Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

<font face=arial size=2 color=#FF9900><b>J.B. Sumarlin: </b></font><br />BPPC Pernah Minta Rp 800 Miliar

11 Februari 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia pernah menduduki berbagai kursi menteri. Dia pernah pula mengisi pos Kepala Badan Pemeriksa Keuangan. Selama 27 tahun, Johannes Baptista Sumarlin giat menyangga kabinet Soeharto. Dia anggota “mafia Berkeley” dan menjadi salah satu arsitek terpenting ekonomi Orde Baru. Sumarlin adalah pekerja keras dan berdisiplin: berangkat ke kantor pagi-pagi benar dan pulang ke rumah di larut malam. Dia punya kebiasaan unik: menyamar saat menggelar inspeksi mendadak.

Dari berbagai penyamaran, Sumarlin berhasil membekuk sejumlah pelaku pungutan liar di Kantor Bendahara Negara dan Kantor Pajak Jakarta Pusat. Boleh jadi gebrakan tersebut membuat Presiden Soeharto (di masa berkuasa) meminta dia mengusut kasus korupsi dan manipulasi sebesar US$ 10,5 miliar (setara dengan Rp 96,6 triliun pada kurs sekarang) di Pertamina. Megakorupsi itu terjadi saat Pertamina dipimpin Ibnu Sutowo. Soeharto juga memintanya membongkar korupsi di Krakatau Steel saat dia menjadi Menteri Penertiban Aparatur Negara.

Kemampuannya menangani masalah keuangan membuat karier anak Desa Nglegok, Blitar, ini cemerlang sampai akhir. Soeharto pernah memintanya merangkap jabatan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional dan Ketua Bappenas. Di masa menjabat Menteri Keuangan, dia pernah mengambil sebuah kebijakan drastis yang populer disebut Gebrakan Sumarlin.

Prestasinya dalam melancarkan paket deregulasi di bidang perbankan November 1987 dan Oktober 1988 dianggap menyiram kesejukan pada suhu perekonomian yang mendidih. Kebijakan ini toh akhirnya dianggap memunculkan krisis ekonomi tahun 1997 dan praktek konglomerasi. Terutama di lingkar kekuasaan Soeharto dan anak-anaknya. “Tapi itu terjadi jauh setelah saya tidak di pemerintahan,” kata ekonom lulusan University of California, Berkeley, ini.

Kini 76 tahun, Sumarlin masih aktif mengajar dan membimbing disertasi mahasiswa S-3 di almamaternya, Universitas Indonesia. Rabu pekan lalu, Sumarlin menerima wartawan Tempo Yosep Suprayogi, Heri Susanto, dan Widiarsi Agustina di kantornya, Menara Batavia, Jakarta. Berikut ini petikannya.

Kebijakan seperti apa yang berhasil menggenjot pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen pada awal pemerintahan Soeharto?

Sektor pertanian menjadi sentral karena sebagian besar rakyat kita hidup dari bertani. Banyak investasi diarahkan ke peningkatan produksi pertanian. Setelah pertanian, baru masuk proses industri, pengolahan, dan jasa. Konsistensi dijalin dalam program pembangunan jangka panjang, menengah, dan tahunan. Prioritasnya jelas.

Pragmatis sekali….

Mungkin karena beliau (Soeharto) militer, cara menyelesaikan masalah juga taktis. Ada kejelasan sasaran dan target dan harus jelas sektor mana yang diutamakan.

Bagaimana mekanisme hubungan kerja presiden dan menteri-menterinya di masa itu?

Presiden memanggil menteri per bidang. Kalau masalah pangan, dia memanggil Menteri Pertanian, Bappenas, dan Menteri Keuangan. Mereka membikin kajian masalah dan solusi. Juga beragam alternatif penyelesaian. Ketika maju ke Presiden, (suara) sudah bulat.

Artinya Presiden tinggal memutuskan?

Kami tak mau mendikte Presiden. Biasanya, sebelum dipanggil, kami menggodok konsep itu dalam tim. Alternatif solusi selalu disiapkan beberapa. Kalau sudah oke, Presiden menyampaikan dalam rapat kabinet. Jadi semua menteri terikat mengamankan kebijakan itu.

Berapa persen target tercapai?

Sebagian berhasil, ada yang gagal. Dulu pernah ada bencana hama wereng. Setiap sidang kabinet pada 1986, selalu dilaporkan kondisi pangan aman terkendali. Ternyata setelah dicek banyak yang diserang wereng.

Soeharto peduli sekali soal pangan….

Mungkin karena berasal dari kalangan petani, dia paham betul kondisinya. Apalagi, pada 1971, kita pernah mengalami krisis pangan.

Dari sekian Repelita, mana yang menurut Anda paling gemilang?

Tiap masa selalu ada krisis. Dulu, kalau tidak ada krisis di Pertamina, barangkali mulai Repelita I, kita sudah menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan ledakan minyak.

Krisis Pertamina?

Ya, tahun 1975, Pertamina punya utang luar negeri sekitar US$ 10,5 miliar (setara Rp 96,6 triliun untuk kurs dolar sekarang) untuk membiayai proyek-proyek di luar eksplorasi minyak. Misalnya membangun Krakatau Steel US$ 2,4 miliar, beli armada tanker samudra sampai US$ 4 miliar, dan membuat perangkat telekomunikasi. Pembiayaan Krakatau Steel memakai kredit komersial. Pendirian pabrik pun tanpa tender. Karena yang membangun adalah pemasok merangkap konsultan, harganya jadi mahal, sampai US$ 2,45 miliar. Pertamina enggak punya duit, maka pemasok menuntut Pertamina. Pemerintah bingung karena harus nombok.

Apakah ada temuan markup?

Setelah kami tinjau, hasilnya turun dari US$ 2,4 miliar ke US$ 950 juta. Padahal cadangan devisa kita saat itu cuma US$ 500 juta. Itu pun separuh yang likuid. Jadi, secara teknis, sebenarnya republik ini bangkrut saat itu. Karena itu, Pak Harto meminta tim ekonomi tidak memberi tahu menteri lain.

Kenapa begitu?

Agar tidak memancing kepanikan. Tapi mereka akhirnya diberi tahu juga sebulan kemudian. Presiden yang memberitahukan kalau semua kontrak Pertamina direnegosiasi. Pertamina juga tak punya kewenangan membikin kontrak pinjaman luar negeri.

Kenapa petinggi Pertamina begitu berani?

Karena Direktur Utama Pertamina (ketika itu) merasa punya hubungan dekat dengan Pak Harto. Jadi merasa bisa memakai uang yang harusnya disetor ke pemerintah.

Merasa dekat itu maksudnya apa?

Mungkin merasa telah membangun Bina Graha. Dulu itu Pertamina memang membangun Bina Graha karena Presiden butuh kantor dan anggarannya diambilkan dari Pertamina supaya tidak membebani APBN.

Artinya Pak Harto tahu masalah yang sebenarnya?

Mungkin tahu tapi tak mendalam. Saya tahu persis dia kaget setengah marah ketika kami sampaikan hasil temuan.

Apa yang Anda rekomendasikan?

Proyek-proyek ditertibkan lagi. Yang bukan tugas pokok Pertamina dilepas saja. Setoran (uang) minyak juga tak lagi lewat Pertamina, tapi langsung ke rekening Menteri Keuangan. Direkturnya diberhentikan. Total kerugian yang bisa diselamatkan sekitar US $ 8,1 miliar. Rekomendasi itu dijalankan. Pada 1983, pembukuan Pertamina dinyatakan wajar tanpa syarat. Belakangan praktek serupa kembali lagi.

Praktek markup lazim di era itu, bahkan semakin menjamur di era konglomerasi. Banyak proyek berkaitan dengan pengusaha yang dekat dengan Keluarga Cendana akhirnya direnegosiasi.

Soal itu bukan bidang saya lagi. Saya sudah masuk ke pengawasan.

Banyak yang menyebut era konglomerasi yang muncul semasa Anda menjabat Menteri Keuangan adalah suatu penyimpangan.

Bukan menyimpang, itu barangkali akibat perkembangan ekonomi keuangan waktu itu. Di masa Repelita IV dan V, penekanannya adalah penguatan ekonomi nasional. Pemerintah ingin memberikan iklim kondusif bagi pelaku ekonomi melalui berbagai regulasi. Misalnya bagaimana agar pasar modal lebih berputar dan kondusif. Juga fasilitas fiskal dan stabilisasi uang. Prinsipnya, memberikan kebebasan berusaha bagi pengusaha Indonesia.

Ada pendapat, konglomerasi tumbuh subur karena kebijakan Pakto 88 dikeluarkan pemerintah?

Tidak juga. Saat itu, globalisasi berpengaruh besar pada kondisi ekonomi. Komoditas minyak menurun, laju perkembangan dana lambat, sementara pemerintah ingin mempertahankan pertumbuhan ekonomi tujuh persen. Caranya, menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Dengan Pakto, kami ingin memobilisasi dana masyarakat melalui lembaga keuangan, termasuk perbankan.

Memang ada indikasi pertumbuhan ekonomi menurun sebelum Pakto itu diluncurkan?

Ada, jika dana masyarakat tidak digerakkan. Sampai tahun 1980-an, pembangunan masih dimotori anggaran pemerintah dan bergantung pada minyak. Ketika komoditas minyak menurun, swasta juga belum bergerak. Akhirnya kami putuskan ada deregulasi. Deregulasi juga diberlakukan pada bank-bank asing untuk mendorong ekspor.

Konsep Pakto 88 itu dari Anda?

Pembantu Presiden berkewajiban menyusun sebelum diputuskan Pak Harto. Jadi, semua itu dari pemerintah.

Apakah sudah ada prediksi, deregulasi akan melahirkan konglomerasi?

Ya. Tapi kami memasang rambu-rambu. Pada 1991, rambu-rambu itu diberlakukan. Sedikit tertunda karena butuh proses penggodokan.

Tapi banyak yang menganggapnya tidak sesuai dengan ketentuan. Dalam soal kredit, Anda bahkan dipandang ikut bertanggung jawab?

Lho, saya bertanggung jawab pada kebijakan. Pelaksanaannya kan bukan pada Menteri Keuangan, tapi pada owner dan direksi. Rule of the game bank kan ada. Sudah ada sistemnya. Yang penting, tahun 1988-1993, pemerintah tidak lagi menalangi bank yang sakit. Tanggung jawab dipikul oleh pemilik bank dan manajemen.

Menurut Anda, apakah banyak yang diuntungkan oleh Pakto 88?

Ada yang untung, terutama mereka yang pandai memanfaatkan kesempatan. Tapi ada juga yang buntung.

Benarkah yang untung kebanyakan orang dekat Cendana?

Enggak juga. Yang tidak dekat juga banyak. Lagi pula ekonomi kan terbuka bagi siapa pun.

Anak-anak Soeharto termasuk yang beruntung?

Yang lain juga banyak.

Apakah hal itu tidak menjadi pergunjingan di tim ekonomi?

(Senyum) Saya tidak terlalu mempermasalahkan.

Pernahkah Anda menolak anak Soeharto?

Pernah, saat saya menjadi Menteri Keuangan. Tapi kami menghadapinya dengan wajar saja. Ketika itu, Tommy Soeharto datang bertemu saya. Kalau enggak salah, dia bersama Dirjen Koperasi waktu itu. Mereka menyampaikan, Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC)—lembaga ini pernah dipimpin Tommy Soeharto—lagi butuh uang Rp 800 miliar untuk membeli cengkeh.

Lalu apa jawab Anda?

Saya bilang, kalau itu ditambah dengan mencetak uang baru, inflasinya mengganggu pembangunan. Saya sarankan dia mengambil plafon tambahan likuiditas Rp 1,5 triliun.

Apa yang terjadi sesudah itu?

Besoknya saya dipanggil Pak Harto bersama Gubernur Bank Indonesia waktu itu, Adrianus Mooy. Pak Harto menjelaskan pentingnya BPPC, nasib petani, dan stabilisasi harga cengkeh. Satu jam lamanya saya di-brief. Tapi saat itu kami sampaikan pilihan plafon karena tak berani menanggung risiko soal inflasi. Pak Harto akhirnya setuju.

Pak Harto sepertinya tak bisa menghindari bisnis anaknya?

Pertimbangan saat itu untuk kepentingan koperasi dan petani cengkeh. Juga stabilitas harga cengkeh, mengingat permintaan pabrik rokok begitu besar.

Jadi, setelah Anda menolak, Tommy mengadu ke bapaknya?

Mungkin begitu. Pokoknya itulah yang terjadi.

Adakah teman Keluarga Cendana yang juga minta fasilitas dari Anda?

Ada. Tapi sudah lupa. Misalnya, ada yang mau menggunakan pinjaman BI untuk membeli bank. Saya bilang no way. Biasanya, kalau sudah begitu, saya selalu berpegang pada ketentuan yang ada.

Johannes Baptista Sumarlin

Tempat dan tanggal lahir: Blitar, 7 Desember 1932

Pendidikan:

  • Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, sarjana (1958)
  • Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat, master (1960)
  • Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat, doktor (1968)

Karier:

  • Guru Besar Emeritus FE UI
  • Sekretaris Dewan Moneter merangkap Deputi Bappenas bidang fiskal dan moneter (1970-1973)
  • Menteri Penertiban Aparatur Negara (1973-1983)
  • Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas (1983-1988)
  • Menteri Keuangan (1988-1993)
  • Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (1993-1998)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus