Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DESAKAN mengubah Undang-Undang Keuangan Negara semakin kuat. Bukan saja dari kalangan perbankan dan pelaku pasar, melainkan sudah meluas ke DPR, Bank Indonesia, dan pemerintah sendiri.
Tuntutannya pun macam-macam. Mulai dari menurunkan kredit seret bank negara, mengurangi kewenangan Departemen Keuangan yang dianggap berlebihan, hingga soal rencana peme-rintah menerbitkan obligasi negara berbasis syariah.
Pekan lalu, Bank Indonesia menyerukan pentingnya mempercepat amendemen UU Keuangan Negara, agar ada payung hukum bagi bank-bank milik pemerintah untuk menekan rasio kredit seret (non-performing loan, NPL). UU No. 17/2003 ini tidak secara jelas meng-atur kekayaan negara yang terkait de-ngan piutang bank-bank pemerintah. Wacana yang berkembang di masyarakat seakan memaknakan kekayaan nega-ra diperluas mencakup piutang bank negara.
Satu paket dalam UU Keuangan Nega-ra adalah UU Perbendaharaan Negara. Da-lam UU No. 1/2004 ini disebutkan, pelepasan aset negara senilai Rp 10 mi-liar harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan, Rp 10-100 miliar harus disetujui presiden, dan di atas Rp 100 miliar harus disetujui DPR. Namun, undang-undang ini juga tidak secara eksplisit menyebut bahwa aset negara yang dimaksud termasuk piutang bank BUMN, serta penjualan piutang dengan harga diskon.
”Sudah ada respons dari DPR untuk melihat kembali undang-undang tersebut,” ujar Deputi Gubernur Bank Indo-nesia, Siti Ch. Fadjrijah, pekan lalu. Siti beralasan, jika undang-undang ini diamendemen, bank-bank pelat merah bi-sa segera menurunkan kredit seret se-ca-ra signifikan. Bank-bank BUMN su-dah- berencana membentuk special purpose vehicle, atau kendaraan usaha, untuk menjual piutang dengan harga dis-kon.
Hingga akhir September tahun lalu, kredit seret BNI masih 14,4 persen. Kredit seret Bank Mandiri hingga akhir 2005 mencapai 26,7 persen. Berdasarkan Arsitektur Perbankan Indonesia, semua bank wajib memiliki rasio kredit seret di bawah 5 persen pada akhir 2007. Jika tidak, kedua bank yang mendominasi pangsa pasar nasional itu akan dikategorikan bank tidak berkinerja baik. ”Ini bisa berbahaya,” kata seorang bankir.
Suara-suara yang berkembang di DPR juga mempersoalkan kewenangan Badan Perencanaan Pembangun-an Nasional (Bappenas), yang telah banyak- dipangkas. Setelah reformasi, sebagi-an kewenangan Bappenas dialihkan ke Departemen Keuangan dan diatur di UU Keuangan Negara. Bappenas tak lagi memiliki ”tangan” untuk menjaga- target-target pembangunan. ”Bappenas- cuma bisa berwacana,” ujar anggota DPR Dradjad H. Wibowo, beberapa waktu lalu.
Kepala Bappenas Paskah Suzetta- mengakui Departemen Keuangan me-mang- merupakan lembaga yang sangat berkuasa. Departemen ini bukan sekadar berperan mengumpulkan dana, melainkan juga merencanakan anggaran sekaligus sebagai bendahara. Seharusnya, lembaga pengumpul dana seperti Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai dibentuk sendiri dan langsung bertanggung jawab kepada presiden.
Begitupun dalam fungsi perencana-an. Menurut Paskah, seharusnya fungsi- pe-rencanaan terkait dengan pagu ang-garan- indikatif di tangan Bappenas. Namun, yang terjadi sekarang merupa-kan keputusan bersama antara Bappenas dan Departemen Keuangan. ”Pada-hal, kalau dipisah, akan ada lembaga penyeimbangnya.”
Dari praktisi pasar syariah juga berkembang harapan agar UU Perbendaharaan Negara dan UU Surat Utang Negara diamendemen. Kepentingannya- lain lagi, yakni agar pemerintah bisa menerbitkan obligasi negara berbasis syariah. Dalam UU Perbendaharaan di-atur, aset negara tidak bisa dijadikan jaminan utang.
Menanggapi berbagai tuntutan itu, Dirjen Perbendaharaan Negara Mulia Nasution membenarkan memang ada ren-cana mengamendemen. Namun tak semua bagian diubah. Yang sudah pasti- di-ubah adalah UU Perbendaharaan Negara yang berhubungan dengan rencana penerbitan obligasi negara berbasis syariah. ”Nantinya diatur bahwa obli-gasi negara syariah bisa dijamin aset negara,” katanya.
Berbagai tuntutan itu mendorong sa-lah satu perumus UU Keuangan Negara, Baharuddin Aritonang, angkat bicara. Dia menyesalkan upaya mengamen-demen ketentuan tersebut. Menurut anggota Badan Pemeriksa Keuangan ini, sebaiknya dijalankan dulu undangundangnya. ”Mengurus negara ha-rus konsisten,” katanya. ”Kalau tidak, bagaimana kepastian hukum di negara ini?”
Heri Susanto, Suryani Ika Sari, Agus Supriyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo