6 orang penduduk Kampung Melayu, lewat tengah bulan lalu
mengundang sejumlah wartawan dan mengadakan semacam konperensi
pers. Hebatnya: Pembicara utamanya pedagang rokok dan sate
Bijuri dan Latief. Pokok pembicaraan, soal perlakuan beberapa
oknum polisi setempat, yang mereka nilai sangat kurang ajar.
Hasilnya, kontan pers setempat selama beberapa hari menyuguhkan
berita tentang hal itu. Ketua PWI Banjarmasin sendiri, Anang
Adenansi, ikut mengipas dari belakang "Serang terus polisi
sampai Kadapol menindak bawahannya! "
Bijuri dan Latief, mewakili 4 orang rekannya, menceritakan
pengalamannya satu malam di kantor polisi. Mulanya soal sepele
saja. Adalah Arifin, putra Peltu Pol. Bachri, malam Jumat 22
September lalu, mengendarai sepeda motornya di jalanan Kampung
Melayu. Terjadi kecelakaan kecil. Hata, seorang yang baru 8
bulan keluar dari bui setelah mendekam selama 6 tahun karena
suatu peristiwa pembunuhan, terlanggar sepeda motor Arifin. Hata
langsung pingsan. Sepeda motor Arifin, barangkali saking
kencangnya, terus menabrak kios rokok dan sate milik Bijuri dan
Latief. Berantakan semuanya.
Hampir saja Arifin konyol. Ketika orang hendak mengeroyok
ramai-ramai ia sempat minta ampun: "Saya anak polisi, ampun!"
Dan berjanji akan membereskan semua kerugian yang timbul dalam
kecelakaan itu. Orang kampung melepasnya tanpa cacat apapun.
Bachri luka
Arifin memenuhi janjinya. Ia masuk kampung bersama ayahnya yang
polisi itu. Namun Hata menyambutnya dengan sebilah pisau. Arifin
mengelak. Dan ayahnya, Peltu Bachri, kemudian yang menyambutnya.
Terjadi perkelahian sebentar. Penduduk kampung berhasil melerai
mereka. Tapi ayah Arifin sudah terlanjur mendapat luka tersayat
pisau di kepala dan bagian belakangnya.
Dari Kampung Melayu, kedua anak dan ayah ini tidak langsung
pulang ke rumah, tapi belok ke kantor polisi Koresta 1301
Banjarmasin. Melihat keadaan salah seorang anggotanya yang luka
itu, beberapa polisi di pos segera bergerak. Dipimpin Peltu Pol.
Siregar beberapa polisi yang piket malam itu segera ke Kampung
Melayu. Disamping mencomot Hata, polisi membawa juga Bijuri,
Latief, Sofyan, Rizlan, Fachrudin dan Kapsul Anwar. Kecuali
Hata, yang banyak disaksikan orang mengayunkan pisaunya
menyerang Arifin dan ayahnya tidak begitu jelas apa maksud
polisi membawa ke orang lainnya.
Padahal, menurut keterangan Bijuri dan kawan-kawan, "kami sama
sekali tidak turut membantu Hata maupun mengeroyok Arifin dan
ayahnya". Tapi katanya, di kantor polisi mereka itu dipaksa
agar mengakui hal itu. Untuk memperoleh pengakuan dari ke-6
pesakitannya itu polisi menggunakan kekerasan.
Semuanya dipermak. Yang paling berat diderita Bijuri dan Latief.
Kedua orang ini, selain dihajar, juga dipaksa merangkak dan
merayap mengelilingi sel tahanan dan menjadi tontonan pesakitan
lainnya. Setelah lemas merayap keduanya digiring ke kakus. Di
sana oknum polisi kembali memaksakan pengakuan. Tapi kedua
pedagang sate dan rokok itu tetap saja membantah. Berani sumpah
segala. Polisi tak sabar lagi. Keduanya kemudian disuruh
mengaduk kotoran manusia yang tertimbun di kakus dengan kedua
belah tangannya. Lalu tangan yang sudah berlepotan tahi itu
diharuskan pula untuk diusapkan ke wajah masing-masing sampai
rata.
Karena penderitaan, lebih-lebih penghinaan, hampir tak
tertahankan lagi, Bijuri dan Latief minta agar polisi mengakhiri
kekejamannya. "Tembak saja kami!" teriak mereka. Tapi polisi tak
peduli. Keesokan harinya, pagi-pagi, barulah polisi mengizinkan
ke tahanannya pulang ke rumah dengan masing-masing berbekal
memar biru di badannya. Latief, misalnya jatuh pingsan begitu
menginjak pintu rumahnya.
30 September lalu, yaitu setelah dua minggu koran Banjarmasin
'menyatakan perang' kepada polisi, Kadapol Brigjen Pol.
Indrayoto -- yang baru kembali dari perjalanannya -- bereaksi.
"Saya mendapat malu besar atas peristiwa itu," katanya. Beberapa
orang anak buahnya yang melakukan penganiayaan itu dan menurut
Kadapol belum perlu disebutkan nama-namanya, "segera akan saya
serahkan ke Mahkamah Militer untuk diadili!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini