Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Konperensi Pers Pedagang Rokok ...

Kisah pedagang rokok dan sate yang dianiaya oleh oknum-oknum polisi koresta 1301 banjarmasin. mereka dipaksa mengakui ikut mengeroyok anggota polisi dan anaknya. (krim)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

6 orang penduduk Kampung Melayu, lewat tengah bulan lalu mengundang sejumlah wartawan dan mengadakan semacam konperensi pers. Hebatnya: Pembicara utamanya pedagang rokok dan sate Bijuri dan Latief. Pokok pembicaraan, soal perlakuan beberapa oknum polisi setempat, yang mereka nilai sangat kurang ajar. Hasilnya, kontan pers setempat selama beberapa hari menyuguhkan berita tentang hal itu. Ketua PWI Banjarmasin sendiri, Anang Adenansi, ikut mengipas dari belakang "Serang terus polisi sampai Kadapol menindak bawahannya! " Bijuri dan Latief, mewakili 4 orang rekannya, menceritakan pengalamannya satu malam di kantor polisi. Mulanya soal sepele saja. Adalah Arifin, putra Peltu Pol. Bachri, malam Jumat 22 September lalu, mengendarai sepeda motornya di jalanan Kampung Melayu. Terjadi kecelakaan kecil. Hata, seorang yang baru 8 bulan keluar dari bui setelah mendekam selama 6 tahun karena suatu peristiwa pembunuhan, terlanggar sepeda motor Arifin. Hata langsung pingsan. Sepeda motor Arifin, barangkali saking kencangnya, terus menabrak kios rokok dan sate milik Bijuri dan Latief. Berantakan semuanya. Hampir saja Arifin konyol. Ketika orang hendak mengeroyok ramai-ramai ia sempat minta ampun: "Saya anak polisi, ampun!" Dan berjanji akan membereskan semua kerugian yang timbul dalam kecelakaan itu. Orang kampung melepasnya tanpa cacat apapun. Bachri luka Arifin memenuhi janjinya. Ia masuk kampung bersama ayahnya yang polisi itu. Namun Hata menyambutnya dengan sebilah pisau. Arifin mengelak. Dan ayahnya, Peltu Bachri, kemudian yang menyambutnya. Terjadi perkelahian sebentar. Penduduk kampung berhasil melerai mereka. Tapi ayah Arifin sudah terlanjur mendapat luka tersayat pisau di kepala dan bagian belakangnya. Dari Kampung Melayu, kedua anak dan ayah ini tidak langsung pulang ke rumah, tapi belok ke kantor polisi Koresta 1301 Banjarmasin. Melihat keadaan salah seorang anggotanya yang luka itu, beberapa polisi di pos segera bergerak. Dipimpin Peltu Pol. Siregar beberapa polisi yang piket malam itu segera ke Kampung Melayu. Disamping mencomot Hata, polisi membawa juga Bijuri, Latief, Sofyan, Rizlan, Fachrudin dan Kapsul Anwar. Kecuali Hata, yang banyak disaksikan orang mengayunkan pisaunya menyerang Arifin dan ayahnya tidak begitu jelas apa maksud polisi membawa ke orang lainnya. Padahal, menurut keterangan Bijuri dan kawan-kawan, "kami sama sekali tidak turut membantu Hata maupun mengeroyok Arifin dan ayahnya". Tapi katanya, di kantor polisi mereka itu dipaksa agar mengakui hal itu. Untuk memperoleh pengakuan dari ke-6 pesakitannya itu polisi menggunakan kekerasan. Semuanya dipermak. Yang paling berat diderita Bijuri dan Latief. Kedua orang ini, selain dihajar, juga dipaksa merangkak dan merayap mengelilingi sel tahanan dan menjadi tontonan pesakitan lainnya. Setelah lemas merayap keduanya digiring ke kakus. Di sana oknum polisi kembali memaksakan pengakuan. Tapi kedua pedagang sate dan rokok itu tetap saja membantah. Berani sumpah segala. Polisi tak sabar lagi. Keduanya kemudian disuruh mengaduk kotoran manusia yang tertimbun di kakus dengan kedua belah tangannya. Lalu tangan yang sudah berlepotan tahi itu diharuskan pula untuk diusapkan ke wajah masing-masing sampai rata. Karena penderitaan, lebih-lebih penghinaan, hampir tak tertahankan lagi, Bijuri dan Latief minta agar polisi mengakhiri kekejamannya. "Tembak saja kami!" teriak mereka. Tapi polisi tak peduli. Keesokan harinya, pagi-pagi, barulah polisi mengizinkan ke tahanannya pulang ke rumah dengan masing-masing berbekal memar biru di badannya. Latief, misalnya jatuh pingsan begitu menginjak pintu rumahnya. 30 September lalu, yaitu setelah dua minggu koran Banjarmasin 'menyatakan perang' kepada polisi, Kadapol Brigjen Pol. Indrayoto -- yang baru kembali dari perjalanannya -- bereaksi. "Saya mendapat malu besar atas peristiwa itu," katanya. Beberapa orang anak buahnya yang melakukan penganiayaan itu dan menurut Kadapol belum perlu disebutkan nama-namanya, "segera akan saya serahkan ke Mahkamah Militer untuk diadili!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus