Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Dalam Negeri Gamawan Fauzi wajib bergegas menyatukan ”gelombang” dalam perang melawan korupsi. Pernyataan Menteri Gamawan yang membolehkan pejabat daerah menerima honor dari Bank Pembangunan Daerah keliru dan mengundang dampak negatif. Para pejabat daerah bukan mustahil mengembangkan aneka manuver demi menumpuk honor.
Pemberian honor selama ini dianggap praktek wajar. Bukan pelarangan honor yang dibutuhkan, kata Menteri Gamawan, melainkan rambu-rambu demi mencegah kesepakatan di bawah meja antara pejabat daerah dan pengelola bank. Justru rambu-rambu itu yang sulit ditegakkan selama ini.
Pemberian honor ini mirip dengan apa yang dikenal dalam dunia bisnis sebagai kickback. Dalam praktek, urusan ini bisa saja berjalan begini: agar lebih banyak dana ditempatkan, bank memberikan insentif kepada pejabat yang berwenang mengeluarkan uang itu. Pada dasarnya ini merupakan sejenis uang ”pelicin”.
Padahal sang pejabat sudah menerima gaji dari negara, lalu buat apa ditambah honor lagi. Lagi pula yang disimpan di bank adalah uang milik daerah, bukan uang pribadi sang pejabat. Mestinya keuntungan mengalir ke daerah, bukan ke kantong sang pejabat.
Jangan dilupakan juga Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang melarang pejabat daerah merangkap jabatan sebagai kepala badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah. Rangkap jabatan, sebagai pembina atau komisaris, hanya mengundang konflik kepentingan. Bukan mustahil pejabat lebih tertarik mengendapkan dana daerah di bank demi honor ketimbang memutarnya dalam program pembangunan.
Bagaikan penyakit kronis, praktek honor ini berpuluh tahun mengakar, menjadi pengait kolusi antara pejabat dan pengelola badan usaha milik negara atau milik daerah. Begitu lazim sehingga banyak pejabat tak merasa terganggu oleh aroma korupsi yang ditimbulkan.
Memang tak ada keharusan dalam penempatan dana anggaran pendapatan dan belanja daerah. Dana boleh disimpan di bank swasta atau pemerintah. Bank Pembangunan Daerah diketahui lazim memberikan ”perangsang” kepada pejabat agar fulus disimpan di bank bersangkutan. Bentuknya macam-macam: uang, barang, pinjaman tanpa bunga, peralatan golf, atau keanggotaan klub janapada.
Praktek semacam ini jelas menyulut ekonomi biaya tinggi. Bunga kredit bank daerah pasti menjadi lebih tinggi. Bank daerah pun kalah bersaing dengan bank swasta. Betapa celaka bila praktek pemberian honor itu dilakukan 27 bank daerah di seluruh Indonesia terhadap pejabat 33 provinsi dan sekitar 400 kabupaten di negeri ini.
Sudah tepat bila Komisi Pemberantasan Korupsi tegas menilai pemberian honor ini sebagai gratifikasi. Menerima gratifikasi merupakan tindak pidana korupsi—menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Bank daerah mesti menghentikan kebiasaan ini—seperti imbauan Bank Indonesia pada 2005. Respons positif mesti ditunjukkan bila pejabat daerah yang menerima dan pejabat bank yang memberikan honor tak ingin dikenai sanksi hukuman badan. Diharapkan Komisi Pemberantasan Korupsi, yang merilis temuan baru bahwa ada Rp 360 miliar dana ilegal yang mengalir ke sejumlah pejabat daerah dari enam provinsi, mengusut habis kasus ini.
Menyimak data tersebut, seharusnya Menteri Gamawan tidak ragu mendukung Komisi Pemberantasan Korupsi menggolongkan pemberian honor pejabat itu sebagai gratifikasi—”baju” lain tindak korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo