Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan lalu, pada 29-30 Oktober 2018, pemerintah Indonesia menyelenggarakan konferensi kelautan tingkat dunia, Our -Ocean Conference (OOC) ke-5, di Bali. -Konferensi yang dimotori Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Luar Negeri ini memilih tema “Our Ocean, Our Legacy”.
Dari pemilihan tema itu terlihat ada semangat dan keinginan Indonesia menjadi bagian dari solusi persoalan laut dunia yang bisa menjamin keamanan pangan, keberlanjutan fungsi ekosistem laut, dan sumber ekonomi sekitar 8 miliar penghuni bumi. Bagi Indonesia, tiga manfaat laut itu juga menjadi prasyarat jika ingin menjadi poros maritim dunia.
OOC lahir atas inisiatif pemerintah Amerika Serikat di masa kepemimpinan Presiden Barack Obama pada 2014. Menteri Luar Negeri John Kerry saat itu menjadi tokoh kunci konferensi ini. Sebelum OOC Bali, konferensi ini digelar di Amerika, lalu di Cile, kembali ke Amerika, dan di Malta. OOC Bali pekan lalu dihadiri 4.697 orang dengan peserta aktif diperkirakan 3.000 orang. Jumlah kehadiran peserta ini adalah yang terbesar dibanding dalam empat konferensi sebelumnya. Selama dua hari konferensi, terdapat 6 plenary, 33 side event, 59 ocean talk, dan ratusan pertemuan bilateral delegasi dari 89 negara.
OOC Bali menghasilkan 295 komitmen dengan nilai moneter US$ 10,7 miliar dan 14 juta kilometer persegi Marine Protected Areas. Jika semua komitmen digabungkan sejak OOC pertama, totalnya mencapai 958. Komitmen-komitmen ini, seperti disampaikan Presiden Joko Widodo, adalah alat kerja sama global untuk mencapai Sus-tainable Development Goals yang bertumpu pada ikhtiar bersama menyelamatkan laut dunia.
Sebab, laut adalah sumber daya penting untuk menjamin kehidupan manusia dan planet yang sehat. Laut meliputi 70 persen permukaan bumi dan menghasilkan 50 persen oksigen serta mampu menyerap 25 persen emisi karbon. Artinya, laut bisa berfungsi sebagai carbon sink terbesar di planet ini. World Wildlife Fund (2015) mencatat nilai total aset laut diperkirakan US$ 24 triliun yang berasal dari sumber daya ikan, bakau, terumbu karang, dan rumput laut sebesar US$ 6,9 triliun, jalur pelayaran US$ 5,2 triliun, optimalisasi jalur pantai (productive -coastline) US$ 7,8 triliun, serta penyerapan karbon US$ 4,3 triliun.
Jumlah nilai aset ekonomi laut ini jauh lebih besar dibandingkan dengan independent sovereign wealth fund empat negara terkaya di dunia: Norway Government Pension Fund (US$ 893 miliar), ADIA-Abu Dhabi (US$ 773 miliar), SAMA-Arab Saudi (US$ 757 miliar), dan China Investment Corp (US$ 653 miliar). Jika dana keempat negara terkaya ini digabungkan, jumlahnya hanya seperdelapan dari nilai total aset laut secara global.
Ancaman terhadap Laut
TIGA potensi utama laut itu kini sedang menghadapi ancaman serius. Sepertiga stok ikan yang ditangkap telah melebihi batas keberlanjutannya (unsustainable level), sementara sisanya, sebesar 58 persen, dalam kondisi fully exploited akibat praktik illegal, unreported, and unregulated fishing dan kejahatan perikanan. World -Ocean Assessment pada 2016 menyatakan bahwa kenaikan temperatur laut dan penyerapan CO2 yang melebihi daya dukung akan menurunkan pH serta mengakibatkan laut menjadi asam, yang mengancam keberlangsungan hidup berbagai jenis biota.
Pengasaman laut (ocean acidification) ini, seperti dilaporkan Joint Ocean Commission Initiatives tahun 2017, merenggut US$ 100 juta potensi ekonomi industri oyster di Pacific Northwest, Amerika Serikat. Sedangkan Profesor Ove Hoegh-Guldberg, dalam buku The Ocean, Chapter of the 5th Assessment Report of IPCC (2015), memproyeksikan terumbu karang akan menghilang pada 2050 karena naiknya suhu dan asidifikasi laut.
Belum lagi ancaman nyata lain yang terlihat di depan mata kita: tsunami sampah plastik dari daratan. Jika dalam 10 tahun ke depan tidak ada perubahan kebiasaan, pola konsumsi, dan gaya hidup manusia, laut akan berisi 1 kilogram sampah plastik untuk setiap 3 kilogram ikan (High-Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, 2018). Adapun praktik perdagangan manusia, sengketa batas, perompakan, dan penyelundupan barang ilegal juga bukan masalah sepele yang mengancam laut dunia.
Jika ancaman-ancaman itu tak segera ditangani melalui kerja sama global, nilai ekonomi laut akan kian turun. Kondisi laut yang tidak sehat itu tentu saja mengancam kerusakan ekosistem dan keamanan laut, juga ketersediaan pangan dunia. Healthy ocean merupakan prasyarat dari wealthy ocean.
Gerakan Penyelamatan Laut Dunia
MELIHAT ancaman serius terhadap laut itu, sejak 2014 banyak agenda internasional menyelamatkan laut muncul. Pada 2014, digelar The High-Level Global -Ocean Commission dengan rekomendasi laporan yang berjudul “From Decline to Recovery: A Rescue Package for the Global Ocean”. Setahun berikutnya, United Nations’ 2030 for Sustainable Development memberikan tujuan khusus (Goal 14) pada konservasi dan pemanfaatan sumber daya kelautan yang berkelanjutan. Isu kelautan juga menjadi topic of interest di forum-forum yang melibatkan pemimpin politik dunia.
Forum seperti G-7, G-20, dan United Nations Environment Assembly secara khusus membahas sampah plastik di laut dunia. Pada 2017, untuk pertama kalinya Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan The UN Ocean Conference, yang menghasilkan lebih dari 1.400 komitmen. Majalah The Economist pun setiap tahun menyelenggarakan World Ocean Conference yang menghadirkan berbagai pemangku kepentingan untuk bertukar pikiran dalam upaya menyelamatkan laut dunia.
Bagi Indonesia, dari sekian banyak prakarsa itu, OOC dan High-Level Panel (HLP) for a Sustainable Ocean Economy adalah dua kegiatan terpenting. OOC penting karena unik dengan terlibatnya berbagai pemangku kepentingan (multi-stakeholder), termasuk kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, serta menteri lain yang memiliki portofolio di bidang kelautan dan perikanan.
Adapun HLP penting karena 13 kepala negara dan kepala pemerintahan, termasuk Presiden Joko Widodo, yang menjadi anggotanya bisa mempengaruhi kebijakan penyelamatan laut. Jumlah panjang laut yang dimiliki negara anggota G-13—diprakarsai Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg—mencapai 60 persen panjang pantai di bumi ini.
HLP bisa memakai momentum politik untuk mendorong kebijakan global tentang sustainable ocean economy yang akan berkulminasi pada UN Ocean Conference 2020 di Lisabon, Portugal. UN Ocean Conference itu akan menjadi batu loncatan dalam membangun a new international compact for the ocean, seperti halnya Paris Agreement di sektor perubahan iklim pada 2015.
Tindak Lanjut
GAIRAH dan antusiasme para pemangku kepentingan dalam mengikuti pertemuan dunia yang membahas isu kelautan perlu dipertahankan sebagai sarana membangun kesadaran baru bahwa laut dunia saat ini sedang menghadapi tantangan besar.
Keunikan OOC sebagai wadah pemangku kepentingan untuk menyampaikan komitmen-komitmen konkret perlu diperkuat dengan pengembangan kriteria untuk menyeleksi komitmen yang masuk agar bersifat terukur baik dari segi waktu, jumlah atau besaran, maupun dampaknya.
Selain pengembangan kriteria untuk menyeleksi komitmen, pengembangan metode untuk mengukur kemajuan, keberhasilan, dan dampak komitmen-komitmen tersebut harus terus diperkuat untuk dipakai dalam OOC 2019 di Norwegia. Dan yang terpenting dari itu semua adalah mensinergikan pelbagai komitmen yang muncul dalam pelbagai forum dunia itu menjadi salah satu dasar pengembangan kebijakan yang dihasilkan High-Level Panel for a Sustainable Ocean Economy, di mana Indonesia berada di dalamnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo