JALANNYA masih mulus. Walaupun umurnya telah melampaui
seperempat abad. Sudah tua, menurut ukuran mobil. Karena itu
digelari "opelet tua". Tua memang, tapi masih direbuti oleh
penumpang. Hanya saja, bagaikan nenek yang tak menghiraukan
pupur lagi, dia kelihatan jelek di mata para pengagum keindahan.
Pula, ibarat kakek yang mengidap penyakit encok, dia kerap kali
tidak lebih cepat dari merangkak. Apalagi di kala mendaki,
mesinnya pakai batuk-batuk segala. Wajar bila macam pengendara
Mercy sering kesal terhadap kelambanan opelet tua. "Memacetkan
lalu-lintas", tuding mereka.
Boleh menggerutu, boleh mencaci-maki! Itu urusan sendiri. Tapi,
perkara mengeluarkan peraturan yang berisi pelarangan operasi
pada opelet buatan tahun 1950 ke bawah, tidaklah gampang.
Salah-salah bisa menggulingkan periuk nasi sejumlah kepala
keluarga, yang lagi-lagi orang kecil! Jangan-jangan bisa
mengerdilkan suatu ketrampilan, yaitu memanjangkan umur barang
yang dianggap sudah pantas masuk tong sampah.
Konon, larangan ini berlaku di Pakanbaru, di kota yang entah
sudah sebagaimana "metropolis"-nya. Padahal menurut Menteri
Sutami, "teknologi kuno maupun mutakhir, bisa dipakai di negeri
kita".
Heran juga. Opelet tua dilarang beroperasi. Mestinya sih busung
dada! Bukankah suatu prestasi kalau seseorang berhasil
memulihkan dan menjaga "kegagahan" opelet tua? Hitunglah! Berapa
banyak barang "afkir"-an yang termanfaatkan kembali. Berapa
banyak onderdil pengganti yang diakalakali sendiri. Tidakkah
semua ini merangkul suatu kreatifitas dan ketrampilan teknis
yang jempolan?
Lantas, muncul sebuah pertanyaan yang mengusik. Teknologi yang
memanfaatkan barang-barang yang hampir atau sama sekali tidak
berguna lagi disebut teknologi apa? 'Teknologi rongsokan (serap
technology)' juluk Dr. J. Moeliono, Konsultan Pusat Teknologi
Pembangunan ITB. Nah! Galibnya barang rongsokan
diperjual-belikan di pasar loak, sebagai barang loakan tentu.
Maka tidaklah ganjil jika teknologi rongsokan dijuluki pula
teknologi loak. Kedengarannya lebih menghentakkan perasaan.
Sebuah kisah tentang seorang profesor dari Bandung. Saban hari,
dia menyempatkan diri ke tukang loak. Pilih buku yang berguna
dan beli secara kiloan. Pulang ke rumah, buku-buku ini disoleki
dan dipajang di perpustakaannya yang tidak beda sebuah toko
buku. Bergantian koleganya, yang sebagian besar adalah sarjana
asal luar negeri, datang meminjam atau membeli bukunya.
Hasilnya, cukup buat mengasapi dapurnya.
Lain pula, apa yang dilakukan oleh Irvan Ibrahim (Buana Minggu,
21 Nopember 1976). Tidak hanya berbekal bakat dagang campur
keahlian memilih buku seperti "profesor loak" di atas, tapi
mahasiswa ATN Bandung jurusan elektro ini berhasil memadukan
unsur cita rasa dan ketrampilan teknik. Dia membongkar sebuah
radio transistor Philips 4 band dan membentuknya menjadi sebuah
lukisan mobil kuno. Asyiknya, radio ini masih tetap berfungsi.
Karya ini dipamerkan di Hotel Aryaduta-Hyatt, Jakarta.
Pembelinya bernama Langerberg tidak segan merogoh Rp 60.000 dari
koceknya. Maka, bukankah suatu kecemerlangan bila seorang
Belanda dapat "dikibuli" sehingga mau membeli kembali sebuah
barang bekas yang "made in Holland ".
Ceritera lain! Desember tahun lalu di kampus ITB, mahasiswa ITB
memperagakan hasil karya KKN mereka. Sebuah alat parut kelapa
yang dipergunakan dalam pembuatan minyak kelapa rakyat menarik
pengunjung. Alat ini berkonstruksi sepeda dan digerakkan oleh
tenaga orang. Dan hampir seluruh komponennya berasal dari
barang bekas. Seorang pengunjung nyeletuk: "Wah, bagus nih! Tuh
di kantor Komdak Metro Jaya becak-becak razzia ditumpuk begitu
saja. Timbang jadi besi tua, mendingan dijadikan alat parut
kelapa".
Dan, ini sebuah pemikiran. Tidakkah penduduk di negeri maju itu
berkecenderungan "sekali pakai, buang!" Akibatnya, barang bekas
terpaksa dijual dengan harga "miring". Malah, ada yang mau
dibuang pun susah. Mengapa barang bekas ataukah sampah mereka
tidak kita manfaatkan? Mujur-mujur kalau kita bisa menjualnya
kembali kepada mereka dalam bentuk lain. Sudah tentu, keinginan
ini harus dibarengi oleh sikap mental "pakai sebisa-bisanya" dan
ketrampilan teknologi loak yang ampuh.
Hobi-hobian
Kegiatan-kegiatan yang bersifat memanjangkan nilai guna suatu
barang sudah banyak menafkahi rakyat kecil kita. Sayang, masih
bersahaja sekali. Teknologi, teknologi kuno. Skala ekonominya,
skala kecil. Sebab itu, sementara orang menggolongkan teknologi
loak sebagai informal technology. Dalam arti, potensi ekonominya
belum dapat diperhitungkan secara nyata. Ya, lebih mirip sebagai
kegiatan hobi-hobian dibanding kerja mencari nafkah sungguhan.
Menjadi tantangan bagaimana "bisnis loak" bisa terkelola dengan
baik dan berskala ekonomi yang lebih besar, hingga sumbangannya
kentara dalam pertumbuhan ekonomi kita. Bagaimana "teknologi
loak" juga melibatkan teknologi yang lebih modern. Sehingga
lebih banyak sampah termanfaatkan, tidak cuma kotoran sapi yang
dibuat jadi gas methane (gas dapur) oleh Pusat Teknologi
Pembangunan ITB. Sehingga, harapan Prof. Slamet Iman Santoso
untuk mengrecycle kertas bekas, ban bekas, dan pelumas bekas
dapat terkabul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini