Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika saya menjadi wartawan di sebuah surat kabar harian lebih dari 10 tahun silam, pada dinding di bela-kang meja petinggi redaksi terpasang sebuah papan pu-tih dengan ukuran cukup besar. Papan itu berisi daf-tar ”imbauan” (biasanya disampaikan melalui telepon) dari berbagai pihak—bisa dari petinggi Departemen Penerang-an, atau dari Markas Besar ABRI, atau dari BAIS, dan ins-tansi pengendali lainnya—meminta agar peristiwa tertentu tidak diberitakan oleh media tempat saya bekerja.
Biasanya berita-berita yang terlarang itu adalah yang ber-kaitan dengan masalah SARA (suku, agama, ras, dan antargo-longan), bidang pertahanan negara, serta masalah yang menyangkut Presiden Soeharto dan keluarga/kroninya. Itulah era ketika informasi disumbat, atau setidaknya diseleksi, sehingga ruang gerak media menjadi sangat terbatas. Hampir mustahil untuk membayangkan bahwa media massa pada masa itu bisa menghasilkan karya besar di bidang jurnalistik, yang sifatnya liputan investigatif; tentu saja ada sejumlah kecil anomali alias pengecualian di sana-sini.
Kini, setelah lebih dari tujuh tahun katup informasi itu di-buka total sejak mundurnya Soeharto sebagai penguasa Orde Baru, dunia jurnalistik Indonesia seperti masih ber-ada di era kegelapan yang berlangsung tiga dasawarsa itu. Me-dia massa memang banjir jumlahnya, namun tetap sulit khalayak menjumpai karya investigatif yang membawa per-ubahan besar terhadap perikehidupan bernegara.
Begitu banyak bahan mentah yang tersedia di depan mata yang bisa dijadikan obyek liputan investigatif. Mulailah dari obyek yang sederhana dan kelihatan remeh-temeh namun tetap menyimpan unsur kejahatan publik (yang merupakan salah satu unsur terpenting untuk menggolongkan apakah sebuah liputan layak disebut investigatif atau sekadar liput-an mendalam).
Tampaknya memang ada yang janggal dengan media mas-sa Indonesia di era reformasi ini. Ambillah contoh lapor-an media mengenai sejumlah persoalan hangat di hari-hari belakangan ini, yang sebetulnya sangat berpeluang dikembang-kan menjadi liputan investigatif: mulai dari penyelundupan BBM sampai percaloan di DPR. Mulai dari kabar burung tentang ijazah palsu Wakil Gubernur Sumatera Utara R-udolf Pardede, yang kini dipersoalkan oleh DPRD Sumatera Utara, sampai kisruh pilkada Depok (termasuk tuduhan bah-wa hakim Pengadilan Tinggi Jawa Barat me-lakukan pertemuan gelap yang diduga untuk mengatur putusan).
Mulai dari korupsi perbukuan yang menyeret mantan Dir-jen Dikdasmen menjadi tersangka sampai ke rekening para perwira Polri. Adalah sebuah kenyataan yang memprihatin-kan sekaligus menggusarkan melihat bahwa, dalam laporan media, semua kasus ini hanya berhenti pada titik yang masih jauh dari perhentian akhir; semuanya masih terasa mengam-bang, beberapa bahkan sumir. Bagai tak terlihat upaya media untuk dengan sungguh-sungguh menggali lebih jauh fak-ta-fakta permukaan ini sehingga benar-benar bertemu dengan intisari permasalahan.
Sudah disebut-sebut bahwa terjadi penyelundupan BBM, namun tak pernah terungkap siapa otak utamanya. Sudah disinggung-singgung sejumlah nama yang terlibat dalam prak-tek percaloan di DPR, namun media sudah merasa cukup puas jika bisa memberitakan satu narasumber menyebut nama yang disangka terlibat, lalu nama bersangkutan memberikan bantahannya. Sudah, titik; kata orang Inggris, ”period!” alias selesai tuntas. Tidak ada niat, apalagi upaya, media untuk membuktikan dengan gamblang dan terang-benderang bahwa praktek percaloan itu memang nyata terjadi, bahwa nama-nama yang disebut-sebut terlibat itu memang telah berlumuran lumpur busuk korupsi.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Beberapa faktor bisa dijejerkan sebagai penyebabnya. Pertama, agaknya memang tidak ada visi dari pemilik atau pengelola media untuk menja-dikan liputan investigatif sebagai sesuatu yang pen-ting dan harus ada. Mereka tidak mau menanggung berba-gai risiko jika terjun total dalam liputan investigatif, mulai dari alokasi sumber daya yang tidak memadai, konsekuen-si finansial yang mungkin ditimbulkan karena liputan jenis itu lazimnya berbiaya mahal, belum lagi implikasi hukum apabila pihak-pihak yang tersangkut dalam liputan itu mengajukan gugatan nantinya.
Risiko semacam ini dianggap tak sebanding dengan apa yang didapat dari hasil liputan tersebut. Belum lagi jika subyek yang hendak diliput itu ternyata memiliki hubungan/keterkaitan dengan si pemilik media, atau salah satu petinggi di media itu. Mereka biasanya menganut prinsip: hubung-an pertemanan harus dijaga, apalagi jika hubungan itu ter-kait dengan bisnis, misalnya si subyek adalah pemasang iklan yang besar di media bersangkutan.
Kedua, ada juga kecenderungan pemilik media yang melihat liputan investigatif hanya sebagai obat pemuas, hanya berdampak pada prestise saja. Mereka lupa bahwa liputan investigatif adalah jiwa sesungguhnya dari jurnalisme karena liputan jenis ini selalu berhubungan dengan hajat hidup dan kemaslahatan hampir seluruh umat (kecuali, tentu saja, para pelaku kejahatan publik yang ditelanjangi oleh liputan tersebut).
Penyebab lainnya terletak pada para wartawan media. Ada dua penyakit utama yang menyebabkan terhentinya perkembangan jurnalisme investigatif, yaitu kemalasan dan rasa cepat berpuas diri dari para wartawan. Celakanya, penyakit ini kelihatan sudah berjangkit secara meluas dalam dunia jurnalisme Indonesia. Semua perkembangan terakhir ini adalah bukti nyatanya, di mana ada begitu banyak persoalan yang mengandung unsur kejahatan publik, namun seakan berlalu begitu saja tanpa dikejar lebih dalam oleh media massa.
Rasa malas dan puas diri ini juga merambah ke media-me-dia besar yang semestinya memiliki kesempatan dan kemampuan untuk tidak terjebak pada perangkap yang berbahaya ini. Namun, celakanya, ada kemungkinan di benak para pemilik dan pengelola media-media tersebut tebersit pikiran, ”Ah, dengan produk yang seperti ini saja media kita tetap dicari dan dibaca orang. Buat apa menyusahkan diri sendiri dengan melakukan liputan investigatif?”
Tentu saja ini sebuah pernyataan yang bersifat menggene-ralisasi, karena tetap ada media yang mencoba memain-kan peran sebagai watch dog yang tak bosan mengendus dan menggonggongi kejahatan publik. Namun, jumlahnya memang segelintir dan tidak berimbang dengan jumlah media massa yang ada serta jumlah kejahatan publik yang ber-langsung dengan pelakunya tetap tertutup rapat atau ber-jalan lenggang-ganggung menikmati ”impunity” tak langsung ini.
Beberapa media mencoba melakukan upaya-upaya yang agak mengarah ke liputan investigatif ini, namun masih j-auh dari standar yang lazim berlaku dalam praktek liput-an investigatif, karena tetap tidak membongkar kejahatannya hingga ke akar, jangankan pula menunjuk hidung para pe-la-kunya. Beberapa media bahkan membuat laporan yang di-niatkan seperti liputan investigatif, namun sesungguhnya hanya edisi panjang dari hard news yang sudah disaji-kan sekian hari sebelumnya. Artinya, pendalamannya masih ”nanggung”, kadang-kadang bahkan tanpa data-data baru.
Apa yang kini berlaku di dunia jurnalistik Indonesia je--las-jelas sebuah ironi yang memprihatinkan. Justru di ma-sa lalu ketika situasi masih tertutup, di mana informasi di-ken-dalikan oleh penguasa Orde Baru lewat berbagai cara baik canggih maupun vulgar, masih bisa muncul anomali. Mochtar Lubis adalah contoh yang sering dikemukakan; kita semua tahu betapa dia sampai dipenjara karena kegigih-an dan keberaniannya mengungkap korupsi di Pertamina.
Sementara dulu segala ketertutupan dan kekangan yang diberlakukan oleh Orde Baru mungkin kerap dijadikan kambing hitam sebagai penghambat lahirnya karya-karya bermutu di dunia jurnalisme Indonesia, sekarang tidak ada lagi yang bisa dipersalahkan oleh media. Media harus menuding dan menggugat dirinya sendiri karena tak memiliki semangat dan kemampuan untuk menjadikan profesi-nya sebagai profesi yang menggentarkan siapa pun yang berniat melakukan tindak kejahatan publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo