Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim mengumumkan bahwa mahasiswa program sarjana tidak lagi wajib membuat skripsi. Anak buahnya di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi adalah orang tersibuk akibat kebijakan anyar tersebut. Surat edaran dan petunjuk teknis mesti disebar ke semua perguruan tinggi yang bertanya-tanya ihwal cara menerapkannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun dengan bobot lebih kecil, anak buah Menteri Nadiem di Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga kecipratan kerja. Mahakarya Badan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mau tak mau harus dipermak buntut peniadaan kewajiban skripsi di kampus. KBBI Edisi V mendefinisikan skripsi sebagai “karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya”. Lantaran skripsi sudah tidak lagi wajib, definisi tersebut kehilangan relevansinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata skripsi diserap dari scriptie, kata bahasa Belanda yang kira-kira berarti esai ilmiah. Kamus Belanda-Indonesia (2005) karangan Susi Moeimam dan Hein Steinhauer singkat saja menaruh padanannya: skripsi. Kata tersebut sudah dipersempit maknanya untuk tulisan dunia akademis karena bahasa Belanda juga mempunyai kata script untuk teks tertulis secara umum.
Skripsi satu leluhur dengan scription atau script dalam bahasa Inggris yang bermakna “tulisan secara umum”. Menurut Origins: An Etymological Dictionary of Modern English (1990) karya Eric Partridge, scription berasal dari kata Latin scriptio. Sementara itu, script diambil dari kata Latin scriptum. Salah satu turunan kata ini adalah scripture, yang bermakna kitab keagamaan.
Negara-negara yang terpengaruh budaya Inggris mengadopsi kata thesis untuk tulisan ilmiah karya mahasiswa. Oxford Advanced Learner’s Dictionary 9th Edition mengartikan kata itu sebagai “a long piece of writing completed by a student as part of a university degree, based on their own research”. Definisi tanpa embel-embel “wajib” memang lebih aman karena di Amerika Serikat, sebagai contoh, tidak semua kampus mewajibkan tesis untuk program sarjana.
Kira-kira definisi skripsi setelah tidak lagi wajib akan menjadi begini: karangan ilmiah yang ditulis mahasiswa program sarjana sebagai bagian dari persyaratan terakhir pendidikan akademisnya. Menurut saya, perlu ada tambahan “program sarjana”, mengingat sebutan untuk karya ilmiah terakhir buat mahasiswa magister adalah tesis dan untuk mahasiswa doktoral adalah disertasi.
Jika mau gampang dan mengesankan kolaborasi, para munsyi Badan Bahasa bisa saja membebek koleganya penyusun peraturan menteri tadi. Peraturan itu mengamanatkan tentang ketercapaian kompetensi lulusan melalui “pemberian tugas akhir yang dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis baik secara individu maupun berkelompok”. Dengan demikian, definisi skripsi adalah “salah satu bentuk tugas akhir mahasiswa program sarjana untuk mencapai kompetensi lulusan”. Tapi definisi ini bisa saja nanti berubah bila kebijakannya berubah.
Di sisi lain, ada isu kebahasaan yang lebih elementer menyusul peniadaan kewajiban skripsi. Meski dibilang membebani, skripsi adalah wahana untuk mendekatkan mahasiswa kepada bahasa persatuan kita. Pengalaman saya, mahasiswa nonsastra rata-rata tidak serius ketika mengikuti mata kuliah bahasa Indonesia. Tapi memori mahasiswa tentang materi dan dosen bahasa Indonesianya akan mencuat ketika menyusun skripsi.
Dosen pembimbing skripsi yang baik akan selalu mengingatkan mahasiswanya untuk merujuk KBBI dan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Kesalahan redaksional di naskah skripsi bisa jadi bahan untuk mengkritik sang penulis. Bila skripsi tidak lagi diwajibkan, makin minimal saja persentuhan mahasiswa dengan bahasa Indonesia dan praktik tulis-menulis.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Sarjana sonder Skripsi"