pekerja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo