Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Derai tawa Amrozi di depan umum mengingatkan Rosihan Anwar pada judul film Jerman yang pernah ditontonnya. "Pembunuh-pembunuh di sekitar kita," begitulah tajuk di layar perak yang diingat sang wartawan senior Indonesia ini. Itulah film tentang sosok-sosok pembunuh berdarah dingin yang wajahnya sehari-hari tampak jauh dari menyeramkan. Wajah-wajah yang biasa berada di sekitar kita.
Amrozi, kini kita sadari, adalah salah satu dari sosok keji itu. Wajahnya jauh dari kesan monster, bahkan bagi sebagian orang boleh dikatakan tampan. Perangainya pun tak membuat bulu kuduk berdiri seperti ditampilkan Hannibal dalam film horor Silence of the Lambs. Ia tampil ceria, penuh senda-gurau, seperti tak punya beban dalam hidup. Padahal puluhan orang yang mengerumuninya di Bali telah mengetahui pengakuan keterlibatannya dalam pengeboman biadab di Bali.
Tak ada penyesalan. Sebuah sikap yang juga ditunjukkan Taufik Abdul Halim alias Dani ketika diwawancarai Koran Tempo di tempatnya ditahan beberapa waktu lalu. Warga Malaysia yang kakinya buntung akibat bom yang dibawanya meledak di Atrium itu membantah keras tudingan bahwa ia merencanakan membunuh Megawati. Dengan enteng ia mengaku hanya berniat menempatkan bom di bus metromini yang akan ditumpangi para jemaah gereja. Seolah-olah apa yang direncanakannya itu adalah suatu hal yang sangat biasa-biasa saja.
Kita tentu berharap cuma mereka berdua yang bersikap sebagai pembunuh berdarah dingin seperti ini. Sayangnya, kenyataan tampaknya jauh dari harapan itu. Penyidikan polisi mengindikasikan Amrozi hanya satu dari mungkin sepuluh anggota komplotan pelaku bom Bali. Sementara itu, Dani hanyalah satu dari entah berapa kawanan bengis yang terlibat dalam pengeboman pada Natal tahun 2000. Sebagian dari mereka memang telah diadili dan berada di balik terali besi, tapi masih banyak lagi yang bebas berkeliaran di sekitar kita.
Mereka belum tentu berasal dari satu jaringan. Namun, kalaupun memang berasal dari sebuah persekongkolan, mereka jelas bukan pemegang monopoli dalam urusan mengebom orang ramai. Konflik di Maluku dan Poso mencatat cukup banyak perseorangan ataupun kelompok yang punya kegiatan serupa. Dengan dalih membela agama masing-masing, kegiatan saling bom dilakukan. Tak peduli bahwa korban yang jatuh acap kali bukanlah target yang dituju. Apa boleh buat, kekerasan memang menjadi pemicu terbaik munculnya kekerasan yang lain. Dan kekerasan yang berkelanjutan adalah lahan subur persemaian manusia-manusia yang tumbuh tanpa rasa kemanusiaan. Manusia-manusia yang kemudian menjadi "pembunuh-pembunuh di sekitar kita".
Simaklah bagaimana daerah konflik dunia menebarkan virus jahat ini. Sebutlah Palestina, Sri Lanka, Chechnya, Irlandia Utara, atau Kashmir, dan cermati berapa banyak "teroris" yang diproduksi kawasan-kawasan itu. Maka, kita lantas berkepentingan agar konflik di Aceh, Maluku, dan Poso secepatnya diselesaikan dengan damai agar anak-cucu di kemudian hari tak perlu menuai teroris dari tempat-tempat itu.
Kalaupun itu bisa dilakukan—dan ini sulit dibayangkan dapat segera tercipta—bukan berarti Indonesia dapat menasbihkan dirinya menjadi negara bebas teroris. Proses modernisasi suatu bangsa tak mungkin lepas dari rangkaian benturan kepentingan. Lihatlah bagaimana Jerman pernah harus bergulat dengan teroris Baader Meinhof, Italia dengan Brigade Merah, dan Inggris dengan IRA. Bahkan negara terkuat seperti Amerika Serikat pun harus menghadapi kelompok Klu Klux Klan, David Koresh, atau gembong kelompok milisia radikal seperti Timothy McVeigh, yang mengebom gedung federal Oklahoma. Demikian pula Jepang yang tertib, sempat terteror oleh sekte Aum yang menebar gas sarin di stasiun kereta api bawah tanahnya.
Contoh-contoh di atas menyimpulkan bahwa "bahaya laten terorisme" adalah ancaman serius yang, bila dihadapi dengan benar, dapat diatasi. Cara yang telah terbukti efektif bukanlah dengan operasi militer (yang di beberapa negara justru malah membuatnya semakin besar), melainkan melalui konsolidasi demokrasi yang menjunjung tinggi prinsip penghormatan pada keanekaragaman dan hak asasi manusia.
Memang, sistem demokrasi tak mungkin dapat menghilangkan semua pembunuh di sekitar kita, tapi akan memastikan lahan persemaiannya tak akan pernah besar. Buktinya, doktrin Woodrow Wilson yang menyatakan "Di antara dua masyarakat demokrasi tak akan pernah terbit perang" boleh dikata masih berlaku hingga kini, nyaris seabad setelah diucapkan Presiden Amerika Serikat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo