Film perdana Garin Nugroho yang digarap dengan gaya orisinil. Ia cuma mengandalkan tiga pemain, semuanya pendatang baru. Sutradara muda yang penuh harapan. CINTA DALAM SEPOTONG ROTI Sutradara/Skenario: Garin Nugroho Pemain: Tio Pakusadewo, Rizky Erzet Theo, Adjie Massaid Produksi: PT Prasidi Teta Film dan PT Mutiara Eranusa Film SEORANG sutradara adalah seorang pencipta. Ia harus mampu membahasakan ide-ide dan alam sekitarnya dengan visualisasi. Ia wajib menundukkan aktor untuk bisa menjadi bagian dari ciptaannya. Di Indonesia, sutradara yang sudah mampu memenuhi kategori ini tidak banyak, antara lain Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Eros Djarot. Garin Nugroho, 29 tahun, kelihatannya mampu masuk ke dalam barisan itu. Cinta dalam Sepotong Roti adalah filmnya yang cukup eksperimental. Di tengah loyonya sutradara yang tunduk pada selera pasar (baca: selera produser), keberanian Garin Nugroho dengan menggunakan tiga pemain utama sepanjang film patut dipuji. Bukan cuma itu. Karya Nugroho yang pertama ini digarap dengan gaya orisinil. Diiringi ilustrasi musik Kapal Api -- sebuah lagu anak-anak yang abadi -- kamera menyorot sebuah boneka bayi, radio, dan tangan yang mengoles roti dengan selai. Lalu muncul wajah-wajah yang muda dan segar. Haris ( Adjie Massaid) dan Mayang (Rizky Erzet Theo) adalah pasangan muda yang baru setahun menikah. Mereka memutuskan berlibur ke Bali dengan harapan bisa memecahkan persoalan seks mereka. Topan (Tio Pakusadewo), teman kecil mereka yang jadi fotografer, datang dan kebetulan harus memotret ke Lombok. Topan diajak untuk melakukan perjalanan bersama hingga Banyuwangi. Konflik cerita dimulai di sini. Di tengah alam Indonesia yang hijau dan basah itu, Haris tetap tak bisa melupakan bayangan ibunya. "Aku hanya ingin dipeluk sampai pagi," keluhnya kepada Mayang. "Aku istrimu, bukan ibumu," jawab Mayang. Mereka gagal bercinta, gagal berkomunikasi. Di antara kegagalan itu, Topan melangkah masuk. Cinta bagi Topan dan Mayang ditemui sejak mereka menikmati roti srikaya pada masa kanak-kanak -- sementara Haris penyantap roti dengan selai arbei. Mayang dan Topan, sesama pecinta puisi, sesungguhnya sudah saling mencintai. Di atas jerami, Mayang dan Topan meneriakkan puisi Ahmad Al Hadabri. Keduanya tertegun, bertatapan. Dan Topan mengisap jari Mayang yang terluka dengan kenikmatan. Visulisasi adegan erotis ini begitu halus, tapi toh mampu menunjukkan bagian liar manusia. Inilah keistimewaan Nugroho. Sutradara Indonesia sering mengalami kesulitan untuk menampilkan tema seksual, karena gunting sensor yang angin-anginan. "Film silat dengan adegan yang jauh lebih seronok banyak yang lolos, sedangkan adegan persetubuhan antara Haris dan Mayang yang begitu halus dan artistik dibabat semua, padahal itu adegan yang penting," ujar Nugroho mengeluh. Untung, kita masih melihat telapak tangan Haris dan Mayang yang sedang bertumpu. Kelebihan Nugroho, yang belum disentuh sutradara lain, adalah keberaniannya bereksplorasi dengan bahasa gambar. Seperti bait puisi Ahmad Al Hadabri yang berulang kali dikutip, dan ikutilah angin takdir ..., Nugroho sangat berpihak kepada alam. Aktor dan aktris bukanlah bagian terpenting dari seluruh filmnya, melainkan garis-garis bidang sawah -- yang di-shot dari atas -- bentuk rumput, air hujan, bersatu sekaligus dengan selai roti, tangan fotomodel Lala (Monica Oemardi) dan rok Mayang yang lebar bagai parasut. Lantas adegan mesra Mayang dan Haris di atas komidi putar yang bergantian dengan wajah sepi Topan di bawah hujan sembari bermain harmonika adalah kerja sama yang antara penyunting (Arturo) dan sutradara. Gambar-gambar simbolik itu muncul secara berdesakan dan bergantian. Apalagi, ketika Mayang meletakkan cermin di atas rumput sembari mengenang masa kecilnya. Melalui cermin ini kita disuguhi Mayang kecil yang sedang bermain tali. Gambar yang mempesona. Risiko Nugroho memakai pemain baru membuat beberapa adegan terasa menjengkelkan. Untung, Tio Pakusadewo yang berakting secara santai bisa melumerkan kekakuan kedua rekannya. Upaya Nugroho menggunakan bait puisi Sapardi Djoko Damono (Aku Ingin ....), Zawawi Imron (Lemper), dan puisinya sendiri (Ningsih) ternyata tak seefektif fungsi puisi dalam film Dead Poets Society. Dalam karya Peter Weir ini, puisi mampu menjadi tenaga gaib yang mengubah anak-anak muda berbuih dengan gelora. Karena akting anak-anak muda yang alami, ditambah keberhasilan pembauran puisi dengan dialog dalam skenario, film itu menjadi puisi. Pada Cinta dalam Sepotong Roti, adegan Mayang berteriak membacakan puisi yang mirip pembacaan deklamasi anak SMA, atau diskusi Mayang dan Topan tentang puisi Zawawi Imron di tengah sarapan, kurang berhasil membaur dengan perangkat gambar lainnya yang sudah begitu puitis. Nugroho cenderung memakai pendekatan dokumentaris -- ia telah membuat sembilan film dokumenter dan dua di antaranya mendapat penghargaan pada FFI 1986 dan 1989 -- hingga ada beberapa adegan yang tak berhasil menjadi bagian dari seluruh film. Misalnya adegan tiga anak berkaca mata hitam yang duduk di balai yang penuh dengan gantungan semangka. Film ini diakhiri dengan happy ending. Topan tidak memasuki "daerah terlarang" itu. Haris berhasil membuang trauma masa kecilnya dan pasangan itu memulai kehidupan bahagia. Akhir yang mengecewakan, karena Nugroho memilih jadi pendongeng. Namun, sebagai sutradara, ia telah berhasil memindahkan gagasannya ke dalam gambar. Dan ia melakukannya dengan baik. Sesuatu yang masih langka di dunia perfilman Indonesia. Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini