H.S. Dillon
Direktur Center for Agricultural Policy Studies
Masalah perdagangan gula dengan segala keterkaitan sosial-ekonominya kembali mengemuka belakangan ini. Puncaknya adalah unjuk rasa petani yang terkesan akut, kesan yang diperkuat oleh sikap pemerintah yang bereaksi secara terfragmentasi. Padahal masalah ini sudah menahun, sudah lama berada bersama kita.
Pada masa penjajahan, produktivitas gula sedemikian tinggi, sehingga Jawa menjadi produsen gula kedua terbesar di dunia. Sekarang kita malah menjadi salah satu pengimpor gula terbesar di dunia. Produktivitas merosot dari 14,8 ton per hektare pada 1930 menjadi 3,9 ton per hektare pada 1999. Rendemen melorot dari 12,79 persen pada 1940 menjadi sekitar 5,50 persen pada 1996.
Dengan rendemen separuh dan produktivitas yang tinggal sepertiga, tak salah bila petani tebu menjerit. Nilai tukarnya turun dari 110 pada 1990 menjadi 80 pada akhir 1990-an. Keterpurukan petani semakin jelas manakala kita mencermati bahwa rasio harga gula terhadap harga beras yang masih 1,512 pada 1990, belakangan tinggal separuhnya, yaitu 737 pada 1999.
Keterpurukan industri gula nasional sebenarnya melambangkan kegagalan kebijakan pemerintah secara telak. Pabrik gula milik negara yang menghasilkan hampir 65 persen produksi nasional hanya meraih produktivitas 5,4 ton per ha, sementara pabrik gula swasta di Lampung menghasilkan 8,1 ton per hektare. Dan kini hanya seperlima dari pabrik gula di Jawa yang dapat digolongkan efisien.
Dalam perdagangan, gula dikenal sebagai komoditas yang sangat diatur alias diregulasi. Tatanan global (peraturan multilateral perdagangan) dirancang negara maju antara lain untuk melindungi kepentingannya sendiri. Mereka bebas menetapkan tarif dan kuota impor. Contohnya, Amerika Serikat menetapkan bea masuk 155 persen, sementara Uni Eropa memasang tarif 240 persen. Gara-gara lobi kuat negara maju—petaninya paling diuntungkan oleh subsidi pertanian, kendati juga tidak efisien—harga gula di pasar dunia tidak lagi mencerminkan biaya produksi yang sebenarnya. Pada 1992, biaya produksi 15 negara terefisien adalah US$ 289,5, sedangkan harga di pasar dunia hanya US$ 202,8. Ini bukti adanya dumping sekitar 45 persen.
Lalu bagaimana sampai petani kita jadi korban? Tak lain karena pemerintah sepakat dengan IMF untuk menghapus bea masuk gula—kesepakatan yang bagi petani kita pun tidak mengejutkan. Sepanjang masa mereka telah dieksploitasi. Dulu penjajah Belanda bersama penguasa lokal menggunakan tebu sebagai alat ekstraksi untuk menyedot hasil keringat petani. Sistem cultuurstelsel memang memilih komoditi tebu untuk memeras rakyat. Dengan pola agrobisnis dan integrasi vertikal, petani dipaksa mengganti budi daya padi yang lebih menguntungkan dengan budi daya tebu.
Namun, di era kemerdekaan, upaya menjebol budaya eksploitatif itu selalu kandas. Undang-Undang No. 6 Tahun 1952 yang menghapus sewa tanah jangka panjang, Undang-Undang Pokok Bagi Hasil dan Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960, tidak berhasil mentransformasi kelembagaan ekstraktif menjadi kelembagaan representatif. "Toean-toean kebon berkulit sawo matang" yang menangani perkebunan Belanda di negeri ini—semua dinasionalisasi pada 1957—malah melanggengkan budaya eksploitatif itu. Pada 1975 digulirkan pola Tebu Rakyat Intensifikasi yang pro-petani kecil, tetapi dengan keterlibatan banyak instansi dan regulasi, justru intensifikasi itu semakin memberatkan rakyat.
Apa yang dapat dilakukan kini? Sebenarnya opsi perlindungan harga, yang pada tahun 1990-an mencapai 250 persen, hanya dinikmati pejabat. Pabrik milik negara yang leluasa mempraktekkan eksploitasi, korupsi, dan inefisiensi. Perlindungan harga gula justru dijadikan alat untuk mengumpulkan harta oleh toean kebon, pejabat, dan pedagang.
Kunci masalahnya ada pada peningkatan produktivitas dan efisiensi, yang merupakan tanggung jawab Departemen Pertanian dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara. Ke depan, sebaiknya pabrik gula dikelola oleh Dewan Gula Nasional, agar strategi pengembangan yang disusunnya puluhan tahun lalu dapat ditata kembali.
Yang paling mendesak adalah memberikan bantuan langsung kepada petani dan buruh tani tebu. Bantuan ini jangan dikaitkan dengan jumlah produksi, agar tidak melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia, tetapi diberikan berdasarkan besarnya keluarga. Tentu Departemen Pertanian, pemerintah daerah, Bank Rakyat Indonesia, dan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia dapat menemu-kenali keluarga petani tebu yang berhak. Bantuan dihitung dengan teliti dan gula dikenai bea masuk yang mampu menetralkan dumping. Sementara itu, kemauan dan kemampuan aparat untuk menjalankan keputusan ini harus dapat lebih dijamin. Pabrik gula yang inefisien sudah saatnya ditutup, dan dijalin strategic partnership untuk merelokasi pabrik gula ke luar Jawa. Untuk itu perlu program terintegrasi yang mampu mengalihkan saham kepemilikan pabrik gula kepada petani secara bertahap.
Semua gagasan ini hanya akan membuahkan hasil jika pemerintah menanggung adjustment cost atau biaya peralihan petani tebu ke komoditi yang lebih menjanjikan. Dalam kaitan ini, salah satu investasi terbaik saat ini adalah membangun rumah kaca sederhana berupa gubuk-gubuk plastik, yang dapat menopang budi daya hortikultura secara intensif. Dengan naik kelas dari budi daya tebu, akhirnya petani di Jawa akan mampu meloloskan diri dari budaya eksploitatif yang membelenggunya selama ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini