Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Berita Tempo Plus

Ingin Mati Setelah Lahir Bayi

Depresi setelah melahirkan bisa berbuah maut. Bisa dipicu media sosial.

2 November 2018 | 00.00 WIB

Depresi setelah melahirkan bisa berbuah maut. Bisa dipicu media sosial.
Perbesar
Depresi setelah melahirkan bisa berbuah maut. Bisa dipicu media sosial.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ketika hamil anak keduanya, tiga tahun lalu, Adianti Reksoprojo berharap kebahagiaannya bakal makin lengkap. Ia sedang mengandung janin perempuan, setelah enam tahun sebelumnya melahirkan bayi laki-laki. “Apalagi kami menunggu cukup lama setelah anak pertama,” katanya, Kamis dua pekan lalu.

Adianti, 38 tahun, dan keluarganya juga akan menempati rumah baru. Dengan tambahan bayi yang akan lahir, ia berharap semuanya akan menyenangkan. Namun harapan itu sirna begitu ia melahirkan. Kebahagiaan selama masa kehamilan tiba-tiba lenyap. Seleranya terhadap apa pun mendadak hilang. “Saya tak tahu kenapa,” ujarnya.

Banyak pikiran negatif, di antaranya anggapan bahwa ia bukan ibu yang baik, berputar-putar di benaknya. Ia tak bisa tidur dan menangis hampir sepanjang malam. Adianti merasa tak lagi berharga.

Perasaan itu mendorongnya menenggak alkohol pembersih tali pusat Naya, bayi yang baru saja dilahirkannya. Namun, baru memegang botol tersebut, seketika ia sadar bahwa itu bukan pilihan tepat. “Saya langsung pulang ke rumah ibu saya, meninggalkan rumah tanpa pamit ke suami,” tutur Adianti, yang tinggal di bilangan Jakarta Selatan. 

Beberapa bulan kemudian, keinginan bunuh diri kembali hinggap di kepalanya. Ia menelan lima butir obat tidur sekaligus. Percobaan ini gagal. Nyawanya tertolong.

Azani Fitria, 34 tahun, punya cerita berbeda. Sepuluh tahun lalu, ia memilih berlama-lama di kantor atau berdinas ke luar kota ketimbang menghabiskan waktu bersama anaknya yang baru lahir beberapa bulan sebelumnya. “Saya sampai perlu diingatkan oleh ayah, ‘Kamu tuh punya anak’,” kata Azani, yang berprofesi sebagai bidan.

Pikiran negatif terus mendera Azani sepanjang hari. Puncaknya, ia membakarkain di kamarnya saat anaknya yang masih bayi sedang tidur di kasur. Beruntung tetangga melihat asap mengepul dari rumahnya. Azani, yang tengah pingsan, dievakuasi bersama bayinya.

Pikiran untuk lenyap dari bumi tak hanya mampir di otak Azani dan Adianti. Sekitar 10 persen perempuan menderita depresi pascapersalinan (postpartum depression). Salah satu gejala yang bisa timbul adalah dorongan untuk bunuh diri atau menyakiti anak sendiri.

Menurut psikolog Arina M. Budiani, depresi ini diawali dengan babyblues, yakni gangguan suasana hati setelah melahirkan. Sebanyak 50-80 persen ibu melahirkan mengalami kondisi ini.  Keadaan ini dipicu oleh menurunnya hormon estrogen dan progesteron, yang membuat emosi ibu tak stabil.

Kondisi ini makin berat jika ibu kelelahan mengurus bayinya. Efeknya akan makin parah kalau ia menyimpan perasaan negatif, seperti kecewa dan merasa bersalah lantaran melahirkan lewat operasi caesar serta merasa tak diperhatikan karena mengurus bayi sendirian. “Terlebih sekarang ibu suka membandingkan dirinya dengan unggahan selebgram di media sosial,” kata psikolog yang berpraktik di Morula IVF Jakarta itu.

Arina mencontohkan, banyak ibu yang menjadi gundah lantaran melihat ibu lain mengunggah foto cadangan ASI yang sampai memenuhi sejumlah lemari pendingin atau masygul melihat selebgram yang bisa mengajak anaknya jalan-jalan ke mana pun dan kapan pun. “Lihat selebgram jalan-jalan sama anaknya, lalu berpikir, ‘Kok aku enggak bisa, ya?’, lalu jadi sedih,” ujarnya. Ia mengatakan penderita babyblues antara lain merasa sedih terus-menerus, menangis tanpa alasan jelas, cepat lelah, mudah kesal, gampang tersinggung, sulit tidur, dan enggan memperhatikan si kecil.

Setelah tiga hari, biasanya estrogen dan progesteron yang sebelumnya terjun bebas akan merangkak naik sehingga suasana hati ibu pelan-pelan membaik. Kondisinya akan makin cepat pulih jika ia mendapat dukungan dari orang sekitar. Misalnya suami ikut membantu menggantikan popok si kecil atau menemani saat istri terbangun tengah malam untuk menyusui. “Orang di sekitarnya juga bisa bertanya, ‘Gimana kabarnya?’ Itu membantu banget karena dia merasa tak sendirian menghadapi semuanya,” tutur psikolog klinis dan praktisi hypnobirthing, Liza Djaprie. Menurut dia, baby blues akan berakhir paling lama 14 hari.

Namun, Liza menambahkan, pada sebagian kecil perempuan yang baru saja melahirkan, estrogen dan progesteron yang turun itu tak kunjung naik, bahkan malah makin menukik. Keadaannya akan makin payah kalau ia tak mendapat perhatian dari orang di sekitarnya. Misalnya suami terlalu cuek dan tak mau ambil bagian dalam mengurus anak, ibu tinggal sendirian, atau ibu tertekan lantaran anaknya mesti dirawat di neonatal intensive care unit. “Hormon yang terus ngedrop ini di luar kontrol kita,” kata psikolog yang berpraktik di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, tersebut.

Ketika sudah lewat 14 hari, baby blues yang tak tertangani berubah menjadi depresi. Sebanyak 10-15 persen ibu mengalami ini. Gejalanya jauh lebih berat ketimbang baby blues. Misalnya ibu menjadi kehilangan minat terhadap apa pun, termasuk makanan kegemarannya; merasa tak berharga; dan berpikir untuk bunuh diri atau menyakiti orang lain.

Kondisi depresi ini bisa mengakibatkan tubuh ibu tak bisa cukup memproduksi air susu. Biasanya, ketika melihat air susunya seret, ibu makin depresi. ASI pun jadi makin susah diproduksi. “Itu seperti lingkaran setan,” ujar Arina Budiani. Kondisi ini, dia melanjutkan, bisa berlangsung sampai bertahun-tahun setelah melahirkan.

Untuk menghindari kondisi itu, Liza Djaprie mengatakan, ibu bisa menolong diri sendiri dengan mempersiapkan diri saat hamil, misalnya dengan banyak membaca tentang kondisi yang akan dialami saat dan setelah melahirkan. Dengan cara ini, ibu jadi tahu bahwa suasana hatinya yang memburuk setelah melahirkan disebabkan oleh hormon yang menurun. “Hormonnya tetap turun. Tapi, karena dia tahu kondisinya, ini akan membantunya lebih bisa menyesuaikan diri,” katanya.

Suasana hati juga akan membaik dengan rehat sejenak. Liza menyarankan ibu menitipkan bayinya sebentar kepada orang yang ia percayai untuk merilekskan diri, misalnya dengan pergi ke salon atau berbelanja. Namun banyak yang enggan melakukan hal ini karena khawatir dicap sebagai ibu yang tak baik. “Padahal, kalau dia tak bisa santai sejenak dan depresi, dia yang malah jadi ngaco,” tuturnya.

Ibu pun bisa berupaya mengatasi kondisi tersebut dengan melakukan hal-hal yang disukai. Adianti Reksoprojo, misalnya, kembali menenggelamkan diri pada hobinya berolahraga. Kegelapan yang terasa menyelimuti dunianya pelan-pelan hilang. “Saya sendiri tak sadar, ternyata pelan-pelan saya pulih,” ujarnya. Ia kemudian menjadi instruktur olahraga buat para ibu hamil dan ibu yang baru saja melahirkan.

Adapun Arina menyarankan para ibu belajar menerima kondisi diri sendiri dan tidak membandingkan dengan ibu lain, misalnya para ibu muda selebgram. “Terima saja kalau kondisi tak sesuai dengan ekspektasi. Yang penting berilah yang terbaik yang bisa dilakukan,” ucapnya.

Namun, kalau depresi sudah telanjur mendera, baik Arina maupun Liza menyarankan para ibu meminta bantuan psikolog atau psikiater.


Efek Domino Baby Blues

SINDROM baby blues yang tak tertangani bisa berujung pada depresi sampai bertahun-tahun setelah ibu melahirkan. Namun para ibu kebanyakan tak sadar berada dalam kondisi ini. Mereka membutuhkan bantuan.  Orang-orang di sekitarnya bisa mendeteksi. Berikut ini beberapa gejala depresi setelah melahirkan.

1. Kehilangan minat terhadap apa pun, misalnya tak mau berdandan dan enggan mandi

2. Tak bernafsu makan

    Ibu yang baru saja melahirkan membutuhkan asupan nutrisi untuk menyusui dan memulihkan diri. Jika ia tak bernafsu makan, 

    apalagi menolak makanan favoritnya, ini bisa menjadi tanda bahwa ada masalah.

3. Sikap berubah

    Sikapnya tak seperti sebelum melahirkan, misalnya yang tadinya periang menjadi pendiam.  

4. Enggan berinteraksi dengan orang lain

5. Merasa tak berharga

6. Merasa tak punya harapan

7. Berpikir untuk bunuh diri atau menyakiti orang lain, termasuk anaknya

 

NUR ALFIYAH, MITRA TARIGAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Nur Alfiyah

Nur Alfiyah

Bergabung dengan Tempo sejak Desember 2011. Kini menjadi redaktur untuk Desk Gaya Hidup dan Tokoh majalah Tempo. Lulusan terbaik Health and Nutrition Academy 2018 dan juara kompetisi jurnalistik Kementerian Kesehatan 2019. Alumnus Universitas Jenderal Soedirman.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus