Ide Pembaruan Hukum Islam: Jangan Melonggarkan Kaidah Wawancara TEMPO dengan Muhammad Atho' Mudzhar (TEMPO, 30 Maret 1991 Agama), bagi saya, sangat menarik untuk disimak. Barangkali karena menyangkut persoalan gaya hidup atau aturan kehidupan sehari-hari umat Islam. Menurut Saudara Mudzhar, fikih adalah produk sejarah. Namun, kelahirannya tetap merujuk kepada Quran dan hadis, juga ijtihad dan ijmak para ulama. Karena dia merupakan aplikasi dari akidah, maka logislah kalau fikih memiliki bobot keagamaan yang besar. Nah, kalau bobot sekulernya lebih banyak seperti yang diungkapkan Mudzhar, maka itu disebut fikih yang mengambang. Kritik terhadap fikih klasik bukan hanya terjadi pada masa sekarang saja. Misalnya, di waktu muda, Bung Karno pernah mengkritik pelaksanaan fikih yang menyimpang dari garis etika Islam (lihat majalah Pembela Islam). Tapi, Bung Karno tidak pernah mengkritik sumber hukum itu sendiri. Mungkin, ia sadar bahwa hukum itu keluar dari sumber yang mutlak benar, maka pastilah benar. Dan memang dalam praktek sehari-hari, manusia sebagai pelaksananya sering berlaku tidak benar. Contoh yang diberi Saudara Mudzhar sungguh mengagetkan saya. Saya kira itu mungkin kesalahan reporter, tapi setelah saya tunggu satu terbitan tidak ada koreksi, baru saya yakin bahwa itu adalah pendapat Mudzhar. Ia boleh saja berpendapat bahwa wanita bisa saja mendapat bagian warisan lebih besar dari laki-laki, dengan mengambil sampel masyarakat Minangkabau dan Afrika. Tapi, saya yakin, ia tidak mengerti seutuhnya sosiologi kedua etnis tersebut. Islam memberikan bagian lebih besar kepada laki-laki karena mereka punya tanggung jawab yang besar. Laki-laki adalah penanggung jawab keluarga. Tengok saja konsep perwalian dalam Islam, hal ini tentu berbeda sekali dengan posisi perempuan. Dalam masyarakat Minang, meskipun matrilineal, tanggung jawab tetap di tangan kaum laki-laki. Tidak pernah dalam sejarah Minang, penghulu adat atau mamak kepala waris adalah perempuan. Karena itulah, argumentasi Saudara Mudzhar untuk mengubah sistem pembagian waris sulit diterima. Apalagi ketentuan pembagian ini adalah ketentuan Quran, surat Annisa ayat 11. Selanjutnya adalah persoalan etis. Artinya, kalau yang laki-laki berharta banyak, barangkali ia tidak membutuhkan warisan tersebut. Nah, setelah ia menerima harta itu, lalu ia serahkan kepada saudara perempuannya yang tidak mampu. Ini sangat tergantung pada diri pribadi yang bersangkutan. Saya melihat ini sebagai hal yang kondisional. Tapi, sekali-kali jangan ketentuan fikih yang diubah. Sebenarnya, persoalan utama dalam fikih bukanlah kitab kunonya, tapi manusia muslim itu sendiri. Keterpakuan dalam pemikiran fikih akan membawa dampak negatif. Tapi melonggarkan kaidah hukum bukanlah suatu hal yang bijak. Sementara itu, yang sering terlupa adalah sosialisasi nilai-nilai Islam dalam lingkungan keluarga muslim dan bagaimana kita menempatkan pelaksanaan hukum Islam dalam etika Ilahi. Semoga. AZWAR RASYIDIN Hokkicho 892-48, Ken Ei Jutaku Shohoku dai 626 Matsue 690 Japan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini