Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASUKAN elite TNI Angkatan Darat yang terkenal dengan baret merahnya itu tak putus-putusnya didera musibah. Pekan lalu, Kejaksaan Agung mengumumkan, Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus Mayjen Sriyanto menjadi tersangka dalam pelanggaran berat hak asasi di Tanjung Priok dan perkaranya akan dilimpahkan ke pengadilan ad hoc hak asasi manusia yang digelar tahun depan. Ini kasus sudah lumutan, 18 tahun usianya, dan Sriyanto saat itu Perwira Seksi II Operasi Kodim Jakarta Utara dengan pangkat kapten.
Sementara sang komandan sudah diumumkan sebagai tersangka, anak buahnya di Papua disebut-sebut melakukan pelanggaran berat dengan melakukan serangan kepada orang sipil. Adalah Brigjen Polisi Raziman Tarigan, Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua, yang mengungkapkan bahwa dalam kasus penyerangan karyawan PT Freeport Indonesia di Timika, akhir Agustus silam, sebelas prajurit Kopassus terlibat. Penyerangan itu menyebabkan tewasnya dua guru warga negara Amerika Serikat dan seorang warga negara Indonesia.
Sebelumnya, juga di Papua, anggota Kopassus dituding terlibat dalam pembunuhan Ketua Presidium Dewan Papua Theys Hiyo Eluay. Tapi sampai kini perkaranya tidak jelas dan kasusnya macet entah di mana.
Terbentuk kesan di masyarakat, kalau suatu kasus melibatkan kesatuan TNI, persoalan akan mentok bagai menghadapi tembok tebal. Kepolisian tak kuasa lagi melakukan penyidikan dan paling hanya menyerahkan persoalan itu kepada instansi tertinggi dari kesatuan yang dituding melakukan pelanggaran. Seperti yang dikatakan Brigjen Tarigan dalam kasus Timika, persoalan sudah diserahkan kepada Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto.
Bagaimana seharusnya menangani kasus Timika yang korbannya warga negara asing itu? Kalau memang polisi telah menemukan bukti keterlibatan Kopassus dalam kasus ini, serahkan saja berkasnya ke polisi militer dan segera digelar sidang mahkamah militer. Di situ diuji apa betul Kopassus terlibat. Jangan-jangan ini fitnah belaka untuk menjatuhkan martabat prajurit yang pernah mendapat nama baik di hati masyarakat itu.
Lagi pula, dalam kasus Timika ini, temuan polisi hampir sama dengan temuan Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham). Pada temuan Elsham, Panglima Kodam Trikora Mayjen Mahidin Simbolon jelas-jelas membantahnya. Bukan sekadar membantah, Simbolon bahkan menggugat Elsham, yang dianggap telah mencemarkan nama baik TNI AD, khususnya pasukan Kopassus. Elsham pun siap menerima gugatan ini.
Persoalan ini menarik. Kalau Panglima Kodam Trikora menggugat Elsham, itu berarti pihak TNI AD pun tidak bisa menerima tudingan kepolisian yang menyebutkan pasukan Kopassus melakukan penyerangan atas karyawan PT Freeport. Lantas di mana kasus ini diselesaikan kalau bukan di pengadilan, apakah itu di mahkamah militer atau di peradilan sipil? Persoalan ini tak bisa hanya perang pernyataan di media masa, apalagi kalau kemudian kasusnya dibuat sedemikian rupa agar berlarut-larut hingga masyarakat jadi lupa. Harap diingat, tak ada istilah lupa dalam hal pelanggaran berat hak asasi manusia yang menimbulkan korban. Kasus Tanjung Priok yang sudah berusia 18 tahun itu menjadi contoh nyata bagaimana masalah ini tak pernah berhenti untuk minta diselesaikan. Adalah kebetulan tersangka dalam kasus ini sekarang menjabat Komandan Jenderal Kopassus.
Dari sini kita bisa belajar bahwa cara terbaik untuk menyelesaikan "tudingan" ke arah Kopassus ini adalah membiarkan kasus ini diproses secara hukum dan transparan di hadapan masyarakat. Tak ada sesuatu yang harus disembunyikan, semuanya harus tunduk pada hukum. Kalau memang ada anggota Kopassus yang terlibat pelanggaran itu, marilah kita keluarkan mereka dari kesatuan elite ini. Tapi, kalau tidak ada bukti keterlibatannya, mari kita bela ramai-ramai. Hanya dengan cara itu, kita bisa memulihkan kepercayaan kepada kesatuan-kesatuan yang ada di tubuh TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo