Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama Indonesia bersinar pada peta dunia maya. Dua mahasiswa Indonesia dinyatakan sebagai juara pertama dan kedua sebuah kontes programer komputer bernama Google India Code Jam 2005, yang diadakan perusahaan Internet terkemuka Google.
Adalah Ardian Poernomo dari Surabaya dan Pascal Alfadian dari Bandung yang menjadi sumber cahaya peta dunia maya internasional itu. Kontes ini sebetulnya cara Google mencari bibit baru bagi perusahaannya. Selain memperoleh sejumlah uang, para pemenang mendapat tawaran bekerja di Google, India. Namun kontes iniyang dimulai dari kontes di ASsekaligus membentangkan peta dunia maya internasional dan mencari bintang-bintang yang bersinar dari setiap benua. Ardian dan Pascal tahun ini adalah bintang baru itu (baca rubrik Teknologi Informasi).
Media Barat menyebut Ardian dan Pascal sebagai anak-anak ajaib. Mereka adalah dua anak Indonesia yang bertanding melawan 14 ribu techiesini sebutan bagi para penggila komputerdari Asia Selatan dan Tenggara. Dari 14 ribu penggila komputer itu, terpilih 500 orang pada tahap pertama, dan kemudian jumlah itu diperas lagi menjadi 50 orang, yang kemudian bertanding di Bangalore, India, untuk merampungkan tiga program tersulit. Jika di dunia maya kedua anak ini disebut wonder boys, bagaimanakah kita harus memperlakukan keberhasilan ini?
Dunia fisika remaja memiliki Yohanes Surya, yang selalu menjadi "bapak" dari para "ilmuwan remaja" yang mendidik, mengurus, dan membentangkan jalan bagi mereka untuk menjadi fisikawan Indonesia yang tangguh dan yang terus-menerus menyabet kemenangan di Olimpiade Fisika setiap tahun. Kemenangan Ardian dan Pascal, meski di ajang pertandingan yang berbeda, adalah sebuah keberhasilan generasi baru yang harus ditanggapi dengan serius oleh lembaga-lembaga pendidikan maupun pemerintah Indonesia. Masalahnya, melejitnya dua nama ini, yang mengalahkan pesaingnya, jagoan dari India dan Singapura, muncul karena sebuah lomba yang diadakan perusahaan Google, yang menawarkan para finalisnya supaya bekerja dengan mereka. Lazimnya para pemenang dan finalis, mereka memilih menyelesaikan sekolah dulu, untuk kemudian bergabung dengan Google (dan tak kembali ke tanah airnya). Ini memang pilihan bagus buat para wonder boys itu, tetapi Indonesia akan semakin banyak kehilangan jagoannya. Ingat, programer asal Indonesia juga sudah banyak yang "ditelan" oleh perusahaan di Silikon Valley yang rata-rata akhirnya menetap di AS karena mereka merasa Indonesia tak bisa menampung keahlian yang mereka miliki. Dan ini terjadi, salah satunya, karena Indonesia tak kunjung membangun infrastruktur dan fasilitas yang memadai untuk dunia komputer dan Internet.
Anak-anak seperti Ardian dan Pascal bertumbuhan di berbagai pojok Indonesia. Puluhan ribu techies yang mengisi waktunya di berbagai warnet (warung internet) di Jakarta, Bandung, dan Surabaya sebetulnya bukan anak-anak nyentrik yang sekadar bermain game, tetapi mereka adalah programer berbakat yang adrenalinnya terpacu oleh kompetisi seperti yang diselenggarakan Google. Hobi bermain adu strategi game Ardian adalah salah satu kerangka yang digunakannya saat mengikuti kompetisi Google. Bakat dan gairah generasi muda yang kini hidup pada era multimedia dan dunia maya seyogianya segera dijemput oleh pemerintah dan swasta dengan membangun infrastruktur. Ini penting agar Indonesia tetap bersinar di dunia maya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo