Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Koboi-koboi 5 kota

Festival musik country dari berbagai daerah diadakan di bandung. diperkirakan semangat "amerika dusun" sudah cukup menyebar. (ms)

14 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RATUSAN koboi tiba-tiba saja memasuki sebuah gedung tua dan dekil. Berbaju kotak-kotak merah atau biru, bercelana bue jean belel, bersepatu runcing, berikat leher merah dan bertopi laken atau topi tikar buatan Tasikmalaya. Lelaki dan perempuan. Wajah mereka tegang. Akan terjadi baku tembak? Tak seorang pun nampak berpistol. Di luar gedung bertembok tinggi yang kaca ventilasinya sebagian pecah itu pun tak ada kuda seekor jua. Atau sapi. Festival Musik Country se-Jawa-Bali '81, 6-7 Maret kemarin di Gedung Olahraga di Jalan Saparua Bandung itu, memang pertama kalinya diselenggarakan dengan penampilan visual yang "khas" itu. Lebih dari yang tampak pada festival lokal di Jakarta beberapa waktu lalu. Lagi pula, acara kali ini terasa benar sah-nya sebagai pernyataan kehadiran. Misalnya, di sinilah diketahui bahwa di Bogor ternyata ada satu grup musik Country yang cukup trampil -- bernama Evert & Co, beranggota 10 orang. Mereka tampil di pentas -- yang dirias macam rumah minum dalam film western -- secara kocak dan beroleh simpati banyak penonton. Terutama karena mereka menampilkan cewek manis dalam dandanan macam gadis-gadis bar sungguhan. Di malam babak penyisihan, cewek itu diketawai gara-gara sibuk menaik-naikkan bagian bahu roknya yang terus-terusan melorot. Namun para juri (Franky Raden, Remy Sylado, dll.) akhirnya memberi penghargaan kepada mereka karena "keserasian dalam berpakaian." Koboi Jawa Bahwa country ternyata -- secara resmi, sekarang -- menyebar, bisa dikeahui dari jumlah peserta untuk tingkat umum tercatat 19 grup dari Bandung, 5 Jakarta, dan masing-masing 1 dari Bogor, Garut dan Sukabumi. Peserta tingkat SLTA: masing-masing 1 dari Jakarta dan Garut serta 10 dari tuan rumah. Hanya entah kenapa koboi-koboi Jawa (Tengah dan Timur) tak ikut serta -- halangan ada. Sedang satu grup dari Bali ternyata tak jadi mentas. Bandung ternyata memang paling giat. Untuk pemenang tingkat umum. juara pertama sampai ketiga direbut kota itu -- plus satu grup lagi yang masuk nominasi, bersama satu grup dari Jakarta. Begitu pun untuk tingkat SLTA: juara I dan II dari Bandung, baru juara III dari Jakarta. Remy Sylado, orang musik yang tercatat memainkan dan mengarang lagu jenis ini sekitar 1972 (boleh jadi ia pemula di sini) menunjukkan kenyataan banyaknya remaja belasan tahun memainkannya. "Itu saja sudah menarik, katanya. Yang lebih menarik "sebagian besar dari mereka punya latar belakang musik klasik. Memainkan biola itu 'kan tidak bisa main-main. Mereka mesti sekolah." Keramaian barusan, katanya lagi, membuktikan juga bahwa anak-anak Indonesia makin keamerika-amerikaan. Kayaknya tinggal cari kuda dan sapi saja, komplit deh. Mengharukan. Tapi asyik," tulis Remy di buku acara. Yang Tidak Fisik Apalagi memang terkesan, dari penampilan seluruh peserta, kegandrungan koboi-koboian mereka nampak lebih besar -- bahkan dibanding semangat country-nya yang tidak fisik. Para juri misalnya mencatat, kecuali penerapan semangat yang keliru, banyak peserta yang kurang memberi fungsi pada instrumen semisal banjo, biola dan harmonika -- yang justru memberi ciri khas pada musik jenis ini. Aransemen pun melejit memasuki blues atau bahkan jazz. Karena itulah agaknya grup Elfa Music Studio (EMS) yang tampil dengan pakaian koboi salon dan membawa kertas partitur, masuk final pun tidak. Padahal kelihatannya mereka begitu meyakinkan. Lagu wajib yang banyak dimainkan adalah Tante Sun (Bimbo) dan Tuti Sumitro (Remy Sylado). Lagu bebasnya antara lain Big Fat Mama, Cotton Fields, O, Susannah, Rocky Racoon. Semuanya merupakan balada yang mengungkapkan kekonyolan, sindiran dan kesedihan secara kocak. Tapi rata-rata grup tak mampu mengungkapkan semangat itu. Entah kalau sifatnya yang kompetitif telah menyebabkan timbulnya ketegangan dan hilangnya spontanitas. Tapi kerepotan yang dipersiapkan 2 bulan dan -- menurut Eddy Sukma, ketua panitianya -- menghabiskan biaya Rp 3,5 juta itu, siapa tahu akan punya gema juga. Setidaknya, lebih mempopulerkan usaha seperti yang sudah ditempuh lewat kaset rekaman (Franky & Jane, kemudian Rita Ruby Hartland), atau lewat grup yang muncul di sana-sini. Selama ini hanya berbagai sergihan dan kali ini gumpalan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus