Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Industri LNG Nasional dan UU Migas No. 22/2001

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dr. Kurtubi Pengamat perminyakan Dengan Undang-Undang Migas No. 22/2001, pengelolaan industri gas alam cair (LNG) nasional berubah secara fundamental. Melalui perangkat undang-undang yang baru ini, diterapkanlah sistem yang ternyata rancu, sehingga menciptakan ketidakpastian yang sangat merugikan negara. Dengan pengelolaan industri LNG nasional versi UU No. 22/2001, ketika peran Pertamina tidak lagi seperti pada UU No. 8/1971, negara bisa merugi sampai miliaran dolar AS. Kerugian ini timbul karena harga jual yang diperoleh dari sistem baru ternyata sangat murah; juga karena para pembeli LNG selama ini, baik di Jepang, Korea, maupun Taiwan, boleh jadi akan menuntut penurunan harga jual LNG dengan mengacu pada harga jual gas ke Fujian. Kemungkinan ke arah itu bukan tak ada, karena harga jual LNG Tangguh ke Fujian sangat rendah, yakni US$ 2,4 per mmbtu (fob)—jauh di bawah harga jual LNG Australia North West Shelf sebesar US$ 3,1 per mmbtu (fob). Jadi bukan hanya karena buyer's market (Tempo, 6 Oktober 2002), melainkan juga karena berubahnya struktur pengelolaan industri LNG nasional, sebagai akibat pencabutan dua perangkat undang-undang minyak dan gas yang lama, diganti dengan UU Migas No. 22/2001. Menurut undang-undang yang lama, kuasa pertambangan berada di tangan Pertamina, tapi dengan UU No. 22/2001, kuasa itu dicabut. Pertamina tidak lagi berhak mengontrol dan menjual minyak dan gas, termasuk LNG bagian pemerintah dari para kontraktor production sharing (KPS). Pertamina juga tidak lagi berperan sebagai pengelola tunggal industri LNG nasional. Dampaknya, pihak mana saja (termasuk KPS penghasil gas) dapat memasarkan LNG. Nah, dalam memasarkan LNG Tangguh, peran Pertamina termarginalisasi karena peran yang lebih dominan diberikan kepada KPS (BP), antara lain dengan alasan bahwa BP telah berpengalaman di Cina. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika masih menggunakan UU No. 8/1971, sehingga peluang BP untuk berperan ganda (karena BP juga punya saham di LNG Australia) dapat dihindarkan. Namun, seiring dengan kemenangan Australia untuk memasok gas ke Guangdong, optimisme dari penerapan UU No. 22/2001 tiba-tiba lenyap. Selama ini, berdasarkan UU No. 8/1971, posisi Pertamina di lingkungan industri LNG dunia sangat kuat. Oleh undang-undang tersebut, Pertamina diberi hak mengontrol cadangan serta produksi minyak dan gas dari KPS, serta hak untuk menjual minyak dan gas bagian pemerintah dari KPS. Dalam kerangka itu, industri LNG nasional berkembang pesat, negara memperoleh penghasilan maksimal dari gas, dan Indonesia tercatat sebagai eksportir LNG terbesar di dunia. Soalnya, kesinambungan pasok gas sangat terjamin, antara lain karena semua kilang gas berada di bawah Pertamina. Namun, dengan UU No. 22/2001, pola ini terhapus. Pertamina tidak lagi berwenang mengontrol KPS. BUMN ini, yang tadinya sangat kredibel dan kuat di sisi pembeli, kini kedudukannya sama dengan KPS yang pernah dikontrolnya. Akibatnya, posisi Pertamina menjadi sangat lemah. Kini yang berhak mengontrol KPS adalah badan pelaksana. Tragisnya, badan ini menurut UU No. 22/2001 adalah badan pemerintah yang tidak mencari untung. Badan ini juga tidak bisa terjun ke bisnis perminyakan, seperti menjual bagian pemerintah dari para KPS, termasuk menjual LNG. Untuk itu, menurut UU No. 22/2001 Pasal 44 ayat 3 (g), badan pelaksana harus menunjuk pihak lain. Di seluruh dunia pun, pekerjaan menjual komoditas minyak seperti ini memang merupakan bagian dari pekerjaan/administrasi bisnis, karena sifatnya mencari untung. Dalam rangka penjualan LNG Tangguh ke Fujian sebesar 2,6 juta ton per tahun untuk 25 tahun, kontrak penjualannya ditandatangani oleh Pertamina setelah mendapat surat penunjukan dari badan pelaksana. Model pengelolaan industri LNG pasca-UU No. 22/2001 ini secara kasat mata terlihat rancu, bahkan memperlemah posisi tawar Indonesia dalam melakukan penetrasi pasar dan negosiasi dengan pembeli. Pasalnya, surat penunjukan badan pelaksana terhadap Pertamina tidak berkekuatan hukum dan bisa dicabut sewaktu-waktu oleh kepala badan pelaksana, tanpa persetujuan dari DPR, presiden, ataupun menteri. Dampaknya adalah Pertamina sebagai penjual LNG berada pada posisi lemah, karena dapat diganti sewaktu-waktu. Seiring dengan itu, pembeli, yang membutuhkan kepastian pasok, menilai ketentuan itu bisa merugikan mereka. Sangat berbeda dengan praktek selama ini, manakala Pertamina sebagai pengelola dan penjual tunggal LNG Indonesia bertindak atas landasan hukum yang kuat, yang tidak bisa diubah, baik oleh presiden maupun menteri. Demikian juga dari segi kepastian pasokan gas dari kilang gas. Dengan UU No. 8/1971, kepastian ini secara otomatis dapat dijamin lewat persetujuan pasok antara Pertamina dan kontraktornya (KPS penghasil gas). Kontrak penjualan terintegrasi dengan persetujuan pasok gas dari KPS untuk kilang gas. Ini menguntungkan semua pihak, karena adanya kepastian. Namun, mengacu pada model baru versi UU No. 22/2001, Pertamina hanya berfungsi sebagai penanda tangan kontrak dengan pihak Cina, sedangkan Pertamina sendiri secara hukum tidak punya hak atas LNG yang dijual, maupun hak kontrol atas gas yang dihasilkan dari lapangan KPS (BP). Kalau ada gangguan yang menyangkut produksi gas dari KPS sehingga pengiriman LNG ke Fujian terhenti, posisi Pertamina akan terjepit dan dirugikan. Selagi dampak negatif dari UU No. 22/2001 masih berada pada fase awal, sementara nilai tambah dari perangkat undang-undang tersebut nyaris nihil, maka demi bangsa dan negara, semua pihak diharapkan berbesar hati untuk melapangkan jalan bagi pencabutan UU No. 22/2001 dan penyempurnaan UU No. 8/1971. Dalam pada itu, semua proses implementasi UU No. 22/2001—termasuk upaya untuk memisahkan kilang Cilacap dan Balikpapan dari Pertamina serta skenario untuk mem-PT-kan dan memprivatisasi Pertamina—sebaiknya dihentikan karena kerugian yang harus ditanggung masyarakat jauh lebih besar daripada manfaatnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus