Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Selamat Datang, KPK Jokowi

Pemerintah menunjuk lima tokoh publik sebagai anggota Dewan Pengawas KPK. Siapa pun yang duduk di Dewan Pengawas tidak akan membuat KPK kuat. 

21 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Selamat Datang, KPK Jokowi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENUNJUKAN lima tokoh publik sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi sama sekali tidak perlu dirayakan. Kelimanya adalah Artidjo Alkostar (mantan hakim agung), Albertina Ho (Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang), Syamsuddin Haris (peneliti), Harjono (mantan hakim Mahkamah Konstitusi), dan Tumpak Hatorangan Panggabean (mantan komisioner KPK). Selama ini, mereka memang dikenal sebagai tokoh yang punya rekam jejak bagus. Tapi, ibarat rumah, KPK telah dirusak pada fondasi dan tiang-tiang utamanya. Menambahkan karpet dan sofa bagus boleh jadi akan membuat rumah terlihat cantik, tapi tak menjadikannya kukuh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Inilah klimaks dari sekuel pelemahan KPK yang dimulai pada akhir periode pertama kepemimpinan Joko Widodo. Presiden telah berkolaborasi dengan oligarki Dewan Perwakilan Rakyat dalam merevisi undang-undang dalam waktu kilat. Terkesan sembunyi-sembunyi, DPR memasukkan sejumlah pasal yang dapat mengganggu independensi penyidik komisi itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi berlaku sejak 17 Oktober lalu. Peralihan status penyidik menjadi pegawai negeri dalam aturan baru itu akan mengancam independensi mereka. Status baru itu akan menempatkan penyidik ke aturan yang birokratis, kaku, dan tidak adaptif, apalagi inovatif. Jenjang birokrasi hampir dipastikan akan menghambat ruang gerak mereka dalam mengungkap kasus korupsi yang biasanya dilakukan pejabat level tinggi.

Gangguan terhadap independensi KPK juga datang dari Dewan Pengawas, yang di antaranya bertugas memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan. Tindakan-tindakan hukum itulah yang selama ini menjadi kekuatan komisi antikorupsi, yang antara lain telah menjerat Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, menteri, gubernur, dan puluhan bupati atau wali kota.

Tudingan bahwa KPK selama ini berlaku lajak dan tanpa kontrol—sehingga membutuhkan pengawas—merupakan tuduhan yang manipulatif dan mengada-ada. Selain diawasi DPR lewat mekanisme anggaran, penyadapan KPK, sekadar contoh, diaudit Kementerian Komunikasi dan Informatika. Argumen yang menyebutkan penempatan “orang baik” di Dewan Pengawas merupakan ikhtiar terakhir untuk memperkuat Komisi sungguh terdengar naif. Harap dicatat, sebagai pengawas, “orang-orang baik” itu tidak memiliki hak eksekusi.

Kondisi ini diperburuk dengan dipilihnya komisioner KPK yang cacat rekam jejak. Figur paling disorot adalah Ketua KPK terpilih, Firli Bahuri. Komisaris jenderal polisi itu ketika menjadi Deputi Penindakan KPK diduga bertemu dengan orang yang beperkara. Dalam pemilihan komisioner KPK, dengan berlagak pilon, Jokowi meloloskan begitu saja usul panitia seleksi ke Dewan Perwakilan Rakyat. DPR juga menutup mata dan telinga dari saran publik dan KPK.

Jokowi sebenarnya dapat menyelamatkan KPK dengan menolak mengeluarkan amanat presiden—surat yang menjadi dasar pembahasan revisi Undang-Undang KPK antara DPR dan pemerintah. Ia juga memiliki wewenang mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu)—seperti yang dia janjikan kepada puluhan tokoh senior yang diundang ke Istana. Tapi janji tinggal janji. Jokowi menutup kuping meski ribuan pelajar dan mahasiswa berdemonstrasi mendesak Presiden mengeluarkan perpu. Dalam demo itu, setidaknya lima orang tewas akibat kekerasan aparat.

Dalam berbagai kesempatan, Presiden mengatakan KPK hendaknya berfokus pada pencegahan ketimbang penindakan korupsi. Berkali-kali pula Presiden mengeluh tentang banyaknya gubernur, bupati, dan wali kota yang tak berani mengambil keputusan karena takut dijerat penegak hukum. Jokowi tampaknya lupa bahwa penerapan pasal korupsi bukan tanpa batasan. Seorang pejabat yang mengambil kebijakan, bahkan diskresi, tidak akan dijerat KPK kecuali dia memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan wewenangnya.

Pelemahan KPK justru akan membuat sejumlah proyek besar pemerintah berjalan tanpa pengawasan. Pemindahan ibu kota, penyaluran dana desa, dan pembangunan infrastruktur merupakan contoh program raksasa yang rawan diselewengkan. Ekonomi biaya tinggi—terutama disebabkan oleh korupsi—diprediksi akan menggila setelah KPK dilemahkan. Indeks kemudahan berusaha diduga juga akan melorot. Dipadukan dengan strategi pencegahan sejak di hulu, KPK sebenarnya dapat menjadi partner pemerintah sebagai pengawas kebijakan.

Kecuali untuk melindungi oligarki partai dan kekuasaannya, sulit diterima akal sehat Jokowi tak memahami prinsip-prinsip itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus