Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah cawe-cawe mendorong Sritex tetap beroperasi meski sudah dinyatakan pailit.
Petinggi polisi ditengarai menekan kurator dan menakut-nakuti kreditor Sritex dengan perkara hukum.
Pemerintah cukup menjadi fasilitator bila ada investor yang berminat mengakuisisi Sritex.
TERKATUNG-KATUNGNYA proses eksekusi putusan pailit PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex merupakan buah cawe-cawe pemerintah. Skenario penyelamatan perusahaan tekstil terintegrasi itu dengan penyuntikan modal baru (bailout) berpotensi merugikan keuangan negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sritex bersama sejumlah anak usahanya dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024. Putusan ini berawal dari gugatan PT Indo Bharat Rayon selaku pemasok bahan baku perusahaan yang memiliki 50 ribu pekerja tersebut. Per akhir Juni 2024, Sritex berutang sekitar Rp 26 triliun dan hanya memiliki aset Rp 10 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semestinya, dalam waktu lima bulan setelah terbitnya putusan pengadilan, eksekusi pailit sudah tuntas. Namun, kenyataannya, tim kurator baru menangani perkara kepailitan Sritex pada bulan ini. Penyebabnya, manajemen perseroan enggan menyerahkan dokumen untuk merampungkan eksekusi pemailitan.
Kelambatan proses ini tak lepas dari dugaan intervensi Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Brigadir Jenderal Helfi Assegaf yang menekan kurator agar mengizinkan Sritex tetap beroperasi meski sudah dinyatakan pailit. Polisi juga ditengarai menakut-nakuti sejumlah bank kreditor Sritex dengan perkara hukum.
Sejak awal pemerintah memang memberi privilese kepada Sritex. Salah satunya lewat pernyataan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer yang memastikan tidak akan ada pemutusan hubungan kerja bagi karyawan Sritex kendati sudah pailit. Belakangan, muncul pula wacana pemerintah mendorong penyuntikan modal baru dari badan usaha milik negara atau perusahaan swasta.
Melihat pelbagai fasilitas tak wajar ini, menyeruak kecurigaan semua itu tersebab kedekatan Iwan Setiawan Lukminto, pemilik Sritex, dengan mantan presiden Joko Widodo. Sritex adalah pemasok tas “Bantuan Presiden” untuk program bantuan sosial di masa kampanye pemilihan kepala daerah Surakarta, Jawa Tengah, pada Oktober 2020. Saat itu Gibran Rakabuming Raka, anak Jokowi, menjadi salah satu kandidat.
Pemerintah semestinya lebih realistis dalam menyelesaikan persoalan yang membelit Sritex. Opsi menggunakan uang negara harus dibuang jauh-jauh karena Sritex yang pernah puluhan tahun mengalami masa keemasan tumbang lantaran tata kelola perusahaan yang kurang baik.
Indikasi centang-perenang tata kelola perusahaan terlihat dari temuan tim kurator yang mencatat terdapat 1.654 kreditor dengan nilai tagihan sebesar Rp 35,72 triliun yang masuk daftar piutang tetap. Dari jumlah itu, kurator menengarai ada tagihan 11 perusahaan yang terafiliasi dengan Direktur Utama Sritex Iwan Kurniawan Lukminto sebesar Rp 1,2 triliun.
Alasan lain, pengoperasian pabrik tekstil dan garmen sebesar Sritex tidaklah sederhana. Diperlukan keterampilan khusus, kemampuan mengelola, dan pengalaman mendalam. Tidak bisa hanya dengan pertimbangan kedekatan lalu BUMN atau perusahaan swasta diminta menanamkan modal. Jika dilakukan, langkah itu sama saja dengan mengucurkan duit ke lubang tanpa dasar.
Pemerintah cukup menjadi fasilitator yang baik jika ada investor baru yang berminat mengakuisisi Sritex. Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Sosial perlu menyiapkan program guna mengatasi dampak buruk terhadap pekerja jika perusahaan tersebut akhirnya ditutup. ●