Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagai elemen penting dalam negara demokrasi kita, Kepolisian Negara Republik Indonesia terlalu lamban berbenah. Setelah era reformasi berjalan selama dua dekade, anggota kepolisian belum terlihat makin profesional. Polisi justru sering menggunakan kekerasan dalam menegakkan hukum dan menjaga ketertiban masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perilaku polisi yang cenderung militeristik terlihat jelas ketika terlibat dalam penggusuran rumah warga di Tamansari, Kota Bandung, 12 Desember lalu. Alih-alih menempuh jalan negosiasi dalam membubarkan massa, anggota kepolisian yang memiliki slogan melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat ini malah menggunakan kekerasan. Polisi yang dilengkapi helm, tameng, dan pentung menembakkan gas air mata serta menangkap dan memukuli warga yang menolak penggusuran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan kali ini saja polisi bertindak brutal saat menjalankan tugas. Sebelumnya, polisi menjadi sorotan karena tindakannya yang berlebihan ketika menangkapi orang yang dituduh melakukan makar setelah demonstrasi 22 Mei lalu. Polisi juga melakukan kekerasan saat membubarkan unjuk rasa mahasiswa pada September lalu. Lima orang tewas dan puluhan luka-luka dalam insiden itu. Kepolisian sering berdalih bahwa sebagian korban yang meninggal berasal dari pihak perusuh tanpa menjelaskan sebab-musababnya secara gamblang.
Wajah buruk kepolisian itu tergambar pula dari angka kekerasan yang dihimpun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) sepanjang Juni 2018 hingga Mei 2019. Menurut komisi ini, sebanyak 643 kekerasan dilakukan polisi dalam kurun itu. Kekerasan tersebut antara lain dalam bentuk penangkapan sewenang-wenang yang mengakibatkan korban luka atau tewas.
Kontras pun mencatat sebanyak 72 kasus penyiksaan atau perlakuan kejam dan tak manusiawi terjadi dalam kurun yang sama, yang menyebabkan 16 orang tewas dan 114 luka-luka. Dari total kasus tersebut, 57 di antaranya dilakukan polisi, 7 oleh tentara, dan 8 oleh sipir. Motif utama polisi adalah ingin mengejar pengakuan atau alat bukti dari pelaku.
Tindakan polisi yang tidak profesional itu jelas menyimpang jauh dari semangat reformasi. Pembenahan kepolisian sebenarnya telah dimulai saat dilakukan pemisahan antara Polri dari Tentara Nasional Indonesia sesuai dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI Tahun 2000. Polisi sudah dijauhkan dari berbagai hal yang berbau militer sehingga diharapkan dapat menjalankan tugas secara profesional dalam menegakkan hukum dan menjaga ketertiban masyarakat. Polisi diharapkan pula menghormati hak asasi manusia dalam bertugas.
Sederet instrumen pun telah dibuat, dari kode etik kepolisian hingga pedoman implementasi penghormatan hak asasi dalam penyelenggaraan tugas kepolisian. Tapi pelaksanaannya tidak berjalan mulus. Selama ini juga tidak terlihat adanya pengawasan yang ketat terhadap perilaku polisi. Tak ada pula pemberian sanksi yang berat bagi polisi yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat.
Presiden Joko Widodo semestinya peduli terhadap reformasi kepolisian yang seolah-olah berjalan di tempat. Jokowi tak bisa lepas tangan karena kepolisian berada di bawah kekuasaan Presiden. Reformasi kepolisian harus dilanjutkan agar institusi ini sanggup menyokong sistem hukum dan demokrasi. Tanpa adanya polisi yang profesional, akan sulit mewujudkan negara demokrasi yang berkeadilan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo