Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati paparan Indonesia 2045 yang beredar kini masih belum mengungkap kebijakan dan kelembagaan yang akan dijalankan secara rinci, sekurangnya ia sudah mencanangkan visi keadaan akhir yang dicita-citakan, yaitu Merdeka 100%-tidak ada lagi warga ataupun daerah yang dibelenggu kemiskinan dalam Republik yang kokoh, menyongsong seabad Proklamasi.
Proklamasi 17-8-1945 tidak akan mungkin terwujud tanpa persatuan yang dijalin pemuda yang mampu melintasi segala perbedaan untuk mengikrarkan Sumpah Pemuda. Karena itu, ada baiknya tonggak seabad Sumpah Pemuda pada 2028 kita fungsikan sebagai tolok ukur kadar persatuan bangsa. Mengapa setelah hampir seabad kita menyatakan menjunjung tinggi persatuan, keserakahan dan naluri primordial yang disulut ideologi global kini kembali mencerai-beraikan kita?
Hari-hari ini, rupa Republik seakan-akan mencerminkan semua kekeliruan dalam strategi pembangunan bangsa kita. Budaya gotong-royong telah direduksi menjadi budaya korupsi berjemaah oleh para elite, sebagaimana terungkap dalam penyelidikan kasus kartu tanda penduduk elektronik. Jelaslah bahwa tekad Proklamator menjebol kelembagaan ekstraktif (yang mengisap kekayaan rakyat untuk kepentingan segelintir orang) untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat dapat dipatahkan oleh kekuatan feodal dan kolonial yang menjelma kembali.
Elite seakan-akan tidak sungkan melakukan korupsi karena tidak menganggap rakyat sebagai saudaranya sendiri, tapi sebagai lawan yang pantas diperkosa haknya sebagai "pampasan perang" setelah mereka memenangi pemilihan umum. Sirnalah religiositas, moralitas, dan rasa kemanusiaan. Rakyat kini seakan-akan dijajah dalam sebuah sistem politik yang berupaya menciptakan feodalisme baru melalui dinasti politiknya.
Perumusan asli Sumpah Pemuda adalah "bertoempah darah satoe, berbangsa satoe, dan mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean". Untuk menyederhanakan pembahasan, "toempah darah" kita artikan sebagai wilayah/daerah, "bangsa" sebagai suku/ras/agama, dan "bahasa persatoean" sebagai nada yang mempererat.
Mari kita lihat dinamika daerah. Pola pikir para politikus untuk meraih keuntungan jangka pendek sepertinya menyebabkan otonomi daerah masih belum terwujud. Malah hak masyarakat adat digusur keserakahan korporasi, sementara kepercayaan pribumi dimarginalkan paham global. Mengapa kesenjangan antardaerah, terutama antara pusat dan daerah, belum dapat dikurangi setelah dana demikian besar disalurkan ke daerah?
Ini karena pola akumulasi modal masih belum meninggalkan sistem kolonial: semua perguruan tinggi bertaraf centre of excellence tetap berada di Jawa. Anak yang lahir di Jakarta mungkin memiliki peluang sepuluh kali lebih besar menggapai pendidikan berkualitas dibandingkan dengan teman sepantarannya di Papua.
Rasa ketidakadilan akibat langgengnya kebijakan ekstraktif berulang kali menimbulkan konflik, termasuk melibatkan angkatan bersenjata. Penanganan yang keliru akibat pemahaman politikus nasional yang kurang jernih terhadap akar masalah perlawanan rakyat malah mengakibatkan pemerintahan satu daerah berubah menjadi teokrasi.
Selain perlawanan yang dipicu oleh menjelmanya kembali kelembagaan ekstraktif warisan feodal-kolonial dan menyebarnya korupsi, ada yang bermotifkan agama. Dalam perjalanannya, ternyata kepercayaan lokal dipinggirkan penguasa dan terus memecah persatuan bangsa. Preseden daerah teokratis menggelitik daerah lain untuk menuntut agar pemerintahan berlandaskan ayat-ayat agama diberlakukan juga di daerahnya.
Pengelolaan pemerintahan, yang mengesampingkan pembangunan jati diri bangsa, yang menyuburkan hegemoni makna oleh pemuka, baik suku maupun agama, dominan. Sedangkan pemimpin institusi yang diharapkan berperan sebagai pemersatu terkesan justru memanfaatkan gejala mundurnya "kita" menjadi "kami" untuk kepentingannya sendiri. Malah perguruan tinggi, yang seharusnya memelopori terbentuknya kebudayaan baru yang semakin kokoh dan bermartabat, terkesan menyuburkan radikalisme yang dapat membuyarkan visi bangsa. Sampai-sampai pada 2001 ada pemimpin agama dari ujung timur yang menanyakan kepada saya sebagai komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia: "Kami masih dianggap warga negara RI atau tidak?"
"Bahasa persatoean" membina nada pemikiran yang sama di antara semua bangsa dan antara lain melahirkan salam nasional "Merdeka!". Belakangan ini, bahasa yang mengisi ruang publik justru bahasa kebencian, bahasa memecah-belah, bukan yang mempererat bangsa. Salam nasional sudah hampir tidak terdengar lagi. Bara yang dulunya sudah dapat diredam "bahasa persatoean" kini diterpa angin politik sehingga mulai membakar sentimen primordial yang pernah digunakan pihak kolonial untuk "memecah-belah dan menjajah" kita.
Pola akumulasi modal yang timpang juga turut berperan. Pendidikan, yang pada masa awal Republik menjadi tangga bagi rakyat desa untuk meningkatkan harkatnya, kini menjadi eksklusif. Ia justru membangun sekat-sekat pemisah yang akan terus menggerus persatuan generasi mendatang.
Penelusuran sepintas dari ketiga ikrar itu menunjukkan bahwa para politikus, pejabat sipil-militer, rohaniwan, akademikus, aktivis, dan pengusaha, baik di daerah maupun pusat, sejak Orde Baru belum sepenuh hati mengawal persatuan yang diikrarkan pemuda pada 1928. Sepertinya sangat minim niat untuk menyembuhkan luka-luka masa lalu ataupun habis-habisan melawan korupsi, kemiskinan, dan kesenjangan.
Secercah harapan timbul beberapa tahun belakangan ini dengan dikembangkannya infrastruktur fisik ke pinggiran, disalurkannya anggaran langsung ke pedesaan, serta ditingkatkannya kualitas dan jangkauan layanan publik, terutama pangan, kesehatan, dan pendidikan, kepada rakyat yang paling membutuhkan. Disalurkannya kredit usaha rakyat kepada usaha menengah, kecil, dan mikro dengan tingkat bunga yang lebih terjangkau juga menimbulkan asa. Demikian juga halnya pada matra pendalaman ideologi melalui pendirian Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
Namun semua ini tidak koheren karena masih berkutat dalam kerangka besar ekonomi neolib yang lebih berpihak pada korporasi daripada koperasi dan melepaskan tanggung jawab kepada pasar. Padahal globalisasi, perkembangan teknologi, dan kebijakan propasar yang dicanangkan Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (WB), dan Bank Pembangunan Asia (ADB) justru memperlebar kesenjangan selama ini. Pasar demikian merasuk ke dalam semua matra kehidupan sehingga budaya tinggi kita terkesan sudah merosot menjadi budaya transaksional.
Tidak dapat dimungkiri bahwa perbuatan dan pembiaran elite telah menggerus kepercayaan kepada pemerintah dan negara. Masyarakat, termasuk generasi milenial yang akan berperan semakin penting pada 2028, melihat Republik sebagai negara berstruktur lemah (soft state) dengan elite yang belum berhasil melintasi kepentingan diri, keluarga, kelompok, dan agama guna menyelaraskan diri dengan kepentingan bangsa.
Pemimpin pemerintah menjelang 2028 diharapkan lebih banyak berperan sebagai pencipta solidaritas untuk melawan kemiskinan dan kesenjangan. Elite semestinya mampu mengembangkan pemahaman "kesejahteraan terpaut", yaitu meyakinkan mereka yang berkelebihan untuk turut mengangkat saudaranya
Pada momen ini ikrar "bertoempah darah satoe, berbangsa satoe, dan mendjoendjoeng tinggi bahasa persatoean" perlu kembali disemai. Dengan kadar elite sekarang ini, menggapai Merdeka 100% membutuhkan sebuah revolusi mental-spiritual yang menuntun agar paradigma "laju pertumbuhan" digantikan Pembangunan yang Dihela Rakyat. Penerapan strategi pertumbuhan melalui pemerataan yang menggunakan "lensa rakyat" akan dapat lebih menjamin setiap kebijakan atau program memang berdampak positif terhadap kesejahteraan rakyat.
Dalam mencegah tumbuh suburnya paham pemecah belah baik dari Barat, Timur, maupun Timur Tengah, sebaiknya disusun narasi tandingan dengan mendalami ajaran agama dan etika. Ini dilakukan agar kita mampu mensyukuri kebinekaan, menyediakan ruang gerak yang lebih luas bagi yang terpinggirkan, membangkitkan semangat generasi penerus untuk mengejar ilmu setinggi mungkin, bekerja keras, berbagi dengan sesama, serta senantiasa amanah kepada rakyat dan Republik. Selama para elite masih enggan tampil sebagai teladan penuh integritas, cita-cita Indonesia 2045 dikhawatirkan akan tinggal sekadar paparan. l
Anggota Komite Ekonomi Nasional 2010-2012, Ketua Majelis Wali Amanat Institut Teknologi Bandung 2004-2006
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo