Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Elite Baru Indonesia

Elite baru Indonesia tumbuh. Jokowi yang dari luar elite lama pun bersekutu dengan mereka.

2 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Elite baru Indonesia tumbuh seiring dengan perubahan politik dan kebijakan ekonomi.

  • Mereka bertaut dan menyelinap ke dalam kebijakan lalu mengarahkan kebijakan dengan kekuasaan.

  • Jokowi yang bukan berasal dari elite lama pun tunduk mengikuti mereka.

KERUSAKAN politik di Indonesia tidak disebabkan oleh “demokrasi yang kebablasan”, juga bukan karena rakyat kurang paham politik, melainkan komitmen para elitenya yang rendah terhadap demokrasi. Menurut Marcus Mietzner dalam Democratization (2012), regresi demokrasi lebih banyak disebabkan oleh elite anti-reformasi yang merusak bangunan baru politik demokratis setelah Orde Baru. Dari kesimpulan Mietzner ini menarik bagi kita memahami siapa elite kekuasaan Indonesia dan bagaimana mereka mereproduksi diri agar bisa bertahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk memahami siapa dan bagaimana elite kekuasaan di Indonesia masa kini, kita mesti menyinggung dua jalur pemikiran. Pertama teori oligarki sebagaimana dikembangkan Vedi Hadiz dan Richard Robison serta Jeffrey Winters. Kedua teori elite C. Wright Mills yang direpresentasikan setidaknya oleh Michael Buehler.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada perbedaan penting antara karya Hadiz-Robison dan karya Winters, tapi elemen pendekatan mereka saling terpaut. Pertama, mereka sepakat ekonomi telah lama mendeterminasi dinamika politik Indonesia. Winters berargumen bahwa rezim Orde Baru menyediakan fasilitas bagi sejumlah kecil individu untuk melindungi (dan memperluas) kekayaan mereka. Dari situ mereka membangun strategi pertahanan kekayaan melalui intervensi di ranah politik. Dalam tesis oligarki versi Hadiz dan Robison, akumulasi kekayaan di Indonesia terjadi melalui “penguasaan lembaga-lembaga publik”. Akibatnya, “oligarki politik-ekonomi” secara langsung menempati pos-pos birokrasi dan politik dari mana mereka mengontrol akses ke negara serta titik simpul dalam hubungan negara-bisnis.

Kedua, Hadiz dan Robison berargumen bahwa konstelasi kekuasaan ini selamat dan bertahan di era reformasi karena runtuhnya Orde Baru hanya mengubah sedikit pola relasi kekuasaan dari otoritarianisme menjadi demokrasi, ketimbang sebuah revolusi sosial yang mengubah watak masyarakat dan negara. Buehler menolak pendekatan oligarki. Baginya, elite tidak bisa ditentukan oleh kepemilikan kekayaan dan penguasaan material. Dengan mengikuti Wright Mills, Buehler lebih menyukai istilah elite kekuasaan di mana “commanding position” yang mereka duduki dalam struktur politik lebih menentukan ketimbang kekayaan semata. 

Saya beranggapan kekayaan dan kekuasaan material sama pentingnya dengan jabatan politik dalam menentukan siapa elite penguasa Indonesia. Sejarah terbentuknya elite kekuasaan menunjukkan ada oligark yang memulai tumbuh dengan memanfaatkan kekuasaan ekonomi, kemudian merambah kekuasaan politik. Namun ada pula oligark yang memulai penguasaan politik. Dari situ mereka merambah ekonomi. Karena itu, aspek kekayaan material dan posisi politik para oligark ini sama-sama variabel utama terbentuknya elite kekuasaan. Di luar itu, ada satu variabel lain, yakni kepemilikan akses untuk menentukan kebijakan. 

Melalui ketiga variabel (kekuasaan material, kepemilikan/akses organisasi kekuasaan, akses pembuatan kebijakan), ada setidaknya empat jenis elite kekuasaan di Indonesia. Mereka adalah oligark yang menguasai baik ekonomi maupun kekuasaan politik. Golongan pertama oligarki ini bisa menentukan arah dan isi pembuatan kebijakan. Di kelompok ini, misalnya, para pemilik bisnis besar pertambangan dan industrialis media yang sekaligus pejabat dan pemilik partai politik.

Kedua, elite bisnis yang menguasai ekonomi saja dan tidak menguasai kelembagaan politik secara langsung atau tidak memiliki organisasi politik seperti partai, tapi mereka memiliki kekuatan membentuk “agenda setting” dan kebijakan. Dalam perkembangannya, elite kelompok ini terbentuk oleh kekayaan dan relasi mereka dengan penguasa politik yang dengan mudah bertransformasi menjadi oligark. Para pemilik perkebunan besar, kilang, dan pabrik rokok serta bankir yang tidak memiliki partai adalah elite kekuasaan dalam golongan ini.

Elite ketiga adalah orang-orang yang membangun kekuasaan melalui penggunaan dan kepemilikan organisasi politik, terutama partai politik. Pada awalnya mereka hanya memiliki kekuasaan melalui partai politik. Kekuasaannya lebih banyak atau setidaknya diawali dari basis posisi politiknya dalam negara dan pembuatan kebijakan. Dari situ mereka menggunakan akses ke sumber daya negara guna memperbesar kekuatan politik dan ekonominya sendiri. Dalam perkembangannya, elite politik bisa naik kelas menjadi oligark baru.

Partai politik dan porsi kekuasaan dalam pemerintahan merupakan mesin reproduksi elite yang sangat penting. Keduanya merupakan sarana yang menentukan hadir atau terlemparnya seorang oligark. Seorang kapitalis kaya yang memiliki sebuah partai politik dengan mudah menjadi oligark baru apabila ia berhasil memenangi kekuasaan melalui partainya. Sebaliknya, seorang oligark lama yang kehilangan kekuasaan di partai politik bisa dengan segera terlempar dari lingkaran elite kekuasaan. Ia tidak menjadi miskin, tapi aksesnya terhadap politik menjadi sangat terbatas dan konsesi serta privilese lamanya rontok.

Elite keempat adalah elite birokrasi yang memiliki kekuasaan politik karena jabatan publik mereka dalam pembuatan kebijakan. Di masa Orde Baru, elite jenis ini sering disebut sebagai “politiko-birokrat”. Mereka bisa muncul sebagai salah satu elite kekuasaan sebagai hasil dari privilese ekonomi dan bisnis yang diperoleh melalui jabatan birokrasi, termasuk dari pergaulan mereka dengan elite kekuasaan lain. Dalam perkembangannya, kelompok ini membangun kekuasaan politik dan bisnis sekalipun tidak pernah bisa sebesar elite-elite di atasnya, sebagaimana era Orde Baru.

Dalam momen tertentu, negara tunduk di bawah kepentingan elite ini. Kerja sama antara oligark, elite ekonomi, elite politik, dan elite birokrasi dalam menyusun agenda kebijakan negara demi kepentingan mereka bisa dilihat dari pelbagai kebijakan akhir-akhir ini. Misalnya dalam pembuatan Undang-Undang Mineral dan Batubara serta Undang-Undang Cipta Kerja.

Kekuasaan elite mereka terjadi melalui organisasi politik dan bisnis. Oligark menggunakan bisnis ataupun organisasi politik untuk mereproduksi kekuasaan. Bagi mereka, terus melekat ke dalam rezim kekuasaan di tiap periode adalah kemestian. Reproduksi elite ekonomi terjadi dengan menurunkan bisnis ke tangan keluarga dan pengaruh dalam pembuatan keputusan politik agar tetap menguntungkan atau setidaknya tidak merugikan bisnis mereka.

Elite politik selalu memerlukan organisasi-organisasi politik sebagai syarat meningkatkan posisi guna mengakses oligark dan kelas bisnis yang lebih kuat serta sumber daya negara yang lebih luas. Elite birokrasi yang ingin meningkatkan kekuasaannya akan mencari jalan dengan mendekati elite politik, elite ekonomi, dan oligark.

Tokoh politik seperti Joko Widodo, yang semula istimewa karena bukan berasal dari lingkaran elite kekuasaan lama di Indonesia, dalam perjalanannya mengakomodasi kepentingan oligark dan elite bisnis guna memuluskan kebijakan ataupun mencari posisi tawar guna mengkompensasi kelemahannya secara politik. Ia tidak memiliki partai politik, sehingga posisinya rawan menjelang akhir kekuasaan. Menjadi “kingmaker” dan secepatnya mengkonsolidasikan dinasti politik merupakan strategi bertahannya yang masuk akal.

Karena kelemahan-kelemahan historis strukturalnya, demokrasi Indonesia telah mengalirkan kembali elite-elite lama menjadi bagian dari elite-elite baru yang terus berkuasa, muncul bersama dengan elite-elite kekuasaan baru. Statistik ekonomi pembangunanisme pemerintah menyebut mereka sebagai agregat “pertumbuhan ekonomi” negara.

Di masa otoritarianisme Orde Baru, mereka tersimpul di bawah rezim Soeharto. Di masa kini mereka tersebar, membentuk simpul-simpul mereka sendiri tapi bersatu demi kepentingan-kepentingan mereka. Masa depan demokrasi Indonesia akan sangat bergantung pada kekuatan dari bawah yang mampu menggeser struktur elite kekuasaan yang kini ada.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Robertus Robet

Robertus Robet

Sosiolog Universitas Negeri Jakarta

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus