Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Konstitusi 'Kafkaesque'

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mochtar Pabottingi Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Terima kasih kepada Tempo karena memperkenankan saya kembali menjawab Goenawan Mohamad (GM), kali ini untuk tanggapannya Empat Tesis, tanpa Candu (Tempo, 29 September). Perbedaan antara posisi kami berdua dapat diutarakan dalam tiga garis besar. Pertama, GM lebih bertumpu pada perspektif humanities—khususnya pascamodernisme dalam "bahasa". Saya lebih bertumpu pada perspektif politik bukan dalam pengertian Platonis maupun Marxis, melainkan dalam pengertian Aristotelian, Locke, Mill, Montesquieu, dan seterusnya. Kedua, GM secara implisit memperlakukan momen amandemen atas konstitusi kita sebagai sama saja dengan momen-momen politik lainnya. Ketiga, berjalin dengan posisi pertama dan kedua, GM mengasumsikan permasalahan politik secara umum—bisa digunakan bagi negara mana pun dan kapan pun. Saya menyoroti permasalahan politik yang doubly contextual: menyangkut entitas politik bernama Indonesia, tempat pelbagai lembaga politik yang sejak zaman penjajahan sudah sarat irasionalitas. Lebih khusus, kita membicarakan Indonesia dalam lima-enam tahun terakhir, kala ia dirubung keadaan serba bangkrut yang bak "jurang tanpa dasar". Nama apa pun yang kita berikan untuk kondisi seperti ini, tetaplah ia de facto kondisi ultradarurat, keadaan supra-abnormal, suatu kondisi yang kita perkabur dengan sekadar menyebutnya "transisional" (padahal ada dua macam transisi—dengan serta tanpa restu rezim—dan dampak keduanya bertolak belakang). Kondisi ini memperlarut pelbagai praktek buruk Orde Baru, bahkan kini dalam bentuk-bentuk yang bizarre. Ketiga cabang pemerintahan beserta segenap lembaga politik masih berlaku persis kebalikan dari fungsi-fungsinya. Belum pernah saya temukan preseden historis dari ekstremitas kekusutan, kedalaman, dan keparahan krisis multidimensi seperti yang kini dialami oleh bangsa kita. Setiap demokrasi mestilah ditandai oleh rasionalitas saling imbang saling kontrol vertikal-horizontal tiga lapis: (1) antara nasion, konstitusi, dan negara; (2) antara ketiga cabang pemerintahan; dan, tumpang tindih dengan lapis kedua, (3) antara keenam lembaga demokrasi (partai politik, pemilihan umum, parlemen, eksekutif, yudikatif, dan pers bebas). Checks and balances tegak di atas prinsip keabsahan esensial serta keabsahan prosedural. Buah dari semua itu adalah pengukuhan kedaulatan rakyat. Penyebab pokok dari Tragedi Demokrasi Terpimpin, kebangkrutan tragis Orde Baru, dan seluruh porak-poranda sistemik yang kini kita alami tak lain dari tiadanya rasionalitas saling imbang dan saling kontrol sejak dari lapis pertama. Konstitusi kita belum pernah disusun, apalagi dicek, "oleh nasion" demi cita-cita nasion (seperti berlaku misalnya sejak 1788 di Amerika Serikat dan paling mutakhir juga di Thailand dan Afrika Selatan). Dengan UUD 1945, negara yang mestinya berjangkar pada konstitusi justru mendikte konstitusi dan menentukan arah perundang-undangannya. Perjuangan Koalisi untuk Konstitusi Baru bertolak dari diagnosis yang tepat: tanpa reformasi konstitusi, atau tanpa rasionalitas checks and balances sedari lapis pertama, bangsa dan negara kita mustahil lepas dari keporak-porandaan sistemiknya. Di sini kita memang tidak bertanya dengan alat inkuisisi diskursif serba bisa model das Sollen-das Sein yang paling kerap digunakan oleh para pendukung Orde Baru (dan sayang ikut diusung oleh GM). Kita berbicara tentang suatu diagnosis politik hasil pemikiran politik yang kami yakini kebenarannya. Kita juga tidak berbicara dengan fatwa keadaan normal bahwa "jika tak memperoleh seluruhnya, yang sebagian betapapun kecilnya (dan, implisit, betapapun status quo) tetap diterima." Kita berbicara tentang konstitusi dalam konteks demokrasi di tengah-tengah abnormalitas dan irasionalitas politik yang luar biasa. Demokrasi dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya mestilah disebut sebagai politico-legal contracts all the way up and all the way down.Konstitusi adalah kontrak politik/hukum tertinggi pada nasion, dan syarat-syarat bagi keabsahan prosedural dan esensial dari kontrak tertinggi itulah yang banyak sekali—secara irasional—sengaja tidak dipenuhi oleh Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR. Juga, lantaran konstitusi merupakan kontrak politik/hukum tertinggi yang harus menjangkau ke masa depan, para penyusunnya tak boleh terpaku dan terpenjara pada das Sein, abnormalitas dan irasionalitas tadi. Ia justru harus menangkap das Sollen. Cass R. Sunstein (2001) menulis bahwa konstitusi transformatif berusaha untuk tidak mempertahankan "an idealized past but to point the way toward an ideal future," bahwa "the point of a democratic constitution is to hold a nation up to a mirror so as to reveal its flaws," dan bahwa konstitusi transformatif "menghendaki tanggung jawab nasion". Di sini politik tidak ditafsirkan melulu sebagai "the art of the possible" sebab itu cenderung bersifat preservatif, deterministik, atau ex post facto, melainkan sebagai "the art of the possibles". Dalam kasus amandemen kemarin, pertanyaan menjadi apakah "the possible" itu sengaja dipatok dalam kerangka status quo atau arenanya dibuka lebar hingga bisa berorientasi ke masa depan. Felix Frankfurter yang mungkin disalah-kutip oleh GM terkenal sebagai lawan dari konstitusi transformatif ini. Tak satu pun demokrasi yang bisa ber-evolusi, tegak dan/atau bertahan jika kita mematuhi atau bersikap complacent seperti yang langsung tak langsung dipromosikan oleh keempat tesis GM. Dalam tesis pertama dan kedua, GM menyatakan bahwa "konstitusi ialah seperangkat hukum yang disusun oleh tangan-tangan ... daif" dan "akan selalu ditafsirkan oleh otak yang tidak sepenuhnya jernih". Ini berarti menafikan sejumlah terobosan historik-politik dan sekaligus berasumsi berbicara sebagai Tuhan. Dinafikan, misalnya, kesaksian Tocqueville mengenai "the finest minds" dan "the noblest characters" yang terlibat dalam penyusunan konstitusi Amerika. Begitu pula pengakuan internasional atas majunya konstitusi Thailand dan Afrika Selatan. Jika konstitusi Amerika Serikat disusun oleh "tangan-tangan daif", ia pasti sudah diganti, bukan hanya diamandemen, berkali-kali. AS juga pasti tak kan tumbuh menjadi negara dan bangsa terkuat di dunia. Hanya Tuhan—lantaran ketuhanannya—yang bisa menyatakan bahwa para penyusun ketiga konstitusi transformatif ini daif. Pada tesis ketiga (bahwa bahasa tak selamanya terkontrol oleh pikiran manusia), GM mengambil bulat-bulat tesis sentral dan umum kaum pasca-modernis yang tidak benar jika dikenakan dalam kasus penyusunan atau amandemen konstitusi yang bersifat kontraktual itu. Sejarah politik membuktikan bahwa konstitusi yang memang juga bersandar pada kata tidaklah menutup kemungkinan para penyusunnya bersikap rigorous dan antisipatif dengan kata sehingga validitas dan kekuatannya sebagai kontrak politik/hukum bisa tahan puluhan dan, dalam kasus AS, bahkan ratusan tahun. Pada tesis keempat ("konstitusi pada akhirnya akan ... dianggap tak pernah tegar, utuh, penuh, memadai"), kembali GM mengambil posisi sangat umum, off history atau menghitung sejarah dalam satuan milenial (sebab dalam hitungan itulah tesisnya tak terpatahkan), dan lagi-lagi terasa menggunakan asumsi sebagai Tuhan. GM juga bertanya, "bagaimana" dan "siapa yang memutuskan bahwa partisipasi rakyat sudah memadai?" Pertanyaan ini terlalu cepat, off context, dan terasa agak dicari-cari. Mestinya ditanyakan dulu, adakah bukti nyata bahwa Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR memang berniat sedari awal untuk menghargai partisipasi rakyat? Adakah minutes di tangan Panitia Ad Hoc bahwa ia memang merancang, memperoleh, mengolah, dan menerima atau menolak masukan-masukan dari setiap pertemuannya dengan masyarakat daerah, kalangan perguruan tinggi, dan seterusnya? Adakah time one dan time two di situ? Apakah tim ahli yang dibentuk sebagai pendukung Panitia Ad Hoc benar-benar didengarkan atau sekadar digunakan sebagai topeng? Tak sulit menjawab pertanyaan serta menemukan jawaban "bagaimana" dan "siapa" yang diajukan GM jika urutan pertanyaan di atas sudah tulus didahulukan. Menuduhkan "harapan yang berlebihan" pada kami dalam hal amandemen UUD 1945 pun tidak tepat. Yang ada justru adalah keprihatinan yang sungguh serius akan dalamnya krisis multidimensi yang hingga kini terus mendera bangsa kita, yang intensitas dan volumenya kian bertambah. Angkat masalah KKN. Di zaman Orde Baru resmi, inisiator dan pelaku utama KKN-mega hanyalah pucuk-pucuk lembaga eksekutif di pusat maupun di daerah-daerah. Kini akankah kita membantah bahwa pucuk-pucuk lembaga legislatif maupun yudikatif sudah ikut memasuki bursa inisiator dan pelaku utama KKN-mega tersebut dalam lingkup yang sama luasnya? Diakui atau tidak, terasa bahwa kasus dan/atau praktek KKN-mega telah meningkat tiga kali lipat, mengikuti peningkatan jumlah inisiator dan pelaku utama tadi. Begitu juga halnya dengan masalah konsistensi penegakan hukum. Simaklah, misalnya, RUU Pemilu, RUU Parpol, RUU Penyiaran yang baru dari pemerintah. Puluhan media, termasuk Tempo, yang kita cintai, pernah dan kini bisa kembali menjadi korban. Bukankah pendulum eksekutif serempak kembali bergerak ke arah otoritarianisme? Jika terjadi multiplikasi KKN dan hukum rimba dalam dua tahun terakhir, juga terjadi multiplikasi korban di kalangan masyarakat luas. Itu gamblang terdeteksi dari meningkatnya jeritan kaum tani-buruh-nelayan, jajaran kerah putih, dan produsen jujur (yang terus dirajam oleh penyelundupan dan pembajakan ria), kalangan guru miskin, puluhan juta saudara kita yang mengalami PHK, pengangguran, dan pemiskinan progresif, serta ratusan juta konsumen dan/atau warga negara yang tiada hentinya diperas oleh perkembangan bizarre itu di seluruh Tanah Air. Di sini, Mas Goenawan, tak sepakat jugakah kita bahwa keadaan negara kita kian memburuk? Hasil rangkaian amandemen atas UUD 1945 sama sekali tidaklah memodali negara kita untuk melangkah lebih maju, meskipun ia sudah penuh dengan pernik-pernik hak asasi manusia. Jika kita menyoroti masalah rasionalitas saling imbang saling kontrol yang dituntut dari setiap demokrasi, keadaannya justru lebih parah. Telah tercipta semacam anarchic government yang langsung tak langsung memangsa rakyat. Telah tercipta perkembangan nightmarish yang mau tak mau mengingatkan kita pada mimpi-mimpi buruk Franz Kafka. Konstitusi kita telah menjadi Kafkaesque.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus