Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kolaborasi yang Tak Mengalahkan

Grup karawitan asal Belanda, Ensemble Gending, berkolaborasi dengan kelompok asal Bandung, Kyai Fatahillah. Saling melengkapi, tapi timpang ketika tampil solo.

19 Juli 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGGUNG itu penuh. Campur-baur 10 bule berkemeja merah dengan 15 pribumi berpakaian hitam. Semuanya bersila. Tangan mereka menggenggam pukul atau alat tabuh yang dalam bahasa Sunda disebut panakol. Berbarengan, mereka menutuk logam-logam gamelan Jawa. Komposisi Kulu-kulu dibuka dengan lembut, pelan, dan mengalir. Sekitar lima menit, permainan ritmis disuguhkan ke hadapan sekitar 120 pengunjung Komunitas Salihara, Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu.

Semua alat musik pukul digunakan. Kenyaringan bonang, saron, gong, gender, dan kenong berpadu dengan tabuhan kendang nan halus. Kadang permainan berubah cepat dan keras. Atau tiba-tiba berhenti serentak dan dilanjutkan dengan entakan. Kadang terdengar pula nada-nada disonan akibat perbedaan laras slendro yang dimainkan para bule dengan laras pelog yang dipegang pemain lokal. Bukan tak enak didengar, melainkan nada disonan justru melebur dalam totalitas permainan mereka. Kesengajaan yang sama sekali tak mengganggu, tapi menciptakan harmonisasi permainan.

Kulu-kulu yang dimainkan pada akhir pertunjukan menjadi klimaks kolaborasi dua grup karawitan: Kyai Fatahillah dari Bandung dan Ensemble Gending dari Utrecht, Belanda. Kolaborasi yang menjadikan mereka big band karawitan. Tak sekadar riuh karena banyaknya personel, mereka juga mempertontonkan harmonisasi menarik dan meriah sekaligus kompak meski tanpa konduktor.

Di awal pertunjukan, kedua grup juga berkolaborasi membawakan Sonata da Camera. Pada komposisi yang dipimpin Jurrien Sligter ini, Ensemble Gending—berdiri pada 1988—memegang pelog, sedangkan Kyai Fatahillah yang enam tahun lebih muda daripada Gending memainkan slendro. Begitu tangan sang konduktor turun, permainan energetik langsung terdengar. Rangkaian nada dalam interval yang dekat dimainkan terus-menerus menyerupai bentuk sopran-alto-tenor dalam paduan suara. Komposisi pembuka ini berhasil mengundang harap penonton untuk menyaksikan permainan yang lebih eksplosif.

Sayang, kolaborasi hanya muncul di awal dan akhir pertunjukan berdurasi sekitar 90 menit itu. Sisanya permainan masing-masing grup. Tapi, dari dua lagu itu, terlihat kerja sama negeri asal gamelan dan negeri yang ikut memainkannya. ”Kerja sama ini sudah berlangsung empat tahun,” kata komposer yang tergabung dalam Ensemble Gending, Jonás Bisquert.

Pemimpin Kyai Fatahillah, Iwan Gunawan, mengatakan tak mudah membangun kolaborasi dengan Ensemble Gending. Berbeda dengan notasi karawitan yang umumnya menggunakan angka, semua komposisi yang dimainkan menggunakan notasi balok. Masalahnya, Fatahillah menggunakan nada dasar A, sedangkan Gending terbiasa dengan nada dasar Bes. Iwan harus menerjemahkan notasi supaya bisa diterima dua kelompok.

Selain notasi, teknik permainan kedua grup tak imbang. Selama lima hari berlatih bersama, Iwan menilai Gending kerap keteteran saat bermain dalam tempo cepat. ”Untungnya mereka mampu mengejar dan tampil baik saat kolaborasi,” ujar Iwan.

Setelah kolaborasi membuka pertunjukan, permainan Gending memang terlihat biasa saja. Saat membawakan Petruk, Gending mempertontonkan sedikit aksi teatrikal. Hanya dua personelnya di panggung. Lalu satu per satu pemain masuk dan memulai permainan kolektif. Gairah penonton yang telah dibangun di awal pertunjukan sedikit hilang karena permainan cenderung lambat dan drama tak penting diulangi pada akhir lagu—satu per satu personel meninggalkan panggung.

Untunglah, Kyai Fatahillah mampu menutupi minus ini. Melalui Six Marimbas, yang diciptakan pionir musik minimalis asal Amerika, Steve Reich, grup ini tampil memikat. Pengulangan tiga nada disuguhkan dalam waktu cukup lama. Iwan menjadi pengatur tempo dengan menabuh gong terus-menerus. Begitu ia berganti gong, tiga nada baru dimainkan berulang-ulang lagi. Keterbatasan nada tak membuat permainan 16 menit ini monoton, justru bisa dimaksimalkan dengan pola pukul bonang barung ataupun bonang panerus yang berbeda sendiri.

Lagu berikutnya, Lalamba, juga cenderung minimalis. Tapi di sinilah terlihat kecemerlangan Iwan meramu komposisi. Ia menghadirkan Intan Kartika sebagai sinden dan sedikit permainan rebab. Vokal sinden dan rebab begitu menyayat dalam gaya Sunda yang hangat. Iwan tak menjadikan gamelan sebagai pengiring sinden. Justru sinden melebur dalam permainan minimalis yang tetap kaya makna.

Toh, Iwan menolak grupnya dianggap lebih baik ketimbang Gending. Menurut dia, justru permainan keduanya saling melengkapi. ”Kolaborasi bukan saling mengalahkan, tapi saling memahami,” katanya. Kolaborasi pun bukan hanya soal permainan bersama, melainkan kedua grup bertukar komposisi. Bagaimanapun, memang Kyai Fatahillah dan Ensemble Gending telah menunjukkan dialog antarbangsa melalui alat musik bernama gamelan.

Pramono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus