Sekali lagi, sebutan ekstrem dialamatkan pada gerakan Islam: mulai dari FIS di Aljazair, Ikhwanul Muslimin di Mesir, sampai gerakan-gerakan Islam di Maroko, Libya, Tunisia, dan Sudan (TEMPO, 11 Juli 1992, Laporan Utama). Dalam melaporkan hal di atas, TEMPO terkesan mendramatisasi persoalan. Sebutan fundamentalis pada FIS itu saja sudah menimbulkan kesan jelek. Apalagi sebutan Islam ekstrem atau "kaum berjenggot", yang menimbulkan kesan menakutkan. Persoalan fundamentalis, ekstrem, atau sempalan, pada hakikatnya menyangkut perbedaan pemahaman tentang Islam antara dua kutub. Kutub pertama, memandang Islam hanya sekadar aspek ritual dengan demikian tidak ada konsep tentang politik dan negara dalam Islam. Sedangkan kutub kedua, memahami Islam sebagai suatu sistem yang paripurna, yang di dalamnya terdapat aspekaspek yang lain, termasuk politik dan negara. Dalam kenyataannya: pemahaman kutub pertama menjadi paham yang dominan ketimbang pemahaman kutub kedua. Artinya, yang menjadi mainstream sekarang adalah Islam aspek ritual. Dari sudut ini, pemahaman kutub kedua dianggap sempalan karena menyimpang dari mainstream. Jika kutub kedua mencoba memperjuangkan pemahamannya, akan dianggap ekstrem, berlebihan, dan keras. Sekarang pertanyaannya: Apakah salah jika kutub kedua memperjuangkan Islam sebagaimana mereka pahami? Soal kekerasan terpulang pada paham imainstreamr, apakah memberi ruang gerak yang wajar pada kutub kedua atau tidak. Bila tidak, yang akan terjadi adalah perlawanan. Lantas siapa sebenarnya yang tidak adil? Untuk itu, marilah kita semua lebih arif memandang persoalan ini. Janganlah kita semakin membuat kabur pemahaman masyarakat. EN RUSBIANTORO Lingkar Studi Islam Keputih I A/19 Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini