Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Menyoal Ujian Nasional

Arsip, 14 April 1984.

Sistem ujian nasional selalu jadi perdebatan dari waktu ke waktu.

21 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
14 April 1984

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim akan mengganti Ujian Nasional dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter mulai 2021. Assessment ini terdiri atas kemampuan bernalar memakai bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Nadiem, perubahan itu untuk menjawab keresahan siswa ataupun manajemen sekolah terhadap pelaksanaan Ujian Nasional yang dianggap memiliki dampak negatif. Gagasan Nadiem itu menuai dukungan dan penolakan dari masyarakat dan praktisi pendidikan. Perdebatan paling sering muncul adalah seputar persoalan bagaimana cara mengukur kualitas sekolah dan hasil pengajaran kepada siswa jika ujian nasional dihapuskan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perubahan sistem penilaian kualitas sekolah dan hasil belajar siswa kerap terjadi di Indonesia. Pada 1950, pemerintah menerapkan sistem evaluasi nasional bernama Ujian Penghabisan, yang selanjutnya berganti nama menjadi Ujian Negara pada 1965. Pada 1972, pemerintah kembali mengubahnya menjadi Ujian Sekolah, yang bertahan selama delapan tahun dan berubah menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas) pada 1980. Selanjutnya, pada 2001, Ebtanas berganti menjadi Ujian Akhir Nasional.

Majalah Tempo pernah menulis berita bertajuk “Kembali ke Ujian Negara” yang mengulas perdebatan pelaksanaan Ebtanas pada 14 April 1984. Selama empat tahun pelaksanaan Ebtanas berlangsung kurang mulus dan mesti dilakukan secara bertahap. Mula-mula hanya pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang bisa diujikan secara nasional. Selanjutnya secara bertahap ditambah dengan ujian Bahasa Indonesia. Lalu ditambah Geografi dan Biologi. Pada 1984, Ebtanas untuk sekolah menengah atas ditambah lagi dengan Matematika untuk jurusan Ilmu Pengetahuan Alam dan Ilmu Pengetahuan Sosial serta Sejarah untuk jurusan Bahasa. “Memang ada ide nanti semua diebtanaskan,” kata Benny Soeprapto, Direktur Pendidikan Menengah Umum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Usaha mencoba melaksanakan ide itu tak lepas dari niat memeratakan mutu pendidikan secara nasional. Pada 1965, pemerintah menggagas Ujian Negara sebagai metode evaluasi kualitas sekolah dan hasil belajar siswa. Pemerintah pusat memegang kendali penuh dalam pelaksanaan Ujian Negara, termasuk menyiapkan bahan ujian. Semua siswa akan menghadapi soal ujian yang sama. Masalahnya, kebocoran soal ujian terjadi di mana-mana hingga akhirnya pemerintah mengubah Ujian Negara menjadi Ujian Sekolah, yang menyerahkan pembuatan soal ujian kepada tiap sekolah pada 1972.

Toh, Ujian Sekolah juga tidak lepas dari masalah. Pemerintah kesulitan menentukan standar keberhasilan pengajaran dan kualitas pendidikan di tiap sekolah. Akhirnya Ujian Sekolah dihapus dan diganti dengan Ebtanas. Pemerintah pusat kembali mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan ujian melalui Ebtanas. 

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Darji Darmodihario mengatakan pemerintah telah menemukan solusi mencegah terjadinya kebocoran soal ujian. Caranya dengan membuat banyak paket soal, hingga soal ujian tiap sekolah atau rayon (kelompok sekolah) berbeda. 

Masalahnya, tidak semua sekolah siap melaksanakan Ebtanas. Seperti dikatakan Soebroto, Kepala SMAN VIII Jakarta, soal-soal Ebtanas benar-benar menguji secara menyeluruh. “Sebanyak 20 persen soal pelajaran kelas I, 30 persen kelas II, dan sisanya, 50 persen, kelas III,” ujar Soebroto.

Bagi sekolah yang belum menyelesaikan materi kurikulumnya besar kemungkinan nilai para siswa bakal jatuh. Akibatnya, sampai 1984, mata pelajaran yang wajib diujikan baru dua, yaitu Pendidikan Moral Pancasila dan Bahasa Indonesia. Sedangkan untuk mata pelajaran yang lain masih belum wajib, boleh ikut boleh tidak.

Meski begitu, Hudahaniem, Kepala SMA Sultan Agung I, Semarang, lebih senang Ebtanas dibanding Ujian Sekolah. Dulu, saat Ujian Sekolah, jika ada siswa tak lulus, guru yang kena sasaran. “Sebab, guru yang mengajar, guru yang membuat soal, kok sampai siswa tak lulus,” tutur Hudahaniem.

 


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  14 April 1984. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1634/1984-04-14

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus