Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hidup teknologi loak!

Barang-barang bekas dapat dimanfaatkan lagi dalam bentuk lain melalui teknologi rongsokan. teknologi loak sebagai teknologi informal, potensi ekonominya belum dapat diperhitungkan dengan nyata. hanya sebagai hobi belaka.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALANNYA masih mulus. Walaupun umurnya telah melampaui seperempat abad. Sudah tua, menurut ukuran mobil. Karena itu digelari "opelet tua". Tua memang, tapi masih direbuti oleh penumpang. Hanya saja, bagaikan nenek yang tak menghiraukan pupur lagi, dia kelihatan jelek di mata para pengagum keindahan. Pula, ibarat kakek yang mengidap penyakit encok, dia kerap kali tidak lebih cepat dari merangkak. Apalagi di kala mendaki, mesinnya pakai batuk-batuk segala. Wajar bila macam pengendara Mercy sering kesal terhadap kelambanan opelet tua. "Memacetkan lalu-lintas", tuding mereka. Boleh menggerutu, boleh mencaci-maki! Itu urusan sendiri. Tapi, perkara mengeluarkan peraturan yang berisi pelarangan operasi pada opelet buatan tahun 1950 ke bawah, tidaklah gampang. Salah-salah bisa menggulingkan periuk nasi sejumlah kepala keluarga, yang lagi-lagi orang kecil! Jangan-jangan bisa mengerdilkan suatu ketrampilan, yaitu memanjangkan umur barang yang dianggap sudah pantas masuk tong sampah. Konon, larangan ini berlaku di Pakanbaru, di kota yang entah sudah sebagaimana "metropolis"-nya. Padahal menurut Menteri Sutami, "teknologi kuno maupun mutakhir, bisa dipakai di negeri kita". Heran juga. Opelet tua dilarang beroperasi. Mestinya sih busung dada! Bukankah suatu prestasi kalau seseorang berhasil memulihkan dan menjaga "kegagahan" opelet tua? Hitunglah! Berapa banyak barang "afkir"-an yang termanfaatkan kembali. Berapa banyak onderdil pengganti yang diakalakali sendiri. Tidakkah semua ini merangkul suatu kreatifitas dan ketrampilan teknis yang jempolan? Lantas, muncul sebuah pertanyaan yang mengusik. Teknologi yang memanfaatkan barang-barang yang hampir atau sama sekali tidak berguna lagi disebut teknologi apa? 'Teknologi rongsokan (serap technology)' juluk Dr. J. Moeliono, Konsultan Pusat Teknologi Pembangunan ITB. Nah! Galibnya barang rongsokan diperjual-belikan di pasar loak, sebagai barang loakan tentu. Maka tidaklah ganjil jika teknologi rongsokan dijuluki pula teknologi loak. Kedengarannya lebih menghentakkan perasaan. Sebuah kisah tentang seorang profesor dari Bandung. Saban hari, dia menyempatkan diri ke tukang loak. Pilih buku yang berguna dan beli secara kiloan. Pulang ke rumah, buku-buku ini disoleki dan dipajang di perpustakaannya yang tidak beda sebuah toko buku. Bergantian koleganya, yang sebagian besar adalah sarjana asal luar negeri, datang meminjam atau membeli bukunya. Hasilnya, cukup buat mengasapi dapurnya. Lain pula, apa yang dilakukan oleh Irvan Ibrahim (Buana Minggu, 21 Nopember 1976). Tidak hanya berbekal bakat dagang campur keahlian memilih buku seperti "profesor loak" di atas, tapi mahasiswa ATN Bandung jurusan elektro ini berhasil memadukan unsur cita rasa dan ketrampilan teknik. Dia membongkar sebuah radio transistor Philips 4 band dan membentuknya menjadi sebuah lukisan mobil kuno. Asyiknya, radio ini masih tetap berfungsi. Karya ini dipamerkan di Hotel Aryaduta-Hyatt, Jakarta. Pembelinya bernama Langerberg tidak segan merogoh Rp 60.000 dari koceknya. Maka, bukankah suatu kecemerlangan bila seorang Belanda dapat "dikibuli" sehingga mau membeli kembali sebuah barang bekas yang "made in Holland ". Ceritera lain! Desember tahun lalu di kampus ITB, mahasiswa ITB memperagakan hasil karya KKN mereka. Sebuah alat parut kelapa yang dipergunakan dalam pembuatan minyak kelapa rakyat menarik pengunjung. Alat ini berkonstruksi sepeda dan digerakkan oleh tenaga orang. Dan hampir seluruh komponennya berasal dari barang bekas. Seorang pengunjung nyeletuk: "Wah, bagus nih! Tuh di kantor Komdak Metro Jaya becak-becak razzia ditumpuk begitu saja. Timbang jadi besi tua, mendingan dijadikan alat parut kelapa". Dan, ini sebuah pemikiran. Tidakkah penduduk di negeri maju itu berkecenderungan "sekali pakai, buang!" Akibatnya, barang bekas terpaksa dijual dengan harga "miring". Malah, ada yang mau dibuang pun susah. Mengapa barang bekas ataukah sampah mereka tidak kita manfaatkan? Mujur-mujur kalau kita bisa menjualnya kembali kepada mereka dalam bentuk lain. Sudah tentu, keinginan ini harus dibarengi oleh sikap mental "pakai sebisa-bisanya" dan ketrampilan teknologi loak yang ampuh. Hobi-hobian Kegiatan-kegiatan yang bersifat memanjangkan nilai guna suatu barang sudah banyak menafkahi rakyat kecil kita. Sayang, masih bersahaja sekali. Teknologi, teknologi kuno. Skala ekonominya, skala kecil. Sebab itu, sementara orang menggolongkan teknologi loak sebagai informal technology. Dalam arti, potensi ekonominya belum dapat diperhitungkan secara nyata. Ya, lebih mirip sebagai kegiatan hobi-hobian dibanding kerja mencari nafkah sungguhan. Menjadi tantangan bagaimana "bisnis loak" bisa terkelola dengan baik dan berskala ekonomi yang lebih besar, hingga sumbangannya kentara dalam pertumbuhan ekonomi kita. Bagaimana "teknologi loak" juga melibatkan teknologi yang lebih modern. Sehingga lebih banyak sampah termanfaatkan, tidak cuma kotoran sapi yang dibuat jadi gas methane (gas dapur) oleh Pusat Teknologi Pembangunan ITB. Sehingga, harapan Prof. Slamet Iman Santoso untuk mengrecycle kertas bekas, ban bekas, dan pelumas bekas dapat terkabul.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus