SEBUAH mitos yang berkembang di mana-mana menyatakan, bahwa
diperlukan waktu sangat panjang untuk memperkenalkan kesadaran
mengatur diri sendiri di kalangan warga masyarakat terbawah di
negeri yang sedang berkembang.
Memang, mitos itu pernah tercermin sepenuhnya dalam cara warga
kota Baghdad untuk menggunakan alat-alat pengangkutan umum:
berjubel, sebagian tidak membayar dan naik turun seenaknya saja.
Tapi bagaimana sekarang, setelah dalam waktu cuma 7 tahun? Bus
kota sudah tidak memerlukan kondektur lagi, para penumpang
dengan teratur naik melalui pintu untuk masuk, mencatatkan
karcis di mesin pencatat waktu, dan nanti turun dari pintu untuk
keluar di halte yang dikehendaki. Tanpa ada yang mengatur, semua
berjalan serba lancar, dan tidak berdesak-desakan.
Bagaimana disiplin sosial seperti itu dapat dikembangkan dalam
jarak waktu hanya beberapa tahun saja? Dengan social engineering
yang imajinatif, yaitu menggunakan kontrol sosial yang inherent
ada dalam tiap kelompok manusia. Kalau ada yang nyelonong masuk
dari pintu yang salah, atau ada yang duduk langsung tanpa
mencatatkan karcis, sang sopir diharuskan oleh peraturan
perusahaan menghentikan kendaraannya. Dengan "mogoknya" sang
sopir, penumpang lain akan memaksa orang yang melanggar
peraturan itu untuk mematuhinya, karena semua tokh butuh sampai
ke tempat tujuan dengan cepat. Dengan demikian pecahlah mitos
tentang "orang kampungan tidak mampu mengatur diri sendiri," dan
tentang perlunya "orang kuat" untuk mengatur mereka melalui
stabilisasi keadaan.
Yang digambarkan di atas adalah sebuah contoh kecil belaka dari
berlangsungnya sebuah proses berskala besar di Irak dewasa ini.
Sementara itu banyak mitos lain yang lebih besar telah dapat
dipatahkan di sana.
Yang terbesar mungkin adalah mitos tidak berdayanya kelompok
"teknokrat" untuk "memegang setir" dalam suatu koalisi
pemerintahan dengan pihak militer di negeri-negeri berkembang.
Lihat saja di Mesir. Hingga hari ini pihak militerlah yang
menjadi penentu, seperti terbukti dengan tidak efektifnya
penolakan "pihak teknis" dari golongan sipil atas prakarsa
perdamaian Sadat setelah pertemuan Camp David. Suriah juga
demikian, Hafez Asad adalah tokoh militer yang "men-sipilkan-
diri" dengan tunjangan garnisun ibukota yang dipimpin oleh
adiknya sebagai komandan, jenderal Rifaat Asad. Di Pakistan,
pihak teknokrasi sekarang harus hidup dari belas kasihan
penguasa militer, begitu pula di Muangthai. Perkembangan di
Amerika Latin dan Afrika umumnya juga memperkuat kecenderungan
semakin melemahnya kekuatan pihak teknokrat dalam koalisi
pemerintahan yang mereka buat dengan pihak militer.
Di Irak, mitos di atas ternyata tidak sepenuhnya terbukti. Pada
waktu akan melakukan gerakan gabungan untuk menggulingkan
pemerintahan Abdel Rahman Aref dua belas tahun yang lalu, pihak
"kelompok sipil" yang diwakili pimpinan partai Ba'ath
(Kebangunan) berhasil memaksakan pembagian kekuasaan yang sama
dengan pihak militer. Pembagian kekuasaan itu dicerminkan oleh
terbentuknya Dewan Pimpinan Revolusi sebagai badan tertinggi
pemerintahan. Kendali dewan tersebut ternyata dipegang oleh
wakil ketuanya, Saddam Hussein, yang sekarang menjadi orang kuat
partai Ba'ath dan sekaligus orang kuatnya Irak.
Dengan pembagian kekuasaan itu, pihak "kelompok sipil teknis"
itu lalu menjadi cukup independen dari "gangguan" untuk
berorientasi elitis dalam mengarahkan strategi pembangunan Irak,
orientasi mana telah menjadi ciri khas kaum militer di mana-mana
jika turut memegang kendali pemerintahan.
Independensi di Irak itu akhirnya menghasilkan orientasi populis
dalam perencanaan pembangunannya. Pendidikan, jaminan sosial dan
pelayanan kesehatan yang bebas dari biaya, penyediaan kebutuhan
pokok di bidang pangan dengan harga tersubsidi yang sangat
rendah, pematahan kekuatan monopoli ekonomi dalam negeri yang
dibarengi pemindahan fungsi perdagangan ke sektor koperasi, dan
penyediaan infra-struktur yang ditekankan pada kebutuhan rakyat
kecil (terutama di bidang pengangkutan, perumahan dan
elektrifikasi), kesemuanya merupakan bukti orientasi populis
itu.
Tidak heranlah jika dalam waktu hanya beberapa tahun saja telah
terjadi transformasi total yang cukup mengagumkan dalam
kehidupan bangsa Irak. Apa yang tadinya menjadi rangkaian padang
pasir kosong antara kota-kota di Irak, kini telah berhasil
"disulap" menjadi deretan kebun jeruk dan tebu milik koperasi
sepanjang ratusan kilometer, diselingi oleh kompleks-kompleks
perumahan murah dengan fasilitas air dan listerik hingga ke
pelosok-pelosok yang terpencil sekalipun. Pantai danau
Habbaniyah, yang terletak 60 km dari Baghdad, dan tepian sungai
di Nineveh (dahulu bernama Mosul) kini telah menjadi tempat
rekreasi yang murah dengan aneka ragam fasilitas olahraga dan
hiburan yang disediakan pemerintah. Padahal lima tahun yang lalu
kedua tempat itu masih menjadi tempat rekreasi kaum kaya saja,
karena mahalnya.
Derasnya petrodollar masuk ke Irak, dengan ekspor minyak buminya
yang cukup besar jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya,
turut membantu terwujudnya orientasi kehidupan populis di sana
dengan lancar, tanpa terlalu banyak tersendat-sendat. Subsidi
sangat besar kepada sektor pengadaan pangan hanya dapat
dilakukan, kalau ada persediaan dana demikian besar, demikian
pula biaya perataan pendidikan, pelayanan kesehatan dan
pemberian jaminan sosial yang cukup.
Tetapi penggunaan dana-dana yang ada untuk penyediaan kebutuhan
dasar seperti itu tidak akan berlangsung kalau tidak ada
orientasi populis yang cukup kuat di kalangan pemerintahan.
Orientasi itu tidak akan tumbuh, kalau keseimbangan tepat dalam
pembagian kekuasaan antara komponen-komponen pemerintahan tidak
tercapai. Berapa banyak negara berkembang yang
menghambur-hamburkan dana massif yang mereka peroleh hanya untuk
hal-hal yang tidak diperlukan bagi peningkatan taraf hidup
rakyat kecil?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini