Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hillary dan Obama di Timur Tengah

11 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Ja’far

  • Peneliti Pustaka Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Jakarta

    Saat ini, Negara Amerika Serikat sedang melalui tahapan-tahapan penting menuju ajang pemilihan umum, yaitu kaukus. Para bakal calon Presiden AS sedang dihitung peluangnya sebelum bertarung di arena konvensi. Sorotan banyak ditujukan pada dua bakal calon dari Partai Demokrat, Hillary Clinton dan Barack Obama. Sebab, partai ini dinilai memiliki peluang kuat bakal mengalahkan calon dari Partai Republik, November nanti.

    Menyoroti visi politik luar negeri Hillary dan Obama menjadi penting guna melihat sejauh mana akan mengubah arah kebijakan politik luar negeri AS di Timur Tengah. Secara umum, mengacu pada platform serta sejarah politiknya, Partai Demokrat memiliki visi yang moderat dibanding Partai Republik, yang acap kali menunjukkan arah gerak ke ”kanan”.

    Arah kebijakan politik luar negeri Presiden Bush di Timur Tengah selama menjabat dua periode ini, terutama keputusan menginvasi Irak, memberikan bukti konkret kesimpulan tersebut. Ini berbeda dengan corak kebijakan yang dirintis oleh pemerintah AS sebelumnya di bawah presiden dari Partai Demokrat, Bill Clinton. Clinton relatif hati-hati dalam merajut hubungan politik dengan beberapa negara di Timur Tengah yang dikenal amat sensitif.

    Melihat visi serta materi kampanyenya, Hillary dan Obama sama-sama menjanjikan untuk mengembalikan rel politik luar negeri AS di Timur Tengah ke ”jalur tengah”. Tapi seberapa ”menengah” di sini ada perbedaan antara keduanya. Parameter menentukan ”koordinat tengah” menjadi amat relatif: ”tengah-kiri” atau ”tengah-kanan”. Untuk itu, kita butuh contoh konkretnya.

    Irak, Palestina, dan Iran valid untuk dijadikan sampel parameter. Pada ketiganya, fluktuasi bara politik Timur Tengah bergantung. Terkait dengan Palestina, secara ekstrem pemerintah Bush menunjukkan gejala ”amat sangat berat sebelah” kepada Israel dalam visi kebijakan politik luar negerinya. Itu berbeda dengan arah kebijakan Partai Demokrat, yang mencoba untuk ”tidak terlalu menganaktirikan” Palestina—walaupun dalam batas tertentu juga tidak sepenuhnya mengekspresikan sikap adil dan netral. Baik Obama maupun Hillary, dalam hal kebijakan politik luar negeri di Palestina, tampaknya akan berupaya mengembalikan khitah yang selama ini diretas oleh partainya itu. Di antara target pentingnya adalah mendudukkan kembali Israel dan Palestina di meja perundingan damai, sebagaimana prestasi politik yang pernah dicapai Clinton dengan perundingan Oslo-nya.

    Menyangkut kebijakan politik AS terhadap Iran, terutama menyikapi isu nuklir negara itu, baik Hillary maupun Obama memang akan jauh dari opsi pendekatan militeristik, sebagaimana yang disinyalir diinginkan Bush. Namun, secara spesifik, tampaknya Hillary akan menerapkan visi yang sedikit lebih ”tegas” dan ”ketat” terhadap Iran dibandingkan dengan Obama, yang mungkin bisa relatif bersikap ”lunak” dan agak ”longgar”. Terkait dengan soal nuklir, sementara Hillary dalam batas tertentu tetap akan melakukan tekanan politis terhadap Iran, Obama tampaknya akan lebih suka pada metode bargaining politik. Tantangan bagi keduanya: sejauh mana tawar-menawar bisa dilakukan dan seberapa bisa tekanan politis akan efektif?

    Di bawah kepemimpinan Hillary atau Obama, hubungan politik Washington dengan Teheran berpeluang kembali membaik. Namun, sejauh mana Obama atau Hillary mampu menyepakati sebuah visi kerja sama dengan Mahmud Ahmadinejad, Presiden Iran yang dikenal konservatif, itu menjadi tantangan yang lain.

    Terakhir, terkait dengan keberlangsungan kebijakan politik luar negeri Gedung Putih di bumi Irak, baik Obama maupun Hillary mungkin memiliki satu visi: menentang keputusan Bush menginvasi negeri itu, dan menilainya sebagai sebuah kebijakan yang amat keliru. Perbedaan keduanya terletak pada metode untuk mengatasi kesalahan Bush tersebut, yaitu bagaimana strategi untuk keluar sesegera mungkin dari Irak, tapi tetap dengan mempertimbangkan masa depan kepentingan AS di negara itu.

    Dalam hal ini, Hillary tampaknya akan sedikit lebih ”ketat” dalam menawarkan klausul kesepakatan politik dengan beberapa kekuatan politik dalam negeri Irak, sebagai kompensasi proses angkat kaki dari sana. Sedangkan Obama ada kemungkinan akan lebih ”longgar”. Konsekuensinya, dalam hal pencapaian kepentingan politik luar negeri AS di Irak ke depan, langkah Obama akan memberikan hasil yang lebih minim ketimbang strategi yang diterapkan Hillary. Di samping itu, tak ada jaminan Irak akan stabil dengan hengkangnya AS. Tapi positifnya, dengan taktik Obama tersebut, citra politik AS akan lebih terdongkrak tinggi dan Gedung Putih akan lebih cepat dapat keluar dari bumi Irak, yang sejauh ini telah banyak menguras energi politik dan anggaran keuangan AS.

    Semua ini ibarat platform di atas kertas. Pada tataran riilnya, akan muncul beragam kendala yang akan dihadapi baik oleh Obama maupun Hillary. Terutama tantangan pada tingkat parlemen, dari kubu Partai Republik.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus