Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
APA makna tanah air untuk orang Palestina? Tidak mudah merumuskannya. Bagi mereka, tanah air mungkin bukan berarti sebidang tanah yang ditinggali bersama. Karena jika itu yang menjadi maknanya, mungkin sudah sejak dulu mereka merasa tidak memilikinya, ketika sejengkal demi sejengkal negeri di antara Sungai Yordan dan Laut Mediterania itu beralih menjadi Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi mereka, tanah air mungkin bukanlah garis geografis di atas peta. Untuk orang-orang yang terusir dari negeri sendiri dan berpindah dari satu negara ke negara lain tanpa identitas yang jelas, tanah air bukanlah tapal. Tanah air mungkin justru sesuatu yang tak terbatas. “Dan kami memiliki tanah air tanpa batas, seperti gagasan-gagasan kami yang tak dikenal,” tulis penyair Palestina, Mahmoud Darwish, dalam salah satu puisinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanah air bagi Palestina mungkin tidak berasal dari masa lalu yang jauh, karena para penguasa dari berbagai bangsa datang di masa lalu untuk menguasai tanah mereka. Tanah air juga bukan kenangan tentang negeri permai yang indah seperti di kartu pos. Tempat di mana keamanan dan kesejahteraan penduduknya terjamin.
Tanah air mungkin juga bukan harapan di masa depan. “Palestina adalah satu-satunya bangsa di dunia ini yang secara pasti merasa bahwa hari ini lebih baik dari masa depan. Bagi kami, hari esok adalah bentara yang mengabarkan kekacauan yang lebih kacau,” kata Darwish.
Darwish—lewat puisi-puisinya—selalu mampu membahasakan apa itu tanah air bagi bangsanya. Puisi tampaknya lebih tepat untuk menyatakan sesuatu yang tak mudah didefinisikan secara eksak. Mungkin karena tanah air, bagi mereka, adalah sesuatu yang lebih mudah dirasakan dibanding dialami. “Metafora untuk Palestina lebih kuat dibanding kenyataannya,” kata Darwish lagi.
Sebenarnya bagi Darwish, dan orang-orang segenerasinya, tanah air jauh lebih nyata. Darwish lahir di Birwa, Palestina, pada 1942, atau enam tahun sebelum Israel berdiri. Ia memiliki kenangan tentang bunga-bunga yang mekar di musim semi di bulan April, lumut di atas batu, gemerisik dedaunan kering di bulan September, perempuan bersenandung di atas padang, seperti yang ia gambarkan dalam puisinya, “Palestina”.
Tentu ia juga punya kenangan diusir dari rumah, berkali-kali dipenjara, mendapat diskriminasi di sekolah, dan hidup di pengasingan—yang ia tuliskan dalam puisi lain. Tapi setidaknya ia punya sepenggal memori tentang tanah yang layak diperjuangkan.
Kenangan yang lebih indah bisa kita hirup dari puisi-puisi Ibrahim Touqan yang meninggal pada 1941, lima tahun sebelum Israel muncul. Konsep tanah air yang permai terlihat dalam puisi-puisinya, karena Touqan tidak mengalami kepahitan seperti yang dirasakan oleh Darwish. “Tanah airku, tanah airku, megah dan indah.”
Konsep tentang tanah air ini tentu akan lebih susah dijabarkan dari generasi-generasi sesudahnya yang hanya mengenal penindasan dan penghancuran, seperti penyair Dareen Tatour yang lahir pada 1982. “Biarkan aku pergi//Terpencil selamanya dalam keheningan tanah airku//Biarkan, karena aku tidak bisa mengalahkan//Dibebankan sebagaimana adanya oleh sinar siang dan senja,” tulis Tatour.
Tanah air, bagi mereka, mungkin lebih tepat digambarkan dengan padanannya dalam bahasa Indonesia: tanah tumpah darah. Sesuatu yang diperjuangkan hingga tetes darah terakhir, bukan karena kenangannya, bukan karena harapannya, bukan juga karena keindahannya, tapi karena ia membawa identitas orang-orangnya. Sesuatu yang ditakdirkan untuk hadir bersama mereka saat lahir. “Setiap orang bisa mati berkali-kali: di pengasingan dan penjara, serta di tanah air yang diubah oleh penjajahan menjadi mimpi terburuk. Tapi dia hanya lahir sekali di satu tempat,” kata Darwish.
Satu tempat itu adalah tanah air yang tak mudah didefinisikan, bahkan sulit dieja oleh Darwish yang meninggal di Amerika Serikat, jauh dari tanah airnya, pada 2008. Sebuah sajaknya, “Aku Datang dari Sana”:
Aku pelajari semua kata
agar bisa melanggar tata bahasa
Aku pelajari semua kata
agar bisa membuat satu kata saja:
TANAH AIR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tanah Air"