Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Polemik pemakaian frasa insyaallah dan inshaallah di media sosial.
Kesengajaan pemakaian ragam bahasa tinggi dalam diglosia senantiasa dilandasi pengetahuan akan bahasa yang dipakai.
Patut diduga pemakaian inshaallah lebih mengarah ke identitas.
PEMAKAIAN frasa “insyaallah” ataukah “inshaallah” tampaknya masih menjadi perdebatan diam-diam para penggunanya. Kita masih bisa menemukannya dalam jagat media sosial. Mana yang benar di antara keduanya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fokus perbedaannya terletak pada lema ﺷﺄ (sya’a) yang berarti menghendaki. Lema ﺻﺄ (ṣa’a) merupakan kata turunan yang bermakna tumbuh. Jauh maknanya dari makna “jika Allah menghendaki”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebenarnya telah banyak yang menjelaskan mana yang benar dan salah. Ada Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158 Tahun 1987 dan Nomor 0543b/U/1987 yang seharusnya dijadikan patokan. Huruf ش (syin) dilambangkan dengan “sy”, sementara huruf ص (shad) dilambangkan dengan “ṣ” (s dengan titik di bawah. Lantaran kesulitan memakai abjad dengan tanda titik bawah, akhirnya dipakailah lambang “sh”). Dengan begini, sebenarnya sudah jelas bagaimana penulisannya dalam bahasa Indonesia yang benar.
Lalu mengapa masih saja ada orang yang kukuh menggunakan “inshaallah”? Bahkan ada yang sampai menyematkannya ke dalam meme Dr Zakir Naik demi mendapatkan legitimasi dari tokoh itu, meskipun kemudian diketahui bahwa yang bersangkutan telah melakukan klarifikasi perihal pencatutan nama tersebut. Beberapa orang juga beralasan meniru Maher Zain, penyanyi asal Swedia, dalam album Thank You Allah yang dirilis pada 2009. Orang tersebut mungkin lupa/tidak tahu bahwa Zain jelas memakai aturan transliterasi dalam bahasa Inggris lantaran jangkauan pasar yang dirasa akan lebih luas jika memakai bahasa internasional. Dalam bahasa Inggris, huruf ش (syin) dilambangkan dengan “shin” (sh), sementara huruf ص (shad) dilambangkan dengan “sad” (s) yang hampir tak memiliki perbedaan dengan huruf س (sin/s).
Lantas, mengapa masih saja ada orang yang tetap kukuh memakai “inshaallah” meski sudah dijelaskan secara rinci dan tepat? Bahkan ada yang penulis dapati sampai beradu argumen.
Jika kita mengacu pada motif diglosia, jelas salah besar. Kesengajaan pemakaian ragam bahasa tinggi dalam diglosia senantiasa dilandasi pengetahuan akan bahasa yang dipakai. Patut diduga pemakaian “inshaallah” lebih mengarah ke identitas. Bahasa digunakan sebagai ragam pembeda.
Dalam ranah kebahasaan, telah diketahui ciri linguistik merupakan batasan penting untuk mengetahui keanggotaan suatu etnik. Hanya dengan kata “koen”, kita bisa tahu pemakainya adalah orang ngapak atau arek. Warga Kudus, Jawa Tengah, juga memiliki ciri khusus yang mudah dilihat dalam dialek(Jawa)nya. Pemakaian morfem terikat “em” sebagai pengganti “mu” menjadikan mereka memiliki dialek tersendiri; nggonem dari kata nggonamu (punyamu), duwekem dari kata duwekmu (milikmu), lambenem dari kata lambemu (bibirmu), dan lain-lain.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kelompok Islam di Indonesia memiliki ragam kelompok yang berbeda satu sama lain; baik dalam perkara mazhab (fikih), cara dakwah (sosial), maupun metode penafsiran kitab suci (akidah). Kelompok-kelompok tersebut tampaknya juga menggunakan bahasa sebagai ciri pembeda. Maka, sebagai penganut ketertiban dalam berbahasa, ketika menjumpai pemakai “inshaallah” yang kukuh meskipun kita telah menjelaskannya secara rinci, tak perlulah kita ambil pusing. Mereka jelas hanya ingin berbeda dan menunjukkan dari kelompok yang mana. (Ketepatan) bahasa bukanlah sesuatu yang urgen bagi mereka, meski bahasa digunakan sebagai tingkah laku yang penting (ragam pembeda).
Lantaran terdiri atas banyak suku, Indonesia menjadi tempat terkaya pemakai ragam bahasa. Sumber muasalnya bukan hanya ranah sosial, budaya, dan ekonomi, bahkan agama juga memiliki peran yang sama. Karena itu, perbedaan linguistik akan terus mengada dan menjadi sumber masalah tersendiri. Perbedaan tersebut jelas menandai satu kelompok tertentu. Dan permasalahan itu menjadi serius jika berkembang menjadi sikap budaya, yang berujung pada sikap nasionalisme. Menurut Sumarsono (2002: 74), penggunaan ragam bahasa semacam itu sebenarnya merupakan sebuah kecenderungan: kata-kata tertentu cenderung lebih banyak digunakan oleh kelompok tertentu. Lantaran Islam diturunkan di tanah Arab, kecenderungan pun mengarah pada pemakaian bahasa Arab—tanpa peduli akan kaidah kebahasaan tempat di mana ia berada. Bahasa menjadi penting sekaligus tidak penting.
Tidak penting saat ragam bahasa hanya dianggap sebagai bagian kekayaan nasional. Penting saat ragam bahasa digunakan sebagai sikap politik. Itulah sebabnya bisa kita temukan dalam sejarah adanya penaklukan bahasa yang dilakukan pemerintah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo