Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Engkau ganas.”
Saya sering ingat sebaris puisi Amir Hamzah yang memukau itu—yang ditujukan kepada Tuhan. ”Engkau cemburu,” katanya lagi, seakan-akan meng-ulang sabda Tuhan tentang diri-Nya sendiri dalam Perjanjian Lama.
Mudah terhinakah Ia? Mudah irikah Ia? Ataukah ada beberapa tuhan di langit yang (seperti politisi dalam pemilihan umum) bersaing memperebutkan pendukung?
Orang mungkin gentar bertanya demikian sekarang, terutama di Indonesia yang makin ingar oleh suara yang tak toleran. Tapi di koran saya baca cerita tentang Abdul Rahman, orang Afganistan, dan sajak Amir Hamzah itu terlintas lagi di kepala.
Enam belas tahun yang lalu, Abdul Rahman yang di-besarkan sebagai muslim berpindah agama. Ia jadi -Nasrani ketika umurnya 25. Mungkin ia tertarik kepada agama barunya sewaktu bekerja dengan satu organi-sasi Kristen internasional yang membantu para pengungsi Afgan di Peshawar, Pakistan. Setelah itu, beberapa tahun- lamanya ia meninggalkan negerinya yang rusuh dan mengembara di Eropa. Tahun ini kembali. Tapi ia ditangkap. Ia diancam hukuman mati.
”Meninggalkan Islam berarti menghina Tuhan,” kata Abdul Raoulf, seorang ulama terkemuka di Kabul. ”Orang ini harus mati.” Duduk di depan Masjid Herati di Kabul, ia berseru, ”Penggal kepalanya! Akan kami serukan kepada orang ramai agar mencincang dia sampai habis.”
Jangan salah sangka: itu memang aturan yang dulu konon dimaklumkan Taliban, tapi Abdul Raoulf bukanlah seorang penganut Taliban: tiga kali ia dipenjarakan penguasa Islam yang sering disebut ”garis keras” ini, sampai rezim mereka jatuh pada tahun 2001. Dan suara Raoulf bukan sendirian. Ia menggemakan lagi apa yang digariskan agama. Sayid Misshosein Nasri, seorang ulama Syiah dari Masjid Hossaaina di Kabul, juga mengatakan Abdul Rahman ”harus digantung”.
Dunia pun gempar. Makin banyak orang merasa ngeri melihat Islam. Menghantam dua menara tinggi di New York dan membinasakan 3.000 manusia, meledakkan bom di Bali dua kali dan membunuh lebih dari 200 orang yang tak bersalah, saling membantai di Irak dan ribuan mati dengan kepala copot, dan kini hendak mencincang seorang yang berbuat irtidâd, berpaling dari jalan Islam, ingin memeluk agama lain….
”Anda muslim?” tanya seorang Jepang kepada saya.
Saya mengangguk.
”Maaf, saya tak paham agama Tuan: marah, marah, marah; curiga, curiga, curiga....”
Saya diam. Saya tak mau mengaku bahwa saya juga tak paham. Saya diam juga karena masygul tak bisa lagi menya-lahkan terus-menerus orang lain yang mencemooh agama saya dan orang tua saya.
”Katanya, menurut Quran tak ada paksaan dalam ber-agama?” si Jepang bertanya lagi.
Saya mengangguk.
”Tapi kenapa orang Afganistan itu dipaksa tetap dalam Islam? Dan apa gunanya? Buat apa Islam punya seorang penganut yang terpaksa berpura-pura?”
Saya tak bisa menjawab. Ya, apa guna Abdul Rahman bagi Islam dan Islam bagi dia?
”Kalaupun saya jadi muslim,” kata si Jepang lagi, ”saya tak mau hidup di negeri yang serba Islam. Saya tak percaya hukum agama lebih adil….”
Begitu pentingkah agama bagi manusia? Dulu saya kira saya tahu, sekarang saya tak yakin lagi. Setelah berabad-abad pelbagai pemeluk saling mencemooh, kemudian sa-ling membantai, dunia tak juga lebih beres.
Lihat Abdul Rahman. Ia masuk Kristen namun tetap saja ia tak jadi orang baik bagi kedua anaknya. Selama delapan tahun ia tinggalkan Mariam dan Maria di rumah kakek-nenek mereka, yang berarti membebani hidup ke-dua orang tua yang miskin itu. Mariam, berumur 13, me-ngatakan tentang lelaki yang bertahun-tahun meninggalkan mereka itu: ”Ia penganggur, malas, kejam.”
Dan majalah Time menulis Abdul Rahman ditangkap polisi bukan karena dia Kristen, tapi karena kekerasan yang dilakukannya di tempat anak-anaknya tinggal….
Tapi orang-orang Kristen pasti bergembira menyambut pemeluk baru ini. Untuk apa dia? Mungkin agama-agama memang punya persamaan dengan kapitalisme: mengukuh-kan rasa iri dan waswas, lalu mengakumulasikan milik. Tentu, para rohaniawan dan ulama akan mengatakan mereka ingin membawa orang lain ke jalan yang benar, tapi di situlah soalnya: jalan yang benar itu seperti jalan dalam permainan monopoli.
Ada seorang Bali yang kemudian disebut Nico-demus. Ceritanya terdapat di buku terkenal Miguel Covarrubias, Island of Bali, yang terbit pada tahun 1937. Ia pelayan dan murid seorang misionaris Kristen di Bali. Ia dibaptis. Sebab itu ia dikucilkan dari banjarnya. Ia dianggap ”sudah mati”. Nicodemus guncang. Kian lama kian tertekan, ia akhirnya membunuh majikannya, lalu menyatakan bukan Kristen lagi, dan menyerahkan diri agar dibunuh menurut adat.
Nicodemus hancur, karena ”yang benar” hadir dan mengklaim sukmanya—hadir sebagai sesuatu yang mutlak- dan agresif. Menjelang akhir 1930-an misionaris dari Amerika berdatangan ke pulau Hindu itu dan seorang -Belanda bernama Dr. Kraemer tiba. Ia meneliti masyarakat Bali selama beberapa minggu, lalu menerbitkan buku de-ngan kesimpul-an: agama Bali cacat dan banyak penduduk yang ingin jadi Kristen.
Kesimpulan itu telah dibantah, tentu. Para -misio-na-ris itu, kata seorang penelaah lain, memandang dengan pen-dirian bahwa semua orang bersifat ”tak baik” dan menderita ”seng-keta jiwa” yang hanya bisa diobati dengan agama yang datang dari Barat.
Tapi ada agama yang bicara dengan suara Tuhan yang ganas dan cemburu, yang harus diterima semua orang. Ada pula kepercayaan yang memandang Yang Suci tak dapat disamakan dengan Tuhan yang mati. Tuhan yang mati adalah tuhan yang diganti hukum agama yang telah beku, dan sebab itu tak ada lagi ilhamnya yang hidup, berganti-ganti, tak tunggal—yang menyebabkan Nietzsche menggugat monotheisme. ”Sudah hampir 2.000 tahun,” keluhnya, ”dan belum ada satu pun tuhan yang baru!”
Ia menyukai politheisme. Artinya tuhan yang tak bisa dimonopoli, tuhan yang tak ganas, tak cemburu.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo