Irak sudah mau menerima tim pengawas senjata PBB datang memeriksa. Dengan begitu, hilanglah alasan Amerika Serikat untuk menyerang dan melucuti sendiri senjata pemusnah Irak. Perang besar bisa dihindari, meski barangkali hanya untuk sementara.
Mungkin ancaman pecahnya perang segera timbul lagi. Dari gelagatnya, Presiden Amerika Serikat George Bush belum mau membatalkan niatnya untuk secara sepihak menyerang Irak. Dia tidak percaya Saddam Hussein akan patuh dan pasti akan mengakali PBB untuk menyembunyikan senjata nuklirnya, atau alat perang kimia dan biologinya. Sebaliknya Irak juga sama sekali tidak mempercayai Amerika Serikat, yang punya obsesi untuk menyerang dan menyudahi pemerintahan Saddam Hussein.
Kurang dari batas tujuh hari yang ditetapkan Resolusi Nomor 1441 Dewan Keamanan PBB, Saddam Hussein menyatakan bersedia menerima tim pemeriksa senjata PBB masuk ke Irak. Dalam surat persetujuannya ke PBB, Saddam Hussein masih sempat mengatakan senjata pemusnah itu tak ada di Irak; itu adalah fitnah yang paling keji yang dituduhkan oleh orang-orang jail yang ingin menghancurkan negerinya saja, katanya.
Resolusi Dewan Keamanan PBB mengancam Irak akan mendapat konsekuensi serius bila tidak mematuhi sepenuhnya. Yang dituntut ialah agar tim inspeksi persenjataan PBB dibolehkan melakukan pemeriksaan ke mana saja, tanpa syarat dan larangan, termasuk ke kompleks Istana Presiden Saddam Hussein. Irak harus mengakui dan menyatakan dengan lengkap seluruh program senjata pemusnah massal miliknya. Pada hakikatnya, semua senjata penghancur Irak akan dilucuti, jika ada.
Dengan suara bulat resolusi disetujui di Dewan Keamanan hari Jumat, 8 November lalu. Irak harus sudah mendeklarasikan semua senjatanya 30 hari setelah tanggal resolusi dibuat. Berarti batas akhirnya ialah 8 Desember nanti. Sampai tanggal itu, bisa diharapkan perang yang masih mungkin dimulai oleh serbuan Amerika Serikat belum akan meletus. Setelah itu bagaimana, sukar bisa ditebak.
Nafsu Presiden Bush untuk menyelesaikan Saddam Hussein belum padam. Sejak peristiwa 11 September 2001, Bush bertekad melancarkan perang global melawan terorisme. Untuk mempertahankan diri sebagai negara adidaya satu-satunya, politik luar negeri Amerika Serikat disederhanakan, yaitu yang tujuan utamanya konkret, mengalahkan musuhnya: terorisme internasional. Setiap pesaing yang mengganggu harus dihancurkan secepatnya.
Bush mengumumkan doktrin barunya, perang preemptif, memukul lebih dulu sebelum diserang. Dia memerintahkan para panglima militernya membuat rencana terperinci untuk menyerbu Irak, dengan mengerahkan sebanyak seperempat juta serdadunya. Persiapan sebesar itu untuk maju bertempur tentu akan menjadi momentum yang sukar diundurkan. Karena itu, tampaknya bagi Bush perang dengan Irak adalah hal yang niscaya.
Tekad Bush itu mendapat tentangan banyak pihak. Prancis, Rusia, dan Cina termasuk negara anggota tetap Dewan Keamanan yang menentang dengan keras. Sebenarnya resolusi Dewan Keamanan tentang Irak ini adalah semacam hasil kompromi dengan negara-negara itu, yang ingin mencegah perang akibat tindakan sepihak Amerika Serikat.
Tapi belum tentu Bush sabar menunggu keputusan Dewan Keamanan PBB, kalau Irak dinilai tidak mematuhi isi resolusi dengan baik. Amerika Serikat pun mungkin akan punya penilaian sendiri tentang apa yang disebut tidak mematuhi. Bush sudah menyatakan, agar dalam keadaan itu PBB boleh minggir saja, karena mesin perangnya akan bergerak sendiri—berkoalisi dengan siapa yang sudi—untuk melucuti Irak.
Malapetaka perang tetap membayang. Sudah waktunya dunia internasional berusaha membuktikan—melalui PBB—bahwa perang global, nama lain dari perang dunia, tidak boleh ditentukan oleh sikap satu negara adidaya saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini