Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Berbagai kasus yang melibatkan polisi menyingkap realitas masih banyaknya pekerjaan rumah reformasi Polri.
Aneka persoalan yang mendera Polri ini menegaskan temuan survei ahli Setara Institute dalam studi Desain Transformasi Polri (2024).
Upaya reformasi Polri belum terintegrasi dan inheren dengan para anggotanya di daerah.
PADA 2021, Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan ultimatum akan memberi sanksi tegas terhadap anak buahnya yang melakukan kesalahan dan berdampak terhadap lembaga. Ia juga menyatakan tak ragu “memotong kepala” apabila tidak mampu “membersihkan ekor”. Pernyataan ini ia alamatkan kepada kepala kepolisian daerah, kepala kepolisian resor, hingga kepala kepolisian sektor yang tak becus membina anak buahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai janji Kapolri itu kini kembali terngiang seiring dengan rentetan persoalan yang dipicu atau melibatkan anggota kepolisian dalam beberapa waktu terakhir. Berbagai kasus itu menyingkap realitas masih banyaknya pekerjaan rumah reformasi Polri, baik secara kultur maupun struktur. Aneka kasus ini juga secara signifikan menampilkan wajah buram Polri setelah transisi kepemimpinan nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam waktu kurang dari enam bulan, wajah Polri tercoreng banyak masalah. Dari insiden polisi tembak polisi di Solok Selatan, Sumatera Barat; pembunuhan Gamma Rizkynata Oktafandy oleh anggota Kepolisian Resor Semarang, Ajun Inspektur Dua Robig Zaenudin, yang diwarnai dugaan rekayasa kasus; pemerasan warga negara Malaysia dalam acara Djakarta Warehouse Project; penolakan polisi mendampingi pemilik bos rental mobil yang kemudian tewas di rest area jalan tol Tangerang-Merak; sampai dugaan penganiayaan berujung kematian seorang warga oleh anggota Satuan Lalu Lintas Polres Yogyakarta.
Rentetan kasus ini menjadi catatan kelam dan secara nyata mengkhianati prinsip-prinsip melayani (to serve) serta melindungi (to protect) yang inheren dalam tugas Polri. Tak hanya itu, kepolisian kerap melupakan prinsip transparansi ataupun akuntabilitas dalam pengusutan berbagai dugaan rekayasa kasus. Justru polisi menyebarkan narasi kondisi yang dianggap memaksa melegitimasi tindakan berlebihan anggotanya.
Aneka persoalan yang mendera Polri ini menegaskan temuan survei ahli Setara Institute dalam studi Desain Transformasi Polri (2024). Survei ini mengungkap mayoritas ahli atau sebanyak 51,2 persen masih menilai Polri belum mampu memenuhi pelaksanaan kepolisian yang demokratis-humanis. Sebanyak 58,7 persen ahli juga memandang integritas dan komitmen antikorupsi Polri masih buruk.
Berbagai sorotan dalam survei tersebut melingkupi empat dari 12 tema reformasi Polri yang menuntut penyikapan sistemis oleh institusi Polri. Di antaranya, persoalan akuntabilitas penggunaan senjata api, akuntabilitas proses penegakan hukum, kinerja pelindungan dan pengayoman masyarakat, serta tata kelola organisasi dan manajemen sumber daya Polri.
Dalam persoalan penggunaan senjata api oleh polisi, pada dasarnya, kepolisian telah memiliki sejumlah ketentuan internal. Di antaranya, Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
Tak hanya itu, kepolisian punya ketentuan ketat mengenai tahapan penggunaan kekuatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009. Di sana, penggunaan senjata api merupakan tahapan keenam—tahap terakhir—apabila tahapan sebelumnya, seperti perintah lisan, kendali tangan kosong lunak dan keras, penggunaan senjata tumpul, penggunaan senjata kimia seperti gas air mata atau alat lain sesuai dengan standar Polri, tak bekerja.
Toh, meski sudah ada berbagai regulasi internal itu, belum tentu semua aparat kepolisian tahu dan paham. Terlebih terdapat gap pemahaman polisi di tingkat pusat dan daerah, yang diperparah oleh kecenderungan aparat yang tak mampu berpikir jernih serta emosional saat bertugas. Minimnya pengawasan internal-eksternal, sosialisasi regulasi, hingga hukuman atas pelanggaran menjadi sejumlah faktor yang memicu kondisi tersebut. Akibatnya, penggunaan senjata api oleh polisi kerap tidak sesuai dengan peruntukannya.
Titik lemah upaya reformasi Polri yang juga perlu disorot adalah hukuman atas pelanggaran anggotanya yang tak memicu efek jera. Alih-alih memecat atau mencopot anggotanya yang melakukan pelanggaran berat, Polri justru memilih kebijakan mutasi jabatan. Hal ini terlihat dari kenaikan pangkat atau jabatan beberapa anggota kepolisian yang terlibat dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat oleh Ferdy Sambo. Hal ini memperlihatkan sistem merit di Polri masih bermasalah.
Aspirasi reformasi Polri yang berulang kali diembuskan publik semestinya dipahami sebagai luapan kekecewaan publik terhadap kondisi Polri yang belum memenuhi harapan masyarakat. Hal ini memperlihatkan upaya reformasi Polri belum terintegrasi dan inheren dengan para anggotanya di daerah.
Kapolri harus mengingat kembali komitmen yang diucapkannya pada 2021. Ia juga perlu segera menjalankan agenda reformasi Polri, utamanya melalui upaya internalisasi prinsip-prinsip hak asasi manusia pada anak buahnya.
Kapolri dan semua anggota kepolisian seharusnya menyadari bahwa mereka punya peran penting dalam menopang upaya mencapai Visi Indonesia Emas 2045. Supremasi hukum dan penegakan hukum yang efektif serta berkualitas menjadi prasyarat bagi tercapainya visi tersebut, yang hanya bisa terjadi apabila aparat penegak hukum kita kompeten dan berintegritas. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo