Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRAHARA yang melanda PT Indofarma Tbk bersumber dari komplikasi buruknya strategi bisnis dan bobroknya tata kelola perusahaan. Karena itu, upaya penyelamatan tak cukup dilakukan dengan hanya merestrukturisasi keuangan dan permodalan, tapi juga membenahi pengelolaan organisasi dan sumber daya manusia secara menyeluruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indofarma baru saja mengumumkan tercapainya kesepakatan dengan dua mitra bisnisnya yang pada Juni lalu mengajukan gugatan penundaan kewajiban pembayaran utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Badan usaha milik negara sektor farmasi itu akan membayar sisa utangnya yang selama ini seret senilai Rp 36,9 miliar. Dengan perjanjian damai ini, untuk sementara waktu Indofarma lolos dari ancaman kepailitan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun Indofarma belum selamat dari ancaman kebangkrutan. Keuangan INAF—kode perseroan itu di bursa saham—tengah berdarah-darah. Sepanjang enam bulan pertama tahun ini saja, Indofarma telah merugi Rp 120,34 miliar, melonjak 33 persen dibanding pada periode yang sama tahun lalu.
Utang Indofarma juga terus menggelembung, menjadikan perusahaan ini tak lagi layak mendapat pinjaman baru (unbankable). Total liabilitasnya telah mencapai Rp 1,59 triliun—lebih dari nilai aset perusahaan. Sedangkan ekuitas perseroan kini sudah negatif Rp 33,99 miliar. Bursa Efek Indonesia pun menempatkan INAF di papan pemantauan khusus sejak Agustus lalu sebagai upaya melindungi investor.
Gejala memburuknya keuangan Indofarma sebetulnya terlihat sejak 2022. Kinerja penjualan perseroan, yang melonjak selama dua tahun pertama masa pandemi Covid-19, berbalik terjun bebas ketika pagebluk surut. Dampak buruk strategi "aji mumpung" yang meleset itu merembet ke tahun ini. Alih-alih menambah pemasukan, beragam produk alat kesehatan untuk penanganan wabah, yang didatangkan dengan biaya modal dan utang, tak terjual dan terancam kedaluwarsa.
Masalahnya, hasil audit Satuan Pengawas Internal (SPI) Indofarma mengindikasikan masalah tersebut bukan sekadar akibat melesetnya strategi bisnis. SPI juga mengendus dugaan penyimpangan dalam pengadaan dan penjualan alat kesehatan yang berkaitan dengan penanganan wabah, seperti masker dan perangkat tes Covid-19.
Penunjukan penyedia alat kesehatan pada 2021, misalnya, tidak disertai data yang lengkap. Sebagian vendor itu belakangan juga terindikasi tak kunjung mengirimkan barangnya kendati Indofarma telah membayarkan uang muka. Hasil uji petik audit SPI bahkan menunjukkan keberadaan kantor rekanan pemasok barang tak diketahui lagi.
Baca liputannya:
- Industri Farmasi Untung Saat Pandemi, Mengapa Indofarma Malah Rugi?
- Kerugian Kimia Farma Akibat Vaksin Kedaluwarsa
- Mengapa Industri Farmasi BUMN Rugi Setelah Pandemi?
Celakanya, pengadaan barang itu pun dilakukan tanpa proyeksi penjualan dan analisis penetapan harga. Walhasil, perseroan berpotensi kehilangan pendapatan dari banyaknya retur dan piutang macet di sejumlah rekanan distribusi penjualan. Inilah jawaban atas adanya anomali pada keuangan Indofarma, yang terus merugi ketika pemain alat kesehatan lain justru menangguk untung.
Manajemen baru Indofarma, juga Kementerian Badan Usaha Milik Negara sebagai wakil pemegang saham negara alias Dwiwarna, harus membersihkan perseroan dari praktik lancung tersebut. Tanpa pembenahan tata kelola perusahaan secara menyeluruh, beragam opsi mendatangkan dana segar untuk menyelamatkan keuangan Indofarma hanya akan menjadi pintu masuk ke prahara berikutnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Biang Krisis Keuangan Indofarma"