Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nyonya Mince, panggil saja begitu, bergegas masuk ke r-uang endoskopi, di Sub-Bagian Gastroenterologi, Bagian Peny-akit Dalam FKUI RSCM, Jaka-rta. Ia ingin memeriksakan ulu hatinya yang sering terasa nyeri, terutama pada malam hari. Jika perutnya diisi, rasa nyeri hilang sebentar, tapi kemudian timbul lagi. Selain disertai mual dan kembung, rasa sakit terkadang mendera hingga bagian belakang tubuhnya. Sakit yang luar biasa!
Di ruangan, Ari Fahrial Syam, se-orang ahli gastroenterologi, telah siap dengan peralatan di tangan. Proses endoskopi—pemeriksaan langsung dengan memasukkan selang untuk meneropong rongga perut—pun dilakukan. Astaga, dokter menemukan sebuah luka (tukak) di bagian usus dua belas jari wanita 52 tahun itu. Untuk mencari penyebabnya, biopsi alias pengambilan contoh jaring-an diambil untuk diperiksa. Hasilnya, ”Dia positif terpapar Helicobacter pylori (H. pylori),” kata Ari.
Bagi Mince, temuan itu mengejut-kan. Sebab, dokter umum yang memerik-sa dirinya hanya mendiagnosis penya-kit maag. Setelah mengkonsumsi obat-obatan, gejala penyakit menghilang se-lama 1-2 minggu. Cuma, sebulan kemudian, gejala itu kambuh lagi, begitu berulang-ulang.
Setelah penyakit dan penyebab asli-nya ditemukan, Ari memberi Mince dua macam antibiotik dosis tinggi u-ntuk di-konsumsi satu minggu. Hasilnya, Mince pun takjub karena nyerinya sudah jauh berkurang. Kejutan berlanjut sebulan kemudian, saat Ari melakukan endoskopi ulang. ”Tukaknya sudah hilang,” kata Ari.
Mince mungkin tak menyadari, keberhasilan pengobatan tersebut be-rkat pe-nemuan dua peneliti Australia: Barry J. Marshall dan J. Robin Warren. Mereka--lah yang mengungkap adanya Helico-bacter pylori pada penderita tukak lambung dan usus dua belas jari. Sebelumnya, pengobatan tukak acap kali dilakukan dengan operasi pemotong-an bagian yang luka. Dalam sejumlah kasus, operasi itu malah mendatangkan kematian.
Marshall dan Warren menemukan bak-teri yang mengganggu organ sa-luran pencernaan itu pada 1982. Panjang bakteri pylori 2-3 mikron dengan lebar 0,5 mikron. Bentuknya seperti spiral berekor diselubungi lapisan mirip rambut atau flagela. Selain menyebabkan tukak pada lambung, makhluk renik ini juga menyebabkan tukak pada usus dua belas jari. Nah, sebagai penghargaan atas temuan itu, termasuk revolusi peng-obatan yang mengikutinya, keduanya mendapat hadiah Nobel 2005 di bidang kesehatan.
”Anggapan yang berkembang sebe-lumnya, tukak disebabkan oleh stres. Bahkan, sampai saat ini, kita masih bisa melihat di film-film Hollywood tentang orang yang menderita tukak akibat stres,” kata Marshall, dalam wawancara dengan Joanna Rose, penulis sains dari Nobel Foundation, dua pekan lalu. Ia sadar, butuh waktu lama untuk membuat orang paham tentang bakteri pylori sebagai penyebab tukak.
Tak mengherankan pula jika Majelis Nobel Institut Karolinska di Stockholm pun butuh waktu belasan tahun untuk mengakui kerja Marshall dan Warren. Padahal, penemuan itu sudah dipubli-ka-sikan lewat jurnal kesehatan bergengsi Lancet pada 1983. Begitu yakin kedua-nya tentang makna penting dari peneli-tiannya itu, sampai-sampai muncul harapan bakal menerima hadiah No-bel pada 1986. Tapi ternyata meleset. -”Harapan itu baru terwujud 19 tahun kemudian,” kata Marshall sembari tertawa. Meski begitu, keduanya tetap bersukacita atas pengakuan tersebut.
Untuk membuktikan hipotesis bakte-ri pylori di balik munculnya tukak, Marshall memang melakukan pengu-ji-an yang edan-edanan: ia minum larut-an yang mengandung bakteri tersebut. Tiga hari kemudian, ia pun jatuh sakit meski tak sampai menjadi tukak lambung. Ia baru sebatas gastritis alias pe-radangan jaringan lunak lambung. Untuk mengobatinya, ia lalu menenggak antibiotik. Dan, terbukti sembuh! Pendapat lama bahwa bakteri tak mungkin hidup di lambung yang sangat asam terpatahkan.
”Marshall memang orang jenius,” ujar Daldiyono Harjodisastro, guru b-esar pe-ngendali masalah bakteri pylori dari FKUI RSCM. Temuan itu menjadi sa-ngat penting bila dikaitkan dengan besarnya penduduk dunia yang terpapar bakteri pylori. Helicobacter Founda-tion yang didirikan Marshall melansir perkiraan bahwa separuh penduduk dunia terinfeksi bakteri ini. Prevalensinya pylori berkait dengan status sosial ekonomi dibanding ras. Mereka yang lebih rendah statusnya lebih besar kemungkinan terkena. Namun pria dan wanita sama peluangnya untuk terkena.
Di Australia, ada sekitar 40 persen warganya yang terinfeksi pylori. Sedang-kan di Indonesia, menurut Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI) dan Kelompok Studi Helicobacter Pylori Indonesia (KSHPI), angkanya diperkira-kan mencapai 20 persen. Jika populasi negeri ini mencapai 200 juta, sekitar 40 juta di antaranya terinfeksi bakteri ini.
Secara lebih terperinci, pada 2001 PGI dan KSHPI pernah melansir data menarik. Dari 7.092 pasien dengan sakit maag (dispepsia) dan dilakukan endoskopi, ditemukan kasus dispepsia fungsional (tak ditemukan kelainan struktur organ lambung) sebesar 86,41 persen, tukak lambung 7,49 persen, tukak dua belas jari 5,57 persen, dan kanker lambung 1 persen. Untuk keberadaan pylori positif, Ari dan kawan-kawan, seperti juga dilansir World Journal of Gastroenterology, Januari 2005, menyebut pada penderita tukak lambung ditemukan sebesar 70 persen, tukak usus dua belas jari sebesar 80 persen, dan pada pende-rita gastritik kronik aktif ditemukan 60 persen.
Meski jumlah penduduk Indonesia yang diduga terpapar pylori sangat besar, Daldiyono minta agar berbagai pihak tidak panik. Ia berpendapat, tidak semua bakteri menimbulkan penyakit, termasuk pylori. Bakteri akan menimbulkan penyakit jika lingkungan mendorongnya, misalnya faktor lingkungan yang jelek. Untuk menopang pendapat ini, saat ini penelitian intensif tengah dilakukan. Pendapat ini memang berbeda diametral dengan ilmuwan Barat, yang tegas menyatakan bahwa bakteri pylori sangat menular dan karenanya perlu dibasmi.
Penularannya bisa terjadi melalui lu-dah atau faeses (kotoran) yang m-asuk lewat mulut, misalnya lewat maka-n-an yang terkontaminasi kotoran. Jika da-lam satu keluarga ada yang terjangkit, terbuka kemungkinan anggota keluarga yang lain ikut tertular. Kemungkin-an penularan lewat faktor keturunan juga ada, meski persentase kejadiannya sa-ngat kecil.
Daldiyono bukan tanpa alasan berpendapat seperti itu. Sebab, jika pembasmian (eradikasi) massal harus dilakukan, diperlukan dana besar. Untuk pengobatan pylori dengan obat gene-rik, setidaknya dibutuhkan uang sekitar Rp 500 ribu. Jika ada 40 juta penduduk Indonesia yang harus diobati, butuh duit tak kurang dari Rp 20 triliun. Apa-kah pemerintah sanggup menyediakan da-na untuk eradikasi pylori sebesar itu? Rasanya sulit.
Lalu, kapan keberadaan bakteri pylori harus dibasmi? Kelompok Studi Helicobacter Pylori Indonesia, yang dike-tuai Profesor Aziz Rani dari FKUI RSCM, telah mengeluarkan konsensus. Ter-api eradikasi pylori pada tingkat sa-ngat dianjurkan, antara lain pada penderita tukak usus dua belas jari, gastritis kronik aktif, gastritis atrofik, atau memiliki riwayat kanker lambung di keluarga. Sementara itu, derajat dianjurkan eradikasi, antara lain, berlaku jika ada pasien yang berkeinginan diobati setelah men-dapat penjelasan yang memadai, dispepsia fungsional (tidak ditemukan kelainan perendoskopi, biokimiawi, atau labora-torium), atau pasien gastropati obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS). Dengan eradikasi selektif seperti ini, penghemat-an bisa dilakukan.
Sebelum eradikasi dilakukan, tentu kepastian penyakit bagi mereka yang mengalami gangguan saluran pencernaan mesti didapat terlebih dulu: apa-kah dispepsia, tukak lambung, atau tukak usus dua belas jari akibat bakteri pylori, dan sebagainya. Salah satu caranya, ya, lewat endoskopi, seperti ditempuh Mince. Namun, sekali tindakan endoskopi juga dibutuhkan uang lumayan besar, sekitar Rp 500 ribu. Kalau pemeriksaan dilakukan di rumah sakit swasta, butuh uang lebih banyak lagi. ”Biaya-nya bisa dua-tiga kali lipat di sini,” kata Daldiyono.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo