ADA terlambat datang", usahawan kita berkata. Rekannya dari :
Hongaria senyum saja, lantas menyambung: "Lebih baik terlambat
daripada tidak sama sekali".
Percakapan demikian terdengar di suatu ruang puncak Hotel
Kartika Plaza, Jakarta, ketika delegasi Kamar Dagang Hongaria
minggu lalu menjamu para pengusana dan pejabat Indonesia. Sambil
minum dan mencicipi makanan kecil, 13 anggota delegasi itu,
sebagian besar direktur perusahaan negara di Budapest,
menawarkan berbagai kemungkinan bisnis. Tapi konsentrasi mereka
ialah pada segi banyak menjual hasil industri Hongaria di pasar
Indonesia. "Ya, kami 'kan juga mau menjual", seorang pejabat
dari Deplu, Pejambon, berkata.
Indonesia memang selalu defisit dalam neraca perdagangannya
dengan Hongaria. Tahun lalu, menurut Sebestyen Munkacsi yang
memimpin delegasi itu Hongaria mengekspor ke Indonesia seharga $
3,6 juta, sedang ia membeli langsung karet, timah dan rempah
dari Indonesia hanya seharga $ 700.000.
Sesungguhnya Hongaria banyak memerlukan produk Indonesia, tapi
mereka selama ini memilih gampang saja membelinya dari pasar
Singapura, London maupun Hamburg. "Repot, malah masih ada
perkara dengan eksportir Indonesia yang belum selesai gara-gara
(kami) mau beli langsung", seorang diplomat Hongaria mengeluh.
Bukan hanya Hongaria. Juga negara sosialis lainnya di Eropa
Timur cenderung membeli produk Indonesia dari pihak ketiga.
Menlu Adam Malik pada tahun 1974 melawat ke sana, kemudian
disusul dengan konperensi para diplomat Indonesia yang bertugas
di sana, untuk mencari jalan bagaimana dagang langsung dengan
Eropa Timur bisa ditingkatkan. Tujuan pemerintah RI ialah supaya
Indonesia tidak hanya terantung pada pasaran di Amerika, Eropa
Barat dan Jepang. Volume perdagangan dengan Eropa Timur adalah
di bawah 1% dari seluruh perdagangan luar negeri Indonesia.
Makin besar pendapatan minyak, makin kecil dan jauh tropa Timur
bagi Indonesia.
PT Bakrie & Brothers sampai 34 tahun lalu masih berdagang dengan
Jerman Timur. Sekarang itu terhenti antara lain karena kapal
Jerman Timur tidak diperbolehkan lagi masuk Indonesia, sedang
perwakilan dagang Jerman Timur di Jakarta ditutup dan
dipindahkannya ke Kuala Lumpur. "Mereka", kata direktur Hamizar,
"menghemat ongkos, dan membeli kebutuhan dari Singayura saja".
PT Bakrie & Brothers merasakan "cinta tidaklah bersemi sepihak",
katanya lagi pada wartawan TEMPO Yunus Kasim.
Indonesia rupanya sedang akan menggalakkan promosinya melalui
kegiatan Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN). Misalnya,
menjelang akhir Pebtuari ini sejumlah pengusaha Indonesia akan
ke Yugoslavia, Polandia, Jerman Timur, Rumania dan
Chekoslovakia. Sementara itu BPEN menyiapkan partisipasi
Indonesia di Leipzig Fair (13 - 20 Maret) guna memamerkan antara
lain minyak atsiri, kopi, lada, panili, karet, batik dan barang
kerajinan terutama perabot rumah-tangga dari rotan.
BPEN mencatat bahwa tahun 1975 Indonesia mengekspor ke Eropa
Timur sebesar $ 37.417.281, sementara mengimpor sebanyak $
147.307.000. Maka ada defisit $ 109.889.719 pada tahun 1975,
dibanding cuma $ 4,2 juta di tahun 1972, $ 0,5 juta tahun 1973,
dan $ 44,2 juta tahun 1974. BPEN diserahi tugas memperkecil
defisit itu. Apa bisa?
Bagi delegasi Hongaria, jelas kedatangannya ialah untuk
memperbaiki posisi pemasarannya yang sudah jauh ketinggalan.
Walaupun terisi sudah pasar di sini, mereka optimis untuk
menjual sebanyak mungkin yang akibatnya justru akan memperbesar
defisit Indonesia. "Kami sedang menjajagi berbagai kemungkinan",
kata Ny. G. Path, direktur Hungarotex. Satu-satunya wanita dalam
degelasi itu, Path pasti bukan imbangan bagi Kumala Motik
Amongpraja --usahawati Jakarta yang sedang tenar dan cantik itu.
Path mempunyai ide untuk membuat jenis tekstil kasar di
Indonesia dengan memakai beberapa motif tertentu guna disalurkan
melalui jaringan pemasaran maskapainya, misalnya, di Afrika dan
Timur Tengah.
J. Orosz dari perusahaan KAEV, suatu merek mesin industri ringan
yang sudah dikenal, melihat kemungkinan menjual alat penjahit
sepatu maupun tas olahraga. "Cocok untuk mengembangkan pekerjaan
kerajinan di desa anda, asalkan ada listrik", katanya. "Di
India, alat KAEV ini dapat pasaran baik".
Gan, suatu merek alat kerek untuk pelabuhan dan pengeruk tanah,
berharap akan bisa bersaing di sini. Mereka juga merasa kuat
bersaing di bidang alat listrik dan alat medis. Namun sesudah
mendengar orang-orang Hongaria itu bercerita, importir Lachman,
keturunan India, dari Jakarta-Kota menyimpulkan begini arang
mereka memang sudah banyak dikenal, tapi orang lain sudah lebih
pagi tiba di sini".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini