Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Selamat sore, kamerad selamat sore, kamerad

Delegasi kamar dagang hongaria menjamu pejabat dan pengusaha indonesia di hotel kartika plaza, jakarta untuk kontrak bisnis. produk indonesia banyak dibeli lewat singapura, london, humburg.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA terlambat datang", usahawan kita berkata. Rekannya dari : Hongaria senyum saja, lantas menyambung: "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali". Percakapan demikian terdengar di suatu ruang puncak Hotel Kartika Plaza, Jakarta, ketika delegasi Kamar Dagang Hongaria minggu lalu menjamu para pengusana dan pejabat Indonesia. Sambil minum dan mencicipi makanan kecil, 13 anggota delegasi itu, sebagian besar direktur perusahaan negara di Budapest, menawarkan berbagai kemungkinan bisnis. Tapi konsentrasi mereka ialah pada segi banyak menjual hasil industri Hongaria di pasar Indonesia. "Ya, kami 'kan juga mau menjual", seorang pejabat dari Deplu, Pejambon, berkata. Indonesia memang selalu defisit dalam neraca perdagangannya dengan Hongaria. Tahun lalu, menurut Sebestyen Munkacsi yang memimpin delegasi itu Hongaria mengekspor ke Indonesia seharga $ 3,6 juta, sedang ia membeli langsung karet, timah dan rempah dari Indonesia hanya seharga $ 700.000. Sesungguhnya Hongaria banyak memerlukan produk Indonesia, tapi mereka selama ini memilih gampang saja membelinya dari pasar Singapura, London maupun Hamburg. "Repot, malah masih ada perkara dengan eksportir Indonesia yang belum selesai gara-gara (kami) mau beli langsung", seorang diplomat Hongaria mengeluh. Bukan hanya Hongaria. Juga negara sosialis lainnya di Eropa Timur cenderung membeli produk Indonesia dari pihak ketiga. Menlu Adam Malik pada tahun 1974 melawat ke sana, kemudian disusul dengan konperensi para diplomat Indonesia yang bertugas di sana, untuk mencari jalan bagaimana dagang langsung dengan Eropa Timur bisa ditingkatkan. Tujuan pemerintah RI ialah supaya Indonesia tidak hanya terantung pada pasaran di Amerika, Eropa Barat dan Jepang. Volume perdagangan dengan Eropa Timur adalah di bawah 1% dari seluruh perdagangan luar negeri Indonesia. Makin besar pendapatan minyak, makin kecil dan jauh tropa Timur bagi Indonesia. PT Bakrie & Brothers sampai 34 tahun lalu masih berdagang dengan Jerman Timur. Sekarang itu terhenti antara lain karena kapal Jerman Timur tidak diperbolehkan lagi masuk Indonesia, sedang perwakilan dagang Jerman Timur di Jakarta ditutup dan dipindahkannya ke Kuala Lumpur. "Mereka", kata direktur Hamizar, "menghemat ongkos, dan membeli kebutuhan dari Singayura saja". PT Bakrie & Brothers merasakan "cinta tidaklah bersemi sepihak", katanya lagi pada wartawan TEMPO Yunus Kasim. Indonesia rupanya sedang akan menggalakkan promosinya melalui kegiatan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN). Misalnya, menjelang akhir Pebtuari ini sejumlah pengusaha Indonesia akan ke Yugoslavia, Polandia, Jerman Timur, Rumania dan Chekoslovakia. Sementara itu BPEN menyiapkan partisipasi Indonesia di Leipzig Fair (13 - 20 Maret) guna memamerkan antara lain minyak atsiri, kopi, lada, panili, karet, batik dan barang kerajinan terutama perabot rumah-tangga dari rotan. BPEN mencatat bahwa tahun 1975 Indonesia mengekspor ke Eropa Timur sebesar $ 37.417.281, sementara mengimpor sebanyak $ 147.307.000. Maka ada defisit $ 109.889.719 pada tahun 1975, dibanding cuma $ 4,2 juta di tahun 1972, $ 0,5 juta tahun 1973, dan $ 44,2 juta tahun 1974. BPEN diserahi tugas memperkecil defisit itu. Apa bisa? Bagi delegasi Hongaria, jelas kedatangannya ialah untuk memperbaiki posisi pemasarannya yang sudah jauh ketinggalan. Walaupun terisi sudah pasar di sini, mereka optimis untuk menjual sebanyak mungkin yang akibatnya justru akan memperbesar defisit Indonesia. "Kami sedang menjajagi berbagai kemungkinan", kata Ny. G. Path, direktur Hungarotex. Satu-satunya wanita dalam degelasi itu, Path pasti bukan imbangan bagi Kumala Motik Amongpraja --usahawati Jakarta yang sedang tenar dan cantik itu. Path mempunyai ide untuk membuat jenis tekstil kasar di Indonesia dengan memakai beberapa motif tertentu guna disalurkan melalui jaringan pemasaran maskapainya, misalnya, di Afrika dan Timur Tengah. J. Orosz dari perusahaan KAEV, suatu merek mesin industri ringan yang sudah dikenal, melihat kemungkinan menjual alat penjahit sepatu maupun tas olahraga. "Cocok untuk mengembangkan pekerjaan kerajinan di desa anda, asalkan ada listrik", katanya. "Di India, alat KAEV ini dapat pasaran baik". Gan, suatu merek alat kerek untuk pelabuhan dan pengeruk tanah, berharap akan bisa bersaing di sini. Mereka juga merasa kuat bersaing di bidang alat listrik dan alat medis. Namun sesudah mendengar orang-orang Hongaria itu bercerita, importir Lachman, keturunan India, dari Jakarta-Kota menyimpulkan begini arang mereka memang sudah banyak dikenal, tapi orang lain sudah lebih pagi tiba di sini".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus