Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa artinya uang Rp 1 triliun? Kalau anggaran pemerintah yang jadi ukuran, ini hampir sama besarnya dengan anggaran Mahkamah Agung selama satu tahun, yang antara lain menyangkut gaji 6.000-an hakim dan biaya kantor serta staf mereka di seluruh wilayah Indonesia. Atau, bila didepositokan saja, bunganya mencapai Rp 5 miliar sebulan. Jelas jumlah uang yang sulit dibayangkan orang biasa.
Maka wajar jika berita tentang rencana Bank Mandiri untuk mentransfer dana sebesar ini ke rekening Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengejutkan banyak orang, bahkan sampai menjadi bahan pembicaraan rapat kabinet. Apalagi setelah dikabarkan bahwa asal-muasal uang itu adalah deposito PT Timor Putra Nasional, perusahaan yang didirikan Tommy Soeharto untuk menjalankan program mobil nasional, yang kemudian kesulitan keuangan dan tak mampu membayar utang senilai lebih dari Rp 4 triliun ke Bank Bumi Daya (BBD).
BBD kemudian bangkrut dan asetnya yang masih terpakaitermasuk deposito PT TPN bernilai lebih dari Rp 1 triliundigabung dengan aset tiga bank pemerintah lainnya menjadi aset bank pemerintah baru, Bank Mandiri. Adapun kredit macet keempat bank tersebut, yang nilainya totalnya ratusan triliun rupiah, termasuk sekitar Rp 4 triliun kredit BBD ke TPN, diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Akibatnya, untuk membuat Bank Mandiri menjadi bank yang sehat, pemerintah harus menggelontorkan lebih dari Rp 100 triliun dana obligasi ke bank pemerintah yang baru dibentuk itu. Asumsinya, dengan gelontoran modal itu, Bank Mandiri dapat memulai hidup baru sebagai bank pemerintah yang sehat karena telah membuang semua aset busuknya ke BPPN.
Sayangnya, asumsi itu ternyata keliru. Aset busuk di masa lalu ternyata masih dapat merecoki Bank Mandiri hingga kini. Setidaknya setelah, entah dengan sengaja atau tidak, BPPN menjual PT TPN termasuk utang-piutangnya dengan harga hanya Rp 445 miliar kepada PT Vista Bella Pratama (VBP), pada Maret 2003, tanpa mengeluarkan dahulu deposito TPN di Bank Mandiri yang bernilai lebih dari Rp 1 triliun, yang saat itu sedang diblokir Dirjen Pajak. Akibatnya, ketika pemblokiran itu dinyatakan tidak sah oleh Mahkamah Agung, Januari lalu, deposito itu pun segera diklaim PT VBP.
Bank Mandiri, yang diancam PT VBP akan dilaporkan melakukan penggelapan jika tak mencairkan dana itu, kemudian berniat mentransfer dana tersebut ke rekening Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, untuk kemudian diteruskan oleh pengadilan ke PT VBP. Beruntung, sebelum transfer dilakukan, pemerintah melalui Menteri Keuangan melakukan intervensi. Kini PT VBP mengancam akan melaporkan para pejabat pemerintah yang terkait dengan penghentian intervensi itu ke polisi.
Pemerintah hendaknya tak gampang menyerah seperti Bank Mandiri. Banyak kejanggalan yang mengusik rasa keadilan berada di belakang kisah ini. Dengan segala kekuatan penyelidikan dan penyidikan yang ada, pemerintah sebaiknya segera melakukan investigasi terhadap transaksi BPPN dengan PT VBP. Kalau perlu termasuk juga meneliti ketaatan semua pengurus dan pemilik perusahaan ini dalam membayar pajak mereka dan aliran dana di rekening mereka sejak TPN masuk BPPN.
Hanya dengan investigasi mendalam seperti inilah dapat dipastikan apakah PT VBP sebuah perusahaan yang kebetulan mendapat durian runtuh atau sebetulnya merupakan bagian dari skema canggih yang melibatkan banyak oknum pejabat untuk mencuri uang negara. Dan hanya dengan investigasi ini persoalan rasa keadilan dan kepastian umum perkara ini dapat dibuat seiring, tak lagi berbenturan seperti terlihat sekarang. Pemerintah memang tak punya pilihan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo