Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Infotainmen Bukan Produk Jurnalistik

19 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wilson Sitorus

  • Penulis bekerja di O Channel

    ADAKAH kabar baik jika kabar itu datang dari infotainmen? Ini pertanyaan serius kedua.

    Pertanyaan serius pertama adalah apakah infotainmen merupakan karya jurnalistik atau bukan. Jika merupakan karya jurnalistik media elektronik, kontennya harus tunduk pada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jika tidak, ia harus tunduk pada keharusan sensor. Kedudukannya setali tiga uang dengan sinetron, acara mencari jodoh atau mencari bakat, dan program nonfaktual lainnya.

    Untuk dapat menjawab pertanyaan pertama, yang merupakan perdebatan lama tapi kembali aktual pascasensasi video porno tiga serangkai itu, mari kita periksa rekam jejak program infotainmen. Saya nukilkan beberapa peristiwa besar saja.

    Nukilan pertama adalah kisruh rumah tangga Rafli-Tamara Bleszynski. Seorang tukang bakso yang biasa mangkal di depan rumah mereka dijadikan narasumber dan dimintai konfirmasi apakah betul Tamara jarang pulang ke rumah. Tanpa bermaksud meremehkan profesi, tukang bakso pastilah tidak sesuai dengan Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik tentang kredibilitas dan kompetensi sumber berita. Infotainmen juga menabrak Pasal 18 P3 & SPS KPI yang menyatakan anak dan remaja—anak pasangan Rafli dan Tamara—tidak boleh diwawancarai mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka, termasuk tentang perceraian orang tua.

    Nukilan berikutnya adalah pertengkaran Kiki Fatmala dengan ibunya. Dalam Bab II Pasal 6 KEJ disebutkan soal perlindungan atas kehidupan pribadi, kecuali menyangkut kepentingan umum. Pada tayangan yang sama, infotainmen juga melanggar Pasal 19 P3 & SPS KPI tentang privasi, serta Pasal 20 tentang konflik dalam keluarga.

    Selanjutnya adalah kasus penganiayaan yang ditimpakan kepada Marcella Zalianty dan kekasihnya, Ananda Mikola. Infotainmen tidak tunduk pada Pasal 7 Bab II KEJ tentang menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang. Selama 14 hari menjadi berita, Marcella pasti tak merasakan penyajian berimbang. Tayangan tersebut juga tidak tunduk pada Pasal 9 P3 & SPS KPI yang mengharuskan prinsip ketidakberpihakan (imparsialitas).

    Yang teranyar adalah kasus video porno Ariel-Cut Tari. Infotainmen menayangkan adegan mesum itu dengan teknik masking (menutup gambar pada bagian vital) saja, tapi membiarkan audio apa adanya. Akibatnya kita masih mendengar suara mendesah dan sapaan manja. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan KEJ Pasal 3 Bab 1, yaitu pantang menyiarkan berita cabul. Juga tak sesuai dengan Pasal 42 P3 & SPS KPI, yang melarang menyiarkan suara-suara atau bunyi-bunyian yang mengesankan berlangsungnya kegiatan hubungan seks.

    Daftar nukilan ini sebenarnya masih panjang. Namun intinya tetap satu: infotainmen terlalu sering tidak patuh pada KEJ ataupun P3 & SPS KPI. Cara kerja infotainmen adalah membungkus cantik sebuah fakta dengan gosip, melebih-lebihkan gosipnya dengan fakta yang sumir dan insinuatif, untuk mendapatkan perhatian pemirsa. Gosip, bukan fakta, adalah menu utama program ini. Dan ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di Amerika Serikat, tempat lahirnya tayangan ini.

    Dengan demikian, bila masih ada yang berpendapat infotainmen adalah karya jurnalistik media elektronik sehingga tidak membutuhkan sensor, silakan memaknai pendapat tersebut sebagai bagian dari gosip itu sendiri. Sebab, daya hidup infotainmen terletak pada ketidakpatuhan terhadap peraturan-peraturan jurnalistik.

    Konsekuensinya, rencana KPI melakukan sensor sebelum tayang terhadap program infotainmen bukan dimaksudkan untuk mengebiri konten program ini. Sensor perlu dilakukan agar infotainmen memahami sepenuhnya kekuatan besar sebagai pengerek rating atau share yang dimilikinya harus dibarengi dengan tanggung jawab yang sama besarnya. Infotainmen tidak boleh terus-menerus mempermainkan sentimen pemirsa. Terlebih lagi televisi sudah memasuki era sistem siaran berjaringan.

    Sejatinya menjadi selebritas adalah profesi terhormat. Sepanjang mereka membayar pajak, negara harus memastikan tersedia cukup peraturan untuk melindungi wilayah privat mereka.

    Sekarang, giliran saya yang memastikan Anda sudah tahu jawaban atas pertanyaan serius yang kedua.

    Lihat pula di @wilsonsitorus. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus