DR. Mely C. Tan berada di New Delhi, India, dari tanggal 14 -
23 Februari 1981 sebagai anggota dari Steering Committee dari
Task Force on Psycho-social Research in Family Planning dari
Human Reproduction Programme dari World Health Organization di
Jenewa, Swiss. Pertemuan ini adalah pertemuan Committee yang
ke-8. Sekaligus diadakan lokakarya bersama dengan Indian Council
of Medical Research dengan maksud mengembangkan penelitim
mengenai aspek psikologis, sosial dan kebudayaan yang bertalian
dengan keluarga berencana di India. Ini adalah kunjungannya yang
kedua kali ke New Delhi dan yang ketiga kali ke India.
SEKONYONG-KONYONG tuan rumah kami berseru-seru sambil menunjuk
ke suatu petak di kejauhan. Seorang laki-laki tua bergegas
menghampirinya dan kemudian berlari-lari sambil berseru menuju
petak yang ditunjuk itu.
Di sana terlihat tiga wanita membungkuk-bungkuk, mengumpulkan
daun tebu kering yang tersebar di petak itu. Salah seorang dari
mereka mengangkat ikatannya dan melarikan diri, yang dua lainnya
berdiri saja seakan-akan pasrah.
Tuan rumah kami merasa perlu untuk menjelaskan bahwa petak itu
sedang dipersiapkan untuk ditanami kembali tebu, dan daun kering
itu digunakan untuk menjaga kelembaban tanahnya serta sekaligus
sebagai pupuk. Maka ia tak dapat memperkenankan wanita-wanita
itu mengambilnya.
Drama kecil ini yang terjadi ketika kami mengunjungi suatu desa
kurang lebih 2 jam perjalanan dengan mobil dari kota Delhi,
dengan jelas menggambarkan masalah raksasa yang dihadapi India:
bagaimana memberi makan kepada 672.000.000 manusianya, dan
bagaimana menyediakan bahan bakar untuk memasak makanan itu.
Jelaslah bahwa ketiga wanita itu, yang kepergok mengambil daun
tebu kering, memerlukannya sebagai bahan bakar untuk memasak.
Dan karena waktu itu sudah jam 4 sore, kita dapat bertanya
apakah mereka masih akan berhasil mengumpulkan bahan bakar?
Tekanan penduduk di negara yang juga disebut sebagai negara
demokrasi terbesar di dunia ini terasa sekali pada tanggal 14 -
15 Februari 1981. New Delhi kebanjiran bukan kebanjiran air
hujan, tetapi kebanjiran manusia. Bagaikan gelombang arus yang
tak terbendung, manusia bergerak dalam rombongan dari ratusan
bahkan ribuan memenuhi jalan, menuju lapangan Boat Club yang
menghadapi India Gate di tengah kota. Mereka adalah para petani
yang datang dan didatangkan dari seluruh India untuk memenuhi
panggilan Perdana Menteri Indira Gandhi untuk suatu pertemuan
raksasa. Sekaligus, itu adalah untuk memperlihatkan lingkungan
kepada pemerintah Indira Gandhi.
Diperkirakan jumlah manusia yang hadir berkisar antara 1,5 juta
sampai 5 juta yang dikerahkan dengan 35.000 bus dan truk, serta
133 kereta api khusus.
Selama hari Senin itu seluruh kegiatan di kota Delhi terhenti,
dan lalu-lintas macet total di mana-mana. Yang tampak hanya
lautan manusia.
Bagaimana menyediakan bahan bakar untuk memasak makanan bagi
jumlah manusia yang sebanyak itu? Kembali terpikir oleh saya.
Rupanya penduduk India, terutama di daerah pedesaan yang
merupakan 80% dari penduduk, telah menemukan jalan keluar.
Begitu meninggalkan kota Delhi dan memasuki daerah pedesaan,
terlihat di pinggir jalan dan di halaman rumah penduduk,
tumpukan yang berbentuk seperti kue bundar. Itulah bahan bakar
yang terbuat dari kotoran sapi atau kerbau, sedang dikeringkan.
Juga di mana-mana terlihat gunungan berbentuk silo kecil, cara
untuk menyimpan bahan bakar itu. Di sana-sini terlihat wanita
dan anak duduk di antara tumpukan membuat kue-kue bundar ilu.
Suatu sumber energi lain yang sedang dikembangkan di sana adalah
pembuatan bio-gas dengan menggunakan kotoran hewan dan manusia.
Berhubung penduduknya sudah terbiasa dengan penggunaan kotoran
hewan itu, gagasan penggunaan bio-gas itu tidak sukar untuk
diterima. Untunglah bagi kita, yang punya hidung orang kota,
bahwa ternyata tumpukan itu tidak berbau juga ketika dipakai
sebagai bahan bakar untuk memasak makanan siang di rumah tuan
rumah kami di desa itu, asapnya tak mengganggu penciuman.
Yang benar-benar amat mengganggu adalah lalat. Lalat terdapat di
mana-mana. Waktu kami duduk-duduk di halaman dalam rumah tuan
rumah kami, yang termasuk seorang petani kaya di desa itu, semua
kue India, buah dan santapan siang kami, dalam sekejap saja
sudah penuh dengan lalat. Ini tidak mengherankan, karena suatu
sudut halaman dalam itu merupakan tempat kerbau piaraannya yang
berjumlah 6 ekor dan berdekatan pula dengan ruang dapur.
Selama peninjauan itu kami juga terus menerus diikuti
segerombolan anak kecil, berumur sekitar 7 - 8 tahun yang
berpakaian kumal, berbadan kurus dan kotor dengan rambut kering
semua tanda-tanda kekurangan gizi. Beberapa anak perempuan
antara mereka menggendong adiknya, bayi-bayi yang kelihatannya
kurus dan lesu.
Di India terdapat ratusan juta anak-anak seperti mereka.
Bagaimanakah hari depan mereka? Ada yang mengatakan bahwa India
adalah "di luar harapan".
Ternyata, syukurlah, orang India sendiri tidak beranggapan
demikian. Direkturjenderal Indian Council of Medical Research
(Badan Penelitian Medis India) memberi kami buku yang baru
terbit di tahun ini, hasil pembahasan suatu kelompok studi yang
didirikan bersama oleh Dewan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial India
dan Dewan Penelitian Medis India. Judulnya Health for All: An
Alternative Strategy (Keadaan sehat untuk semua: suatu
strategi alternatif). Nadanya sangat optimistis mengenai hari
depan India:
Kami optimistis mengenai kemungkinan memperoleh keadaan
kesehatan yang lebih baik untuk penduduk India.
Kemajuan-kemajuan ilmiah yang menakjubkan dalam tahun-tahun
terakhir dapat disesuaikan khususnya untuk menghadapi kebutuhan
orang-orang miskin dan yang tidak mendapat kesempatan, daripada
ditujukan kepada pelayanan yang mahal untuk kaum elite . . .
Yang diperlukan adalah suatu perubahan yang radikal dan untuk
ini perlu dikembangkan suatu beleid nasional mengenai kesehatan
yang menyeluruh, dan diciptakan suatu model alternatif dari
pelayanan kesehatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini